Kolektif Seni dan Perayaan Demokratisasi Pendidikan

Kurnia Yunita Rahayu

Titik terang untuk memecah kebuntuan sistem pendidikan nasional hadir dari kolektif seni. Praktik berkelompok yang lentur, terbuka, dan cenderung tanpa hierarki memungkinkan terjadinya proses saling bertukar pengetahuan. Interaksi intens yang tidak terpisah dari lingkungan tempat mereka berada pun relatif bisa memunculkan kepekaan terhadap dinamika sosial-ekonomi dan sosial-politik yang dihadapi masyarakat. Pada tingkatan berikutnya, pengetahuan yang terus berputar di dalam kelompok digunakan untuk memberikan respons terhadap perubahan sosial, tidak jarang itu juga menjadi alat untuk menyelesaikan masalah dalam konteks lokal kolektif masing-masing.

Gambaran praktik kolektif seni itu terekam dalam hasil penelitian yang dilakukan Serrum sepanjang April-Mei 2024. Selama dua bulan, Serrum yang berkolaborasi dengan beberapa peneliti yang bernaung di Gudskul, ekosistem seni yang berbasis di Jakarta, meneliti praktik dari enam kolektif seni yang tersebar di enam provinsi. Keenam kolektif dimaksud antara lain Indonesia Art Movement, Jayapura, Papua; Komunitas Kahe, Maumere, Nusa Tenggara Timur; Forum Sudut Pandang, Palu, Sulawesi Tengah; dan Tepian Kolektif, Berau, Kalimantan Timur. Selain itu, penelitian juga dilakukan terhadap kolektif Sudut Kalisat, Jember, Jawa Timur; dan Jatiwangi Art Factory, Majalengka, Jawa Barat.

Dari penelitian yang dilakukan dengan prinsip etnografi serta perspektif pendidikan tersebut, terdapat benang merah yang sama-sama ditemukan pada setiap kolektif: kolektif seni tak ubahnya sebuah institusi pendidikan. Dalam proses saling berbagi pengetahuan, kolektif memiliki elemen-elemen yang serupa dengan institusi pendidikan milik negara. Contohnya, seperangkat hal yang ingin dipelajari atau mirip dengan kurikulum, ruang yang digunakan untuk belajar bersama, ataupun daftar sumber pengetahuan yang digunakan.

Kendati demikian, ada perbedaan mendasar dalam cara berbagi pengetahuan yang berlangsung pada kolektif seni dibandingkan institusi pendidikan milik negara. Semua elemen yang disebutkan sebelumnya, diputuskan secara konsensus oleh para anggota kolektif. Aspirasi setiap orang menjadi dasar dalam menentukan hal apa yang akan dipelajari atau diajarkan, di mana mereka akan menyelenggarakan pembelajaran, bagaimana pembelajaran itu akan dilakukan, hingga bagaimana mendapatkan pembiayaan untuk mewujudkan pembelajaran yang mereka inginkan. 

Artinya, setiap anggota memiliki kedaulatan dalam menentukan arah dan tujuan belajar di kolektif. Keberlangsungan kegiatan tersebut tidak ditentukan oleh pihak yang memiliki kuasa lebih besar yang seringkali menyandera institusi dan memaksa untuk mengikuti standar dan kepentingan mereka. Dengan begitu, peluang bagi kolektif untuk mencapai tujuan belajar pun menjadi lebih besar.

Bagaimana kedaulatan itu bisa didapatkan? Para anggota kolektif tidak bergantung pada siapa pun untuk menyelenggarakan aktivitas dan mendapatkan sumber belajar. Mereka memiliki modal dari lingkungan tempat tinggalnya masing-masing. Pengetahuan lokal serta warga setempat menjadi kekuatan tersendiri bagi mereka.

 

Tidak terpisah dari masyarakat

Kedekatan bahkan ketidakterpisahan dari masyarakat di lingkungan tempat tinggal setiap kolektif ini yang menjadi distingsi lain antara praktik kolektif seni dan institusi pendidikan milik negara. Anggota kolektif menyandarkan pencarian pengetahuan dari masyarakat lokal yang berkelindan dengan budaya setempat. Oleh karena itu, mereka juga tidak terpisah dari dinamika sosial-politik dan sosial ekonomi yang terjadi dan berdampak pada signifikan pada kehidupan warga. 

Apa yang terjadi pada warga, misalnya, sama dengan yang terjadi pada kolektif. Eksploitasi yang dirasakan warga, juga mengeksploitasi kolektif. Ketertindasan yang terjadi pada warga, juga menindas kolektif.

Dalam konteks kebersatuan kolektif dengan masyarakat itu, bukan hal yang aneh jika hasil berbagi pengetahuan yang terjadi di internal kolektif lantas digunakan sebagai alat untuk merespons dinamika sosial-ekonomi dan sosial-politik yang terjadi di daerahnya. Sebagaimana perjalanan sejarah manusia, pengetahuan dan pengembangannya selalu digunakan untuk mempermudah hidup dan menyelesaikan masalah yang muncul. Maka, hampir semua kegiatan kolektif seni merupakan respons serta upaya untuk mengakali dinamika yang ada di tengah konteks lokal.

Barangkali, praktik di kolektif-kolektif seni ini merupakan gambaran pendidikan yang dicita-citakan para pendiri bangsa pada awal abad ke-20. Tan Malaka, misalnya, dalam kumpulan tulisannya yang dihimpun dalam seri buku “Dari Penjara ke Penjara” mengungkapkan prinsip bahwa pendidikan harus bisa mempertajam kecerdasan, memperkokoh kemauan, serta memperhalus perasaan seseorang. Lebih dari itu, tokoh pergerakan yang berlatar belakang pendidikan guru itu juga mengatakan, tujuan pendidikan bukan saja untuk menghasilkan orang dengan profesi tertentu melainkan juga bisa membantu rakyat dalam pergerakannya.

Semangat yang sama juga dikemukakan Mohammad Hatta. Bagi Hatta yang mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) sejak masih berkuliah di Belanda, pendidikan adalah jalan untuk meraih kemerdekaan. Oleh karena itu, pendidikan juga harus didasarkan pada kebudayaan bangsa yang dilandasi semangat percaya pada kemampuan sendiri (self-help). Dalam “Kumpulan Karangan IV, 1954”, Hatta pun menginginkan sistem pendidikan yang sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan keperluan masyarakat.

Cita-cita para pendiri bangsa itu tidak terlepas dari sistem pendidikan diskriminatif yang diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Saat itu, pendidikan di Hindia Belanda diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan akan pegawai rendah di pemerintahan. Pendidikan juga hanya dibuka untuk kelompok tertentu yang berimbas pada munculnya kelompok elite pribumi.

Setelah 78 tahun merdeka, sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia pun tak jauh dari semangat di masa kolonial. Selain soal pemerataan akses yang belum bisa dituntaskan, tujuan pendidikan juga tidak lepas dari upaya untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja. Hal itu bahkan terlihat dari model belajar yang diterapkan pada mayoritas sekolah di Indonesia, yakni menghapal konten tanpa memaknai apalagi mengkritisinya.

Pakar kebijakan pendidikan Jean Anyon, dalam bukunya “Marx and Education, 2011” pernah meneliti soal praktik pendidikan berbasis kelas sosial yang diterapkan di Amerika Serikat. Dalam studinya, Anyon menemukan empat model belajar berbeda pada sekolah kelas pekerja, kelas menengah, kelas profesional, dan kelas elite profesional. Di sekolah kelas pekerja, pembelajaran diselenggarakan secara mekanis, yakni guru memberikan pengetahuan sedangkan murid harus menerima secara utuh, mencatat, lalu menghapalkannya. 

Penekanan pada proses pendidikan di sekolah kelas pekerja itu, kata Anyon, adalah bagaimana murid menaati prosedur yang ada pada setiap pengetahuan. Mereka tidak diberikan ruang untuk berekspresi atau menyampaikan pendapat atas pengetahuan yang disampaikan guru. Sebab, pada akhirnya mereka akan bekerja di pabrik yang tidak memerlukan ekspresi lebih dalam bekerja. 

Model belajar di sekolah pekerja Amerika Serikat itu mirip dengan hampir semua sekolah di Indonesia hingga saat ini. Ditambah lagi komodifikasi pendidikan yang menyebabkan tingginya biaya pendidikan formal, sehingga akses terhadap sekolah semakin sulit digapai oleh seluruh laposan masyarakat. Kritik dan rekomendasi dari berbagai pihak terhadap penyelenggaraan pendidikan kerap disampaikan kepada pemerintah. Namun, hingga kini belum ada perubahan signifikan dalam pendidikan nasional. 

Di tengah konteks itulah, praktik yang dilakukan kolektif seni bisa menjadi titik terang dalam memecah kebuntuan pendidikan. Salah satu kunci dari harapan tersebut rupanya hadir dari langkah mendemokratisasikan proses berbagi pengetahuan, yakni dengan membangun kedaulatan, menyerap aspirasi, dan membangun konsensus pada setiap aktivitas. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika titik terang itu dirayakan, apalagi praktik-praktik serupa tidak hanya terkonsentrasi di kota-kota besar tetapi juga mulai menjalar ke berbagai wilayah lain di Indonesia.

 

Mengapa kolektif?

Temuan terkait praktik kolektif seni sebagai peluang memecah kebuntuan pendidikan juga tidak terlepas dari peran Serrum yang juga merupakan kolektif seni. Selama 18 tahun terakhir, kelompok yang digerakkan oleh mahasiswa dan alumni Universitas Negeri Jakarta yang merupakan eks-Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta itu konsisten menjalankan praktik seni yang terkait dengan tema pendidikan. 

Hal tersebut dimulai dengan menggunakan metode kreatif untuk memberikan alternatif cara mengajar. Serrum juga kerap memanfaatkan ruang alternatif untuk menyebarkan pengetahuan seni. Tak berhenti di situ, Serrum beranjak dengan melakukan proses kreatif untuk menghasilkan sistem pendidikan atau mekanisme berbagai pengetahuan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Eksperimen lain pun dilakukan Serrum dengan menggunakan kredo yang selama ini menghidupinya. Serrum berupaya melihat kolektif lain-pada akhirnya sekaligus melihat dirinya sendiri-dengan kacamata pendidikan, perspektif saling berbagi pengetahuan dalam kelompok.

Upaya ini bisa menjadi sumbangan penting bagi studi tentang kolektif seni dan praktik kolektif di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, kemunculan kolektif seni di Indonesia menjadi bahan diskusi yang riuh dibicarakan di kalangan pegiat seni terutama di luar negeri. Namun, studi serius mengenai peran kolektif dalam memecah kebuntuan pendidikan melalui praktik-praktik seni tampaknya belum banyak dilakukan.

Apalagi, mengutip kurator dan sejarawan seni dari Indonesian Visual Art Archive (IVAA), Farah Wardani, dalam wawancara dengan Whiteboard Journal pada tahun 2020, sejarah kolektif seni di Indonesia juga tidak lepas dari perannya dalam mengisi celah di tengah alpanya negara atau pemerintah dalam keberlangsungan ekosistem seni. Dari masa ke masa, kolektif seni hadir dan menjadi karakter khas kesenian Indonesia, terutama dalam membangun dukungan sosial di tengah tantangan seni yang berubah-ubah. Kini, ada harapan peran serupa juga merembes ke ranah pendidikan.