Jatiwangi art Factory (JaF) diinisiasi oleh Arief Yudi Rachman, seorang seniman dan warga yang lahir dan tumbuh di Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, bersama Loranita Theo Yuma dan Ginggi S. Hasyim. Berdiri pada 27 September 2005, hingga saat ini JaF tetap konsisten dengan isu “tanah sebagai lahan, bahan, dan gagasan”. Selama 19 tahun JaF secara dinamis mencoba berbagai bentuk kegiatan dan pendekatan, tetapi tetap konsisten dalam isu yang terkait dengan keresahan warga.
Kedekatan JaF dengan warga tumbuh secara organik karena selain para penggerak awalnya adalah warga setempat. Berbagai siasat JaF juga tidak mengganggu kenyamanan warga dalam beraktivitas, tidak pula agresif dalam mengajak masyarakat meninjau ulang pola pikir dan pola hidup yang dimiliki. JaF menawarkan alternatif sudut pandang sembari mengajak masyarakat (para tetangga) untuk mencoba berpikir lebih luas mengenai lingkungannya secara perlahan.
Kesabaran JaF menggugah kesadaran kewargaan, perlahan tetapi pasti memunculkan sikap kritis warga untuk mempertanyakan aneka situasi dan penyebabnya, hingga bersedia ikut bergerak bersama meresponsnya. Upaya memunculkan kesadaran bukan hal yang mudah, melainkan dapat menimbulkan ketidaknyamanan bila dilakukan dengan cara yang agresif. Pada bagian ini seni berperan penting, karena JaF memanfaatkan seni sebagai alat untuk menyampaikan pesan secara lebih halus dan mudah dipahami.
Lebih dari itu, seni membuat pesan menjadi lebih menyenangkan untuk dihayati bersama. Seni bertujuan untuk mempertegas “azas riang gembira” dalam kolektif ini sekaligus memperkuat posisi tawar dalam perjuangan maupun perlawanan terhadap isu kedaulatan tanah.
Selain kegiatan rutin dan insidental yang dilaksanakan sendiri maupun bersama pihak lain, JaF ikut terlibat dalam kegiatan warga setempat. Sebagaimana budaya “babanton” atau gotong royong yang berkembang di Jatiwangi, JaF turut berperan dalam berbagai kegiatan bersama yang merekatkan hubungan antarwarga. Tak hanya sumbang pendapat, JaF juga tak keberatan meminjamkan berbagai fasilitas kepada warga.
Contohnya, ketika Karang Taruna desa mengadakan nonton bareng pertandingan sepak bola Tim Nasional Indonesia di balai desa, JaF meminjamkan peralatan elektronik dan perabot untuk dipakai di sana. Ketika mendatangi JaF pada Mei lalu pun, ada sekitar 10 anak sekolah dasar (SD) datang meminta izin untuk menggunakan ruang sinematek JaF karena ingin menonton film di platform digital bersama-sama. Pemandangan yang mengingatkan pada kondisi puluhan tahun lalu, saat tidak semua rumah memiliki fasilitas hiburan dan anak-anak dapat menumpang menonton di rumah tetangga mereka yang memiliki televisi.
Cara-cara tersebut tidak diatur secara khusus sebagai strategi untuk mendekati warga, tetapi merupakan sebuah insting untuk mewujudkan keharmonisan dalam kehidupan bertetangga. Insting ini muncul secara alamiah di dalam diri warga yang merasa sebagai bagian dari masyarakat.
Pada bagian selanjutnya, tulisan ini akan menceritakan JaF bukan sekadar sebagai kolektif seni, melainkan juga bagian dari warga Jatiwangi. JaF bergerak bersama warga lain untuk mencapai kedaulatan daerahnya.
Mengenal keluarga JaF
JaF ibarat rumah salah satu warga di sebuah komunitas masyarakat. Hal itu terlihat dari aktivitas yang berpusat di rumah salah satu pendirinya, kendati pada tahun 2018 JaF telah mendapatkan hibah dari Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk mendirikan “Jebor Hall”. Ibarat keluarga yang memiliki silsilah, JaF juga terdiri atas sejumlah anggota yang memiliki peran masing-masing. Berikut susunan kepengurusan terbaru JaF yang berlaku sejak Januari 2024.
Board : Arief Yudi Rahman, Loranita Damayanti, Ginggi S. Hasyim
Director : Ismal Muntaha
Program Manager : Ade Ahmad Sujai
Finance : Elgea Nur Balzarie, Ana Merliana
JaF Gallery : Arief Yudi Rahman
JaF Production : Ginggi Syarif Hasyim, Denny Arianto
JaF Air : Arie Syarifuddin
Badan Kajian Pertanahan : Ismal Muntaha
Konsorsiumusikeramik : Tedi Nurmanto, Tamyis Zoor Ramadah, Kiki R. Permana, Andzar Agung Faudzan, Karyssa Matindas, Pippin Muhamad Kaspin
Forum 27an : Ade Ahmad Sujai
Museum Kebudayaan Tanah : Illa Syukrillah Syarief
Happy Morning Studio : Elgea Nur Balzarie
Apamart! : Pandu Rahadian
Daftar tersebut menunjukkan adanya beberapa orang memiliki lebih dari satu peran. Sebab dalam keluarga, setiap orang dan perannya dapat digantikan secara fleksibel ketika ia sedang berhalangan. Selain yang tercatat secara administratif, ada pula pembagian peran yang tidak tertulis. Contohnya, siapa yang bertugas terkait konsep dan seni, atau membangun jejaring baru dan mempertahankan jejaring lama.
Pembagian itu didasarkan pada kompetensi dan kenyamanan setiap orang yang terlibat, karena tidak semua pendiri, pengurus, dan anggota JaF berlatar belakang seni. Selain itu, latar belakang pengalaman dan aktivitas keseharian masing-masing juga berbeda-beda. Ada yang memilih aktivitas seni, menduduki jabatan tertentu di desa, atau membuka kafe dan usaha lain. Keberagaman itu yang menjadi salah satu sumber kekuatan dalam JaF.
Selain para pengurus dan anggota, JaF juga memiliki jejaring yang sejalan dengan prinsip yang diperjuangkan, yakni kedaulatan. Jejaring ini berperan saling mempengaruhi dalam perjalanan masing-masing. Sebut saja Saung Eurih, sebuah tempat makan yang sejak tahun 2010 berinteraksi dengan JaF lalu saling menguatkan dan mendukung, hingga akhirnya ikut menjadi bagian aktivasi “Apamart! The Majalengka Week Food Diplomacy”, garapan JaF dalam perhelatan seni “documenta fifteen” di Kassel, Jerman, 2022. Dalam aktivasi tersebut, JaF juga turut membawa jejaringnya yang lain, yaitu Rempah Embassy, Kopi Apik, dan Roti Wangi. Ada pula Super Fajar, sebuah pabrik genting yang masih bertahan di tengah lesunya industri genting dan menjadi tempat belajar bagi para tamu JaF.
Perubahan sosial di Jatiwangi
JaF terletak di Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Daerah ini sempat terkenal sebagai penghasil genting terbaik di masa lalu. Perkembangan produksi genting di sana tidak terlepas dari sejarah perkembangan pabrik gula pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang membutuhkan banyak genting untuk atap. Bahkan, pada era 1980-an, sebagian besar masyarakat masih mengandalkan pabrik-pabrik genting rumahan atau jebor sebagai penghasilan utamanya. Namun, saat ini sebagian besar jebor sudah tidak beroperasi dan telah beralih fungsi, baik lahan maupun bangunannya.
Jalan menuju bekas pabrik gula dan Tugu Genteng
Perubahan di Jatiwangi juga tidak bisa dilepaskan dari beberapa megaproyek, mulai dari Bandara Internasional Jawa Barat (BJIB) Kertajati, Tol Cikampek-Palimanan (Cipali), juga Tol Cileunyi-Sumedang Dawuan (Cisumdawu). Pembangunan sejumlah proyek infrastruktur itu bertujuan mempermudah masuknya investasi dan membuka jalan ekspansi industri di Majalengka. Sebagai dukungan, Pemerintah Kabupaten Majalengka juga menyiapkan lahan seluas 400 hektar untuk mengembangkan kawasan industri Kertajati Industrial Estate Majalengka (KIEM).
Tak hanya lewat pembangunan, rencana pembangunan juga diperkuat dengan beberapa regulasi, antara lain Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2021 tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Rebana dan Kawasan Jawa Barat Bagian Selatan. Ada pula Peraturan Bupati Majalengka Nomor 6 Tahun 2023 tentang Rencana Pembangunan Daerah Kabupaten Majalengka 2024-2026. Peraturan itu menyebutkan soal tujuan penataan ruang untuk kawasan agropolitan dan minapolitan, serta penyediaan ruang investasi melalui dukungan infrastruktur strategis yang mendukung BIJB Kertajati, aerocity, kawasan industri, pariwisata, komersial, jasa, dan permukiman.
Saat ini, ada sekitar 20 pabrik di Majalengka yang berkembang pesat dan menyedot banyak tenaga kerja. Kebanyakan pabrik dimaksud merupakan penghasil produk tekstil dan sepatu. Ada pula yang bergerak pada produksi alat kesehatan, obat-obatan, serta bahan pangan.
Ekspansi pabrik-pabrik modern tersebut berpengaruh pada perubahan wajah Kabupaten Majalengka. Majalengka yang pernah menjadi salah satu lumbung padi untuk Jawa Barat, selama kurun waktu 2019-2022, luas lahan sawahnya menyusut drastis. Luas sawah tadah hujan dan irigasi yang pada tahun 2019 yang masih 50.322 hektare menyempit menjadi 50.281 hektare pada 2020, dan kemudian berkurang lagi 264 hektare pada tahun 2021 hingga menjadi 50.017 hektare. Sementara pada tahun 2022, luas sawah tercatat hanya 49.465 hektare, berkurang 522 hektare dibanding tahun sebelumnya. Penyusutan itu terjadi karena warga membangun rumah petak atau kost bagi pekerja pabrik di lahan yang sebelumnya merupakan persawahan.
Salah satu pabrik besar di dekat JaF
Pabrik dan sekolah berdampingan di Jatiwangi
Perubahan tersebut juga berpengaruh signifikan pada usaha genting Jatiwangi. Ketika areal sawah beralih fungsi menjadi pabrik atau rumah kost, tanah yang menjadi bahan baku genting berkurang. Akibatnya, ongkos produksi menjadi lebih mahal.
Tanah yang menjadi bahan pembuatan genting bukan hanya berkurang jumlahnya, namun juga terpengaruh kualitasnya oleh pembangunan.
Persaingan dengan jenis atap lain yang tak terbuat dari tanah menambah kesulitan bagi pemilik jebor. Ironis bila menilik sejarah pabrik genting pertama yang dibangun tahun 1905 semula tumbuh karena pengembangan pabrik gula yang membutuhkan atap genting dalam pembangunannya.
Kondisi itu diperparah dengan terus menyusutnya jumlah pekerja jebor karena berpindah ke pabrik modern dengan alasan lebih bergengsi. Terlebih, bila individu yang hendak bekerja tersebut memiliki ijazah pendidikan menengah atas. Sebab, selama ini masih ada citra mayoritas pekerja jebor adalah orang-orang putus sekolah dan mereka yang sudah berusia lanjut.
Jebor saat ini diisi oleh pekerja-pekerja yang usianya rata-rata di atas 40 tahun. Awalnya, masih ada anak-anak muda yang bertahan. Namun, belakangan mereka ramai-ramai berpindah karena beberapa pabrik yang baru berdiri bersedia memberi bonus apabila para pekerja jebor bersedia pindah dalam satu kelompok kerja, bukan perorangan.
Kerjasama tim para pekerja Super Fajar, salah satu dari segelintir pabrik genteng yang masih aktif berproduksi.
Perpindahan secara berkelompok itu sangat mungkin terjadi, karena para pekerja memiliki hubungan yang lebih akrab. Relasi itu juga merupakan hasil dari sistem kerja berkelompok yang diterapkan di Jebor. Salah satu pemilik jebor mengaku, pada tahun 2005 sekitar 20 karyawannya berpindah ke pabrik karena iming-iming uang tambahan. Mereka yang bisa membawa temannya berpindah, dijanjikan mendapatkan bonus sebesar Rp. 1 juta untuk setiap kelompok pekerja berisi enam orang yang bersedia pindah ke pabrik.
Berkurangnya pekerja jebor berdampak pada penurunan hasil produksi yang beriringan dengan peningkatan biaya produksi. Para pemilik jebor bercerita, pernah ada masa, pemilik satu tungku pembakaran bisa menghasilkan 1.000 keping genting dengan ongkos produksi Rp. 11 dan dijual Rp. 100. Kini, hasil produksi tak lagi sampai setengahnya dengan ongkos produksi Rp. 1.100 dan harga jual Rp. 1.600.
Ditambah lagi, saat ini genting juga tidak lagi populer sehingga harga jualnya terus menurun. Dulu, satu sak semen dapat ditebus dengan tiga keping genting. Namun, sekarang untuk mendapatkan semen dalam jumlah yang sama harus ditukar dengan 20 keping genting.
Menuju masyarakat berdaya
Di JaF, ada prinsip yang diyakini bersama bahwa pembangunan dan perubahan sosial merupakan keniscayaan di dunia yang terus berkembang. Akan tetapi, nilai budaya lokal tak boleh hilang begitu saja. Untuk mempertahankannya, dIbutuhkan warga-warga yang berdaya agar tak mudah diperdaya atau dimanfaatkan, sehingga kedaulatan semakin jauh dari harapan.
Oleh karena itu, dalam seluruh kegiatannya JaF selalu menyertakan isu kedaulatan tanah. Terkadang isu ini dinyatakan secara gamblang, tetapi tak jarang pula isu ini hanya mewarnai kegiatan secara samar, bahkan tersembunyi.
Kedaulatan atas tanah merupakan sasaran tertinggi JaF yang hanya bisa didapatkan jika warganya berdaya. Keberdayaan warga akan membantu mereka bertahan di tengah gelombang investor yang secara perlahan mengikis tatanan sosial budaya. Warga berdaya menjadi modal pembangunan berbasis kebudayaan yang krusial bagi keberlanjutan tatanan masyarakat yang harmonis di tengah segala pembangunan.
Keberdayaan warga ditandai oleh adanya pengetahuan, keterampilan, dan jaringan. JaF berperan untuk berbagi ketiga hal ini pada anggota masyarakat. Di tengah konteks itu, pola kurikulum yang diterapkan di JaF dapat dipetakan sebagai berikut.
Penjelasan Bagan
Bagan ini terdiri atas tiga bagian, yaitu Prioritas (Lintas) Kurikulum, Area Pembelajaran, dan Keterampilan Umum.
1.Prioritas (lintas) kurikulum
Ini merupakan area kunci yang menjadi sasaran bagi semua bagian pembelajaran, baik untuk individu, organisasi, maupun masyarakat dalam jangka waktu panjang. Kendati demikian, prioritas ini bukan materi terpisah melainkan muatan yang ada pada berbagai pendekatan dan kegiatan. Beberapa muatan dimaksud adalah
Perspektif individu dan komunal terhadap situasi yang terjadi di wilayahnya, dan bagaimana hal ini mempengaruhi dirinya baik sebagai individu maupun lingkungan yang lebih luas untuk selanjutnya ikut membela ruang tempat tinggalnya.
Internalisasi kearifan lokal yang turut membentuk identitas sebagai bagian dari sebuah kolektif. Dengan demikian, terkandung pula kebijaksanaan untuk melihat, memilah, dan memilih bentuk pengejawantahan nilai budaya yang perlu diperjuangkan agar tetap ada.
Pemahaman dan keinginan serta tanggung jawab untuk ikut terlibat dalam upaya-upaya mengembangkan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya yang akan berperan dalam kehidupan masyarakat.
2. Area pembelajaran
Hal ini terkait dengan pengetahuan yang diperlukan untuk membuat warga lebih berdaya, diturunkan menjadi tema-tema, baik dalam kegiatan rutin maupun insidental yang dilakukan oleh JaF. Selain menjadi tema, materi ini juga kerap menjadi pesan tersembunyi dalam kegiatan dan siasat yang dijalankan. Sejumlah tema yang teridentifikasi adalah sebagai berikut.
Pemahaman mendalam mengenai jalannya sistem sosial, interaksi antaranggota masyarakat dalam konteks sosial, budaya, lingkungan, ekonomi, dan politik.
Pendekatan yang menganalisis berbagai kondisi lingkungan di permukaan bumi dengan memperhatikan berbagai aspek. Bukan hanya secara keruangan, melainkan juga sosial, ekologi, dan aspek-aspek lainnya.
Pengetahuan tentang berbagai perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu serta dampaknya terhadap individu dan masyarakat saat ini.
Seni kekinian, bentuk seni yang muncul sebagai respons terhadap situasi global, keragaman budaya, kemajuan teknologi, dan kompleksitas situasi. Seni kontemporer dicirikan oleh penggunaan media dan material yang beragam, pendekatan konseptual dan kontekstual, eksplorasi isu politik dan sosial, menolak pembatasan-pembatasan tradisional, dan seringkali berkaitan dengan globalisme dan multikulturalisme.
Segala bentuk aktivitas yang berkontribusi terhadap peristiwa musik. Tidak sekadar tentang musik, tetapi juga perilaku sosial yang berkaitan dengan mendengarkan, merayakan, atau memproduksi musik. Musiking berkaitan erat dengan membangun memori kolektif karena salah satu fokus dalam musiking adalah menyoroti hubungan-hubungan yang terjadi, misalnya, antarorang-orang yang turut ambil bagian (apa pun kapasitas individual yang dimiliki) dalam sebuah penampilan/aktivitas musik, hubungan antara individu dengan masyarakat, juga antara manusia dan alam semesta.
Konsep dalam budaya Jatiwangi yang berarti “bantu-bantu” atau saling bantu antartetangga. Konteks dari kata ini terutama ketika salah satu tetangga memiliki hajat dan para tetangga sekitar turut menjadi bagian dalam persiapan, pelaksanaan, hingga pasca acara. Babanton mirip dengan gotong royong atau kerja bakti, artinya, mengerjakan sebuah pekerjaan secara bersama-sama. Namun, babanton dilakukan dalam konsep persiapan acara dan ada otomatisasi yang terjadi karena sudah menjadi bagian dari kebiasaan. Tidak perlu pengumuman atau pun permintaan bantuan dari keluarga warga yang akan mengadakan acara. Sekalipun demikian, bila ditelisik lebih jauh juga ada sedikit porsi rasionalisasi yang berkaitan dengan timbal balik untuk menjaga jaring pengaman ketersediaan bantuan di masa mendatang.
Catatan: Seni Kontemporer dan Musiking dalam praktik seni JaF berperan sebagai alat pendidikan ke dalam dan alat memperkuat posisi tawar ke luar terkait isu yang diperjuangkan, tidak mengharuskan (walau juga tidak melarang) individu untuk menjadi seniman murni.
3. Keterampilan umum
Pemahaman dan keterampilan yang dianggap akan membantu upaya individu maupun kolektif dalam keterlibatannya dalam pembangunan berbasis kebudayaan. Pada bagan ini, berfungsi pula sebagai target pembelajaran yang perlu dilatih melalui berbagai cara dan kesempatan. Berikut sembilan keterampilan umum beserta penjelasan masing-masing.
JaF menyasar literasi sebagai aspek yang penting dalam kegiatan. Pengertian literasi dalam konteks ini adalah keterampilan memahami, mencari, dan menggunakan informasi untuk mengembangkan pengetahuan dan potensi. Kepekaan untuk menghubungkan situasi yang sedang dihadapi dengan informasi yang dimiliki merupakan wujud dari literasi yang disasar dalam penyebaran pengetahuan di JaF.
Hand Thinking merupakan keterampilan untuk membuat karya ataupun mewujudkan sebuah kegiatan tanpa terlalu banyak memikirkan berbagai kemungkinan.
Head Thinking mengacu pada keterampilan untuk membuat narasi terhadap sebuah situasi atau karya yang dapat mendukung pencapaian sebuah tujuan.
Tanah sebagai lahan, bahan, dan gagasan
Pada tahun 2012 JaF lebih menekankan pada head thinking, pikirkan dulu apa yang ingin dibuat dan untuk pembuatan nantinya bisa melibatkan seniman dan artisan. Namun ketika pandemi Covid-19 mulai melanda, JaF lebih banyak mendorong hand thinking, agar para anggota membuat dulu apa pun, selanjutnya baru memikirkan narasi dan penggunaannya.
Saat ini, kedua keterampilan itu menjadi satu kesatuan, karena di dalamnya termasuk kepekaan untuk memilah kapan harus menggunakan salah satu atau kapan perlu memadupadankan keduanya.
Keterampilan menganalisis dan mengevaluasi secara efektif sebuah situasi untuk menilai, menyikapi, dan membuat tindak lanjut (mencari sumber lain, membuat keputusan dan pemecahan masalah, ataupun tindak lanjut lain yang sesuai dengan situasi). Kelenturan berpikir untuk melihat lebih dari satu sudut pandang adalah bagian dari keterampilan berpikir kritis yang dimaksud.
Keterampilan menggunakan imajinasi untuk menciptakan atau menggunakan sesuatu yang baru, metode baru, alat baru, ataupun bentuk dan objek artistik baru yang memiliki kebermanfaatan, baik bagi diri sendiri maupun lingkungannya. Kreativitas yang dimaksud dalam hal ini selain berkaitan dengan konsep dan bentuk karya seni juga terkait dengan kondisi dan pengambilan keputusan sehari-hari, pencarian alternatif solusi untuk berbagai masalah atau isu penting dalam kehidupan warga.
Aksi individual dan kolektif yang ditujukan untuk mengidentifikasi sekaligus mengangkat sebuah isu publik. Keterampilan ini terlihat dalam berbagai bentuk, mulai dari peran sukarela individu dalam isu sosial hingga keterlibatan dalam organisasi dan partisipasi dalam sistem politik.
Keterampilan yang merupakan perwujudan pemahaman demokrasi ala JaF. Pemahaman demokrasi ini bukanlah dengan definisi ala barat yang memastikan semua orang didengar dan punya kesempatan bicara. JaF mempertimbangkan konteks budaya dan situasi terkini terutama terkait dengan urgensi pengambilan keputusan dan pemerataan pengetahuan.
Hal ini terkait dengan tujuan akhir gerakan dan penyebaran pengetahuan yang dilakukan JaF, yaitu kedaulatan warga terutama atas tanah. Mementingkan semua suara keluar semata justru dianggap akan membahayakan tujuan akhir, karena saat ini belum semua warga memiliki keterampilan literasi dan pemahaman mendalam tentang masalah utama di daerah tersebut.
Mengambil suara terbanyak juga tidak menjadi pilihan karena dikhawatirkan akan membuat posisi kedaulatan justru semakin terancam. Konsensus yang tidak didasari pengetahuan bisa jadi mengarah pada keputusan yang tidak menuju pada kedaulatan rakyat. Contohnya, bila dilakukan survey publik kemungkinan sebagian besar warga kemungkinan akan memilih adanya pabrik.
Berkaca pada konteks itu, JaF memilih jalan keterwakilan. Mereka yang memiliki pengetahuan dipercaya untuk mewakili warga dalam pengambilan keputusan yang akan mendorong terwujudnya upaya merebut kembali kedaulatan. “Kepercayaan” menjadi kata kunci dalam proses demokrasi dengan keterwakilan ini. Rasa percaya ini bisa tumbh karena didasari oleh keyakinan bahwa warga yang memiliki pengetahuan adalah orang-orang yang tidak akan mencelakakan tetangganya sendiri dalam pengambilan keputusan.
Kedaulatan tanah dapat didefinisikan sebagai hak seseorang ataupun sekelompok orang untuk memiliki akses terhadap tanah, menentukan penggunaan lahannya, dan memiliki kendali efektif atas pemanfaatan tanahnya. Walaupun berpusat pada isu tanah, kedaulatan yang dianut dalam JaF tidak sekadar berkaitan dengan kepemilikan tanah, tetapi juga bagaimana setiap orang dapat memiliki pilihan lebih banyak untuk keseharian dan juga masa depannya.
Saat ini sebagian warga terutama anak muda terjebak dalam alur menjadi pegawai pabrik, seakan itu adalah pilihan terbaik kalaupun tidak bisa disebut sebagai satu-satunya pilihan. Sudut pandang ini tak lepas dari paradigma pengukuran kesejahteraan semata-mata hanya dari tingginya daya beli.
Banyak warga lupa atau mungkin tak memahami bahwa keleluasaan waktu, kedekatan personal dengan keluarga, hubungan interpersonal dengan orang lain, termasuk tetangga maupun kebebasan untuk memilih aktivitas adalah bagian dari kesejahteraan yang tak lagi dimiliki ketika disibukkan oleh aktivitas pabrik yang kaku. Pola-pola yang bergeser ketika pabrik mulai masuk sebenarnya mengancam bukan hanya kedaulatan tanah, namun juga kedaulatan warga sebagai individu maupun sebagai kelompok masyarakat yang dapat menentukan masa depannya serta memikirkan keberlangsungan kehidupan generasi penerus.
Kemampuan memahami dan menyampaikan pesan dari satu individu ke individu lain dalam bersosialisasi dengan beragam orang, baik yang sehari-hari ada di dalam dan sekitar JaF maupun yang datang ke JaF, menjadi penentu keberlangsungan kegiatan dan pencapaian tujuan akhir.
Komunikasi kontekstual adalah pertukaran informasi antara dua pihak yang sama-sama menyadari hubungan, lingkungan, dan konteks budaya yang ada dalam informasi yang dipertukarkan. Dengan kata lain, informasi atau pesan yang tepat disampaikan pada orang yang tepat di waktu yang tepat dengan menggunakan saluran yang tepat. Kepekaan terhadap situasi dan kondisi saat menghadapi orang-orang tertentu juga turut menjadi aspek penting dalam keterampilan ini.
Distribusi pengetahuan
Posisi JaF sebagai warga di satu sisi memungkinkan mereka untuk secara leluasa bergerak bersama warga lain. Namun, di sisi lain mereka juga perlu terus berhati-hati dalam memilih aktivitas dan metode-metode penyebaran pengetahuan. Meski memahami pentingnya pemikiran berbeda yang dibawa tamu-tamu dari luar JaF, hal itu tidak bisa disampaikan secara agresif untuk mengubah pola pikir warga. Warga harus selalu didekati dengan pendekatan yang halus dan organik.
Sebagai kolektif yang berjejaring dengan banyak kolektif lain di dalam dan luar negeri, JaF mendapatkan keuntungan dalam hal mengakses sumber belajar. Di samping itu, JaF juga memiliki kepentingan untuk membagikan isu daerahnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, JaF mengaturnya dengan membuat kegiatan insidental dan rutin. Berikut ini beberapa contoh kegiatan rutin yang masih konsisten dilaksanakan.
Salah satu kegiatan rutin yang dilakukan setiap bulan adalah Forum 27an, diskusi yang menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang. Topik-topiknya bisa terkait dengan apa pun, yang jelas kegiatan ini bertujuan untuk membuka ruang-ruang pertukaran pikiran para peserta, terutama warga setempat.
Pada Mei lalu, sempat diselenggarakan Forum 27an dengan topik pembangunan berbasis kebudayaan. Narasumber diskusi berbicara soal keadilan sosial yang bisa dicapai dengan cara tersebut dan mengajak peserta diskusi memikirkan soal diskriminasi yang terjadi ketika pembangunan tidak dilakukan dengan basis kebudayaan. Contohnya, pendidikan formal yang menjauhkan anak dari lingkungan dan teknologi lokal, juga soal sejarah aksara modern yang menggerus ragam aksara lokal.
Setelah diskusi usai, mereka pun makan bersama sambil berbincang santai. Dalam kesempatan itu, para peserta diskusi yang berasal dari berbagai latar belakang, misalnya, akademisi, seniman, ibu rumah tangga, pengusaha restoran, pekerja pabrik, pekerja jebor, petani, memiliki kesempatan yang sama untuk saling belajar satu sama lain.
Forum 27an di JaF, 27 April 2024
Selain Forum 27an, ada pula kegiatan bulanan yang disebut Apamart. Apamart merupakan pasar dadakan dengan mengundang jaringan JaF di Majalengka untuk ikut menguji coba masyarakat sebagai sasaran produk. Di pasar bulanan ini, alat pembayaran yang digunakan berupa uang koin dari tanah. Selain gerai produk, Apamart juga diisi pentas musik dan lokakarya untuk remaja.
Tak hanya itu, ada pula Ruang Kosmik, pergelaran musik yang menjadi ruang berbagi pengalaman antara musisi lokal dan penampil dari luar.
Setiap tahun, JaF menyelenggarakan Village Video Festival atau kegiatan residensi untuk membuka ruang perjumpaan dan kolaborasi antara seniman dan nonseniman dan penduduk Jatiwangi. Selain memahami isu daerah, peserta akan mendapatkan pengetahuan dari narasumber workshop-workshop penunjang seperti seniman video, peneliti, dan lain-lain.
Di samping itu, JaF juga menggelar Jatiwangi Cup, kompetisi binaraga untuk para pekerja pabrik genting. Agenda tahunan yang dimulai pertama kali pada tahun 2015 itu masih berjalan hingga kini dan menarik banyak pengunjung. Tidak jarang dari mereka pun terpicu rasa ingin tahunya untuk mengetahui lebih dalam soal pabrik genting.
Setiap tiga tahun sekali, JaF memiliki hajat yang dinamai Tahun Tanah. Agenda yang dimulai sejak tahun 2012 itu dibuat untuk merayakan sekaligus merefleksikan perjalanan kolektif setiap tiga tahun. Selain berisi kegiatan rampak genting, juga diikuti kegiatan-kegiatan lain.
Di luar agenda rutin dalam periode tertentu, JaF memiliki program-program residensi yang terbuka bagi siapa pun. Syaratnya, para peserta mengangkat minimal satu elemen masyarakat Jatiwangi dalam karya yang dibuat. Pilihan metode ini diambil karena sifatnya yang interaktif sekaligus partisipatoris. Dengan demikian, anggota dan warga di sekitar JaF secara otomatis akan menjadi fasilitator dari kegiatan yang dilakukan peserta residensi. Cara ini juga menghasilkan simbiosis mutualisme bagi kedua belah pihak yang terlibat.
Dalam 10 tahun terakhir, setidaknya ada dua program residensi yang berjalan. Salah satunya adalah JaF Air yang menjodohkan seniman lintas disiplin dari dalam dan luar negeri dengan individu, kelompok, organisasi, ataupun institusi lokal yang berfokus pada topik-topik rural-urban. Dalam program ini, seniman dan warga lokal bekerjasama untuk menjadikan seni sebagai alat presentasi tentang hal-hal yang dianggap penting bagi keberlangsungan masyarakat.
Selain itu, ada pula residensi Konsorsiumusikeramik yang digelar untuk musisi dan seniman berbagi pengalaman kepada warga desa. Melalui program ini, para seniman juga mengkaji dan mengembangkan musik dan keramik sebagai potensi lokal Jatiwangi.
Terkait dengan musik dan keramik sebagai potensi lokal, ada sejumlah grup musik yang lahir di JaF. Mereka menggunakan elemen kebudayaan tanah baik sebagai alat musik, tambahan bunyi, atau lirik. Beberapa di antaranya Lair, Talawengkar, Tinyuh, The People Clay, Niki (Nini-nini Aki-aki), The Dangdan, dan Nutrisi Besar Jatiwangi Kids.
Kolaborasi kelompok musik tinyUH dan Sayaka Shinkai (Jepang) di Saung Eurih, 28 April 2024
Salah satu grup musik yang sempat viral di jagat maya adalah Mother Bank. Kelompok musik yang penampilannya identik dengan baju warna mencolok, kacamata hitam, dan penutup kepala tinggi dibalut kerudung itu terbentuk dari program ala bank untuk merespons persoalan kaum ibu yang kerap menjadi korban rentenir. Rencana awal mengusung konsep ala bank dengan alokasi waktu latihan berkesenian sebagai “bunga bank” kemudian berkembang menjadi grup musik dengan isi lagu yang diciptakan para personilnya. Liriknya tentu saja berbicara soal kehidupan dengan segala masalahnya namun dalam konteks lingkungan dan budaya sekitar. Alat musik pun masih terkait dengan tanah, dari genting maupun perabotan rumah tangga dari tanah liat seperti kendi, gembyung, pot bunga, dan aneka perabot lain.
Hasil karya fisik
Dalam perjalanannya, JaF juga menghasilkan karya berbentuk fisik yang merepresentasikan gagasan kedaulatan tanah. Salah satu yang paling monumental adalah Museum Kebudayaan Tanah. Museum itu mulai dibangun pada tahun 2017 dengan menggunakan kreweng, material sisa genting yang tak dijual ke pasaran, dan kayu-kayu yang biasa digunakan dalam proses pembakaran genting. Museum yang diresmikan setahun setelahnya itu menyimpan berbagai benda dan ornamen yang berhubungan dengan genting, alat pembuatan genting, dan kriya tanah. Namun, karya-karya dimaksud tidak sebatas yang berasal dan dihasilkan oleh pada anggota JaF. Museum Kebudayaan Tanah juga memiliki koleksi karya mengenai kebudayaan tanah yang berasal dari wilayah lain.
Pada tahun 2018, JaF mendirikan Jebor Hall dengan dana hibah dari Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Ruangan besar itu digunakan untuk menggelar berbagai workshop terkait dengan desain grafis, desain produk, pembuatan video, bercocok tanam, tari, dan pengemasan pameran. Di luar itu, Jebor Hall juga sering menjadi tempat belajar membaca Al-Qur’an untuk anak-anak tuli yang didampingi oleh komunitas Rumah Tuli Jatiwangi. Hubungan dua kolektif itu terjadi karena salah satu pendiri Rumah Tuli Jatiwangi bersaudara dengan para pendiri JaF. Interaksi dengan komunitas tuli ini ikut mempengaruhi paradigma JaF tentang inklusivitas.
Memahami Distribusi Pengetahuan JaF Melalui Perhutana
Salah satu inisiatif yang menarik dari JaF adalah Perusahaan Hutan Tanaraya (Perhutana). Diluncurkan tahun 2022, Perhutana merupakan respon terhadap berbagai isu tanah sekaligus hasil kontemplasi di masa Covid. Di awal masa pandemi terjadi kepanikan akibat kabar keterbatasan kurangnya tabung oksigen untuk para pasien. Masalah ini kemudian membuat para anggota JaF berpikir tentang kebutuhan paling dasar setiap manusia, yaitu kebutuhan untuk bernapas, mendapatkan oksigen yang cukup untuk membuatnya bernapas dengan leluasa. Mereka lalu menghubungkannya dengan situasi dan kondisi kabupaten Majalengka saat itu dan aneka kemungkinan perkembangannya di kemudian hari. Majalengka utara yang direncanakan akan menjadi sektor industri dengan ribuan pabrik industri dan 13 sektor baru diperkirakan akan menghasilkan emisi karbon yang luar biasa besar serta membahayakan penduduk Kabupaten Majalengka.
JaF juga melihat kemungkinan konflik yang muncul mengingat manusia memang punya sejarah menjadi penjajah dan pembabat hutan. Kalau pandemi dapat menghasilkan kekacauan perebutan tabung oksigen, bagaimana nanti ketika semua pembangunan ini mempengaruhi kualitas udara dalam taraf lebih luas? Maka kemudian JaF mengajukan sebuah alternatif solusi untuk mitigasi konflik, baik itu konflik ekologi, konflik sosial, maupun konflik budaya. Mengembangkan hutan baru. Inisiatif ini diharapkan juga dapat meningkatkan kewaspadaan lingkungan dan mengingatkan para perusak alam raya.
Para penggerak JaF menyadari bahwa upaya mengembangkan hutan baru dengan segala tujuannya ini tentulah memerlukan banyak bantuan. Pelibatan warga dan masyarakat luas dalam upaya reclaiming hutan adat ini dilakukan dengan “menjual” petak tanah dengan total 8 hektar untuk dapat menjadi hutan adat. Untuk itu mereka membutuhkan sebuah entitas yang memperlancar “transaksi” ini. Mereka pun menginisiasi sebuah “perusahaan” bertajuk Perusahaan Hutan Tanaraya, bila disingkat menjadi Perhutana, yang mau tak mau langsung mengingatkan masyarakat Indonesia pada “Perhutani”, sebuah Badan Usaha Milik Negara berbentuk perusahaan umum (Perum) yang memiliki tugas dan wewenang untuk mengelola sumber daya hutan negara di pulau Jawa dan Madura. Pada tanggal 23 Juni 2022, grand launching dimulainya upaya menumbuhkan hutan adat Perhutana ini dilangsungkan secara paralel di Jebor Hall-JaF Majalengka dan di Kassel, Jerman karena bersamaan dengan keterlibatan JaF dalam gelaran Documenta15 di Jerman.
Pembukaan hutan adat Perhutana cukup sederhana. Para warga baik secara individu maupun kolektif berkesempatan membeli sepetak tanah dengan luas 16 meter persegi yang nantinya didonasikan untuk konservasi lingkungan. Sebagai tanda pembelian, pembeli akan mendapatkan sertifikat eksklusif yang dibuat dari bata serta sertifikat digital yang bisa dialihkan sebagai mata uang. Setelah seluruh kavling terjual dan ditanami, Perhutana akan didaftarkan secara resmi kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai hutan adat bagi warga yang tinggal di Majalengka. Hingga Mei lalu, sudah lebih dari 200 kavling terjual dari total sekitar 5.000 kavling yang tersedia.
Perhutana merupakan inisiatif yang memperlihatkan kurikulum JaF secara paripurna. Pemikiran kritis dan kreatif mendorong untuk melihat kesulitan warga mendapatkan tabung oksigen dalam lingkup yang lebih luas, yakni ketersediaan oksigen yang semestinya tak perlu dibeli. Hal itu memantik warga untuk berpikir lebih luas dengan cara sederhana, sekaligus menawarkan alternatif praktis yang bisa dilakukan segera. Penggunaan bata sebagai sertifikat eksklusif juga bisa dilihat lebih dari sekadar desain, tetapi juga sebagai simbol komitmen karena bata adalah bagian dari bangunan setiap rumah. .
Komunikasi sederhana Perhutana dalam undangan peluncuran maupun laman resminya juga menunjukkan pemahaman mendalam akan isu kewilayahan dan kewargaan. Hal itu mengingatkan warga terhadap budaya babanton, ketika ada salah satu warga yang akan mengadakan “hajatan”, semua perlu ikut membantu demi keharmonisan wilayah.
Model hand thinking dan head thinking juga berpadu dengan baik dalam bentuk karya dan narasi yang diciptakan. Sertifikat bata dan narasi “Nggak seni juga nggak apa-apa” memperlihatkan bahwa pelibatan warga yang dilakukan dengan cara halus, tidak agresif dan tidak memaksa. Upaya warga untuk berkontribusi juga dipermudah dengan memungkinkan pembelian kavling Perhutana secara kolektif. Bagaimanapun juga, kavling yang dibeli memang akan diserahkan kembali (didonasikan) untuk kepentingan hutan. Pada akhirnya semua kembali ke satu tujuan: Kedaulatan tanah.
Pemanfaatan media
JaF menggunakan radio dan televisi untuk alat edukasi sekaligus penguat tali silaturahmi dengan warga. Kedua teknologi yang perlu digerakkan sejumlah orang itu digunakan untuk mewujudkan konsistensi sikap dan prinsip berdaya bersama. JaF sempat melahirkan televisi dan radio komunitas yang membuat kolektif ini populer di kalangan masyarakat setempat.
Di jebor-jebor, misalnya, para pekerja menyebut, Radio JaF pada masa aktifnya merupakan pilihan hiburan untuk menemani mereka bekerja. “Lagunya cocok,” kata beberapa pekerja. Selain lagu, radio yang diinisiasi sejak tahun 2005 bersamaan dengan berdirinya JaF itu pun mendekati pendengarnya dengan Bahasa Sunda, yang umum dipakai dalam percakapan sehari-hari warga. Radio yang kini sudah mencapai kapasitas 1.000 watts dan dapat didengar hingga radius 50 kilometer itu juga menyajikan acara diskusi atau talkshow yang mengangkat isu sehari-hari dan kontekstual dengan kehidupan warga setempat.
Para pekerja jebor yang mengingat JaF dari radio
Tak hanya memberi hiburan dan pengetahuan, Radio JaF juga mempertemukan anggota kolektif tersebut dengan tokoh setempat. Misalnya, pada pendiri JaF berkenalan dengan Eman Kurdiman, pendiri Saung Eurih, rumah makan khas Majalengka, karena sama-sama menjadi narasumber di Radio JaF.
JaF juga memiliki JaF TV yang beroperasi selama 6 jam dalam sehari. Inisiatif yang lahir dari Festival Video Desa dan bagian dari divisi audio visual ini bertujuan untuk memberi narasi alternatif dan sumber informasi bagi warga di luar media massa. Program yang dilaksanakan oleh komunitas antara lain mendistribusikan informasi-informasi sesuai kebutuhan dan isu lokal.
10 strategi imunisasi budaya
Bagi JaF, seni dan budaya bukanlah karya yang sekadar bisa dinikmati dan dinilai dari segi estetika. Jargon “nggak seni juga nggak apa-apa” pun mempertegas sikap itu. Para pendiri JaF bermimpi bahwa seni bisa masuk dalam anatomi masyarakat yang paling dalam, menjadi hubungan antarmanusia, pengingat antartetangga, dan menjadi itikad baik. Untuk mencapai mimpi itu, pada tahun 2013 JaF menyusun “10 Strategi Imunisasi Budaya” yang disarikan dari berbagai pengalaman mereka. Berikut rangkuman strategi tersebut.
Hal ini dilakukan dengan mengajak warga, yang semula hanya menjadi penonton kegiatan seni, menjadi peserta residensi domestik yang melibatkan orang-orang di luar JaF. Semula, inisiatif ini mendapatkan resistensi dari warga tetapi lama kelamaan warga bersedia terlibat. Hal itu terutama didorong oleh kerinduan warga untuk melakukan hal-hal yang tidak didapatkan dari aktivitas rutinnya.
Ketika warga mulai terbuka dan terlibat dalam berbagai aktivitas JaF, rasa bangga terhadap desa mereka pun mulai muncul. Bahkan, mereka mulai menawarkan bantuan tetapi dengan muatan terselubung agar wilayah mereka dinilai sebagai yang terbaik. Saat itu, JaF mengendus kecenderungan warga tersebut bisa berujung pada penguatan nilai kesukuan dan mengancam keberagaman mereka.
Untuk mengantisipasinya, JaF pun menggelar proyek 1.500 rampak genting yang melibatkan 16 desa. Pada kegiatan tersebut, 1.500 orang dari berbagai elemen masyarakat membunyikan genting secara bersamaan dan membentuk satu instrumen. Selain mengajak warga 16 desa untuk melihat hal yang menyatukan mereka, yaitu genting sebagai potensi desanya, kegiatan ini juga memunculkan memori kolektif, sosialisasi, silaturahmi (terutama pada proses latihan), saling tukar genting, transfer ilmu pengetahuan, keterampilan mobilisasi, dan tak lupa keterampilan mengorganisasi.
Bagi JaF, apresiasi seni terjadi ketika penonton (warga) yang tadinya hanya hadir sebagai penonton mulai terlibat dalam proses hingga akhirnya mengerti esensi seni. Apresiasi tidak hanya yang diberikan seorang individu kepada karya, tetapi juga berbentuk kehangatan, kebahagiaan untuk berkumpul, bersama-sama melihat apa yang dibuat oleh manusia dan tetap merasa dekat dengan orang yang ada di sebelah kita. Penyebaran virus kecerdasan berapresiasi ini dilakukan dengan menciptakan agen-agen di setiap desa dan mengajak semakin banyak warga untuk semakin sering hadir ke acara berkesenian bersama.
Saling peduli adalah senjata terkuat untuk menghadapi kemajuan zaman yang mendorong individualisme. JaF menggunakan berbagai cara untuk memunculkan kenyamanan warga terhadap “rumah” JaF dan menerima keluarga JaF seutuhnya, sehingga muncul kebutuhan untuk saling menjaga. Salah satu cara yang digunakan adalah membangun memori kolektif melalui pembuatan lagu bersama. Sesuai dengan konsep musiking, nada menjadi pengikat karena menyentuh sensitivitas emosi yang terdalam.
JaF juga menggunakan aktivitas kesenian sebagai alat untuk mengajarkan cinta melalui pendidikan anak usia dini. Strategi ini menunjukkan hasilnya ketika suatu hari warga berbondong-bondong untuk membantu membersihkan dan membangun kembali bangunan JaF yang roboh. Warga memberi bantuan sesuai modal dan kompetensi yang dimiliki, sedangkan para kepala dusun ikut bermusyawarah dalam menentukan sistem kerja bergantian yang dilakukan.
Dalam perjalanannya, para anggota JaF menemukan bahwa musik merupakan pilihan utama yang menyenangkan bagi warga. Seni menjadi daya tarik netral yang membantu pesan-pesan bisa didengar dan dipahami juga merasuk ke dalam hati pendengar. Para anggota JaF percaya, ketika hati telah satu frekuensi maka semuanya menjadi sejalan dan seirama. “Karena seni pintunya banyak dan kita boleh bawa pintu masing-masing”, demikian tertulis dalam buku tentang 10 strategi imunisasi budaya.
Dengan strategi ini, JaF menciptakan agen perubahan dan menempatkan mereka secara sistematis untuk mempermudah akselerasi dan penetrasi pada warga. Tujuannya untuk merangkul warga agar bisa memahami sudut pandang yang dibawa, tanpa harus menaklukkan dan memaksa mereka turut setuju.
Cara ini dilandasi oleh pemahaman bahwa “karat” yang mengganggu mesin budaya bukan terletak pada warga melainkan ada pada pada individu pimpinan. Kepala desa yang cerdas dan visioner serta percaya pada pelibatan warga akan selalu mencari ruang untuk mendorong dan mewadahi keingintahuan warganya agar lebih sadar terhadap lingkungan sosial.
Strategi ini juga menempatkan seni tradisi konvensional dalam konteks kontemporer, yakni dengan melihat seni secara lebih filosofis. Pilihan membuat bentuk baru dibanding sibuk memikirkan yang lama, memakai pola lama dengan mengganti konten, ataupun melakukan pembaruan pola lama adalah contoh pilihan yang bisa dilakukan.
Bila biasanya pakemnya adalah memberi pencerahan, JaF melalui strategi ini justru terkadang melakukan pengaburan. Taktik yang digunakan adalah menciptakan kenyamanan ketika berkesenian bersama sehingga muncul kerinduan berkumpul. Struktur informal inilah yang akan menggerakkan individu-individu dengan frekuensi yang sudah selaras.
Sebagai warga, JaF punya tanggung jawab untuk tetap berjalan secara organik, tidak disetir oleh kepentingan orang luar, termasuk pemberi bantuan dana. Untuk itu, JaF tidak bisa bergantung pada bantuan dana dan harus tetap menjalankan program. Dalam buku mereka hal ini dianalogikan dengan, “Bagaimana tujuan sebagai ‘gerbong’ dapat menarik berbagai hal walaupun sebenarnya secara operasional tidak mungkin untuk dilakukan?”
Dalam hal ini, JaF menekankan itikad saling tolong menolong dan membangun kemitraan, bukan sekadar memberikan atau membutuhkan bantuan dana. Untuk itu, JaF juga mengajak local heroes sebagai mitra yang saling menjaga dan menguntungkan. Terkait strategi ini, JaF memetakan fase-fase bantuan dana sebagai berikut:
Fase pertama, bantuan dana hanya sekadar meringankan beban, baik dari pemerintah maupun pihak swasta. Kedua, bantuan dana menjadi mengganggu karena ada atas bawah, ada yang diberi dan menerima. Terkadang menjadi tidak substansial dengan apa yang digagas dan tidak dapat menemukan frekuensi yang sama. Ketiga, bantuan dana merupakan hak sebagai warga negara. Keempat, menerima dengan dasar objektivitas dan tidak membawa gestur yang menunjukkan kepentingan lain. Terakhir, memaksa orang datang dengan keikhlasan dan tanpa keterpaksaan.
JaF membuka rumah kepada orang-orang yang ingin belajar sekaligus berbagi ilmu. Kolektif itu juga mempertemukan dengan orang-orang yang tepat sebagai sumber belajar atau sasaran pengetahuan. Namun, itu tidak berfungsi hanya untuk memperluas oase pengetahuan tetapi juga memupuk rasa saling percaya. Kepercayaan dibangun dari keterbukaan yang berlanjut pada kesediaan menjalani pengalaman ketubuhan dan rasa yang sama.
Hal ini memperjelas peran atau posisi JaF dalam kacamata warga. Selain melebur sebagai bagian dari warga, sekalipun tidak semua warga berasal dari Jatiwangi, JaF juga membaurkan unsur pemerintah ke dalam satu pemahaman. Pemerintah tidak dianggap sebagai lawan, tetapi organisasi yang di dalamnya juga memiliki individu-individu yang sepaham sehingga memungkinkan untuk diajak bekerja sama.
JaF memilih jalan yang halus dan tidak agresif dalam mendekati warga. Para tetangga diajak untuk berpikir lebih jauh dan mendalam tetapi tetap dengan cara yang santai dan disesuaikan pula dengan energi warga yang terbatas setelah menghadapi hiruk pikuk keseharian. Hal itu terepresentasi dalam diskusi rutin bulanan Forum 27an yang mengundang ahli, praktisi, atau seniman untuk berbagi pengalaman dan memunculkan alternatif sudut pandang.
Forum ini memantik warga untuk melihat dan mengapresiasi diri dan lingkungannya dengan jalan meminjam “kacamata” orang lain yang datang. Diawali dengan membicarakan diri sendiri lalu membicarakan pemerintah membantu warga berpikir menjadi pemerintah dan pemerintah berpikir menjadi warga, sehingga bisa memunculkan empati secara organik.
Investasi tidak harus kembali dalam bentuk materi. Pertukaran yang terjadi di JaF lebih banyak tidak dalam bentuk uang, tetapi akses dan jaringan yang di kemudian hari juga akan menghasilkan uang. Dengan mengedepankan rasa syukur, saling menyayangi, dan semangat belajar sebagai sebuah “imbalan”.
Festival tidak sekadar dilihat sebagai sebuah acara tetapi jalan untuk mencapai tujuan jangka panjang. Festival menjadi jalan edukasi ke masyarakat dan alat untuk memperkuat posisi tawar. Desa dilihat sebagai festival seumur hidup yang berisi keceriaan khas masyarakat pedesaan yang bebas berlari. Festival adalah kesempatan bergembira bersama, merasa mewah, dan membuat tanda di “peta”.
Patron pengetahuan
Seluruh pengetahuan yang berkembang di JaF muncul dari para pengurus, anggota, dan warga. Mereka saling menghadirkan beragam aktivitas dengan harapan, masyarakat Jatiwangi tidak perlu pergi jauh untuk mencari kebahagiaan. Dengan menghadirkan seni di tengah masyarakat dengan segala dinamikanya, diharapkan pula muncul pemahaman dan penerimaan bahwa kebahagiaan bisa muncul dari keterlibatan dalam aktivasi kebudayaan. Para seniman yang datang untuk mengikuti residensi atau kegiatan lain juga perlahan menginspirasi warga untuk turut terlibat dalam kegiatan berkesenian. Sementara pengetahuan warga menjadi sumber konsep karya-karya seni bagi para seniman.
Selain itu, JaF juga memiliki hubungan erat dengan sastrawan legendaris yang lahir di Jatiwangi, 31 Januari 1938, Ajip Rosidi. Meski Ajip tidak secara langsung menjadi patron pengetahuan bagi anggota JaF, relasi dengan tokoh tersebut berperan penting dalam memperkuat eksistensi JaF. Pada 2019, bertepatan dengan ulang tahunnya ke-81, Ajip menyerahkan rumahnya kepada JaF untuk dikelola dan dimanfaatkan untuk kegiatan literasi. Pada tahun yang sama, Ajip juga menghadiri Indonesia Contemporary Ceramic Biennale yang diadakan JaF.
Tak hanya itu, JaF juga membuat ajang pemberian penghargaan Rancage di Jebor Hall. Sebelumnya, Rancage adalah inisiatif pribadi Ajip untuk memelihara dan mengembangkan sastra Sunda sejak 1989 menggunakan dana pribadinya. Gelaran Rancage 2020 di Jebor hall menjadi ajang terakhir yang dihadiri Ajip sebelum meninggal.
Sasaran, pendekatan, dan keberlanjutan
Salah satu hal menarik yang dapat ditemukan di JaF adalah sikap dalam memposisikan pemerintah dan pengusaha dalam isu kedaulatan tanah. Bagi banyak gerakan, pemerintah dan pengsaha ada pada posisi yang harus dilawan, tetapi JaF tidak. JaF percaya pada jalan diplomasi serta yakin pada potensi dan keunikan individu per individu. Oleh karena itu, agen perubahan bisa ditempatkan di mana saja, termasuk dalam instansi pemerintah dan perusahaan. Bagi JaF, mengubah satu orang, menguatkan kompetensinya untuk menjadi diplomat mengenai isu yang diangkat serta menjadikannya sekutu dalam pergerakan dan mengubah bersama instansi dari dalam dan dari luar menjadi siasat yang lebih efektif.
JaF juga berupaya menginfiltrasi perspektif dengan menjadi bagian dari pemerintah. Beberapa anggota JaF pernah menjabat sebagai kepala dusun dan camat. Selain itu, berbagai kerjasama dengan pihak pemerintah juga tetap dikembangkan baik sebagai konsultan maupun dalam bentuk lain. Salah satu pendiri, Ginggi Syarif Hasyim, misalnya, menjadi Ketua Harian Komite Ekonomi Kreatif Kabupaten Majalengka.
Gedung Creative Center Majalengka dan halamannya
Keberhasilan infiltrasi paradigma kedaulatan tanah ini sudah terlihat dengan perencanaan wilayah berbasis kebudayaan tanah melalui proyek kota terakota yang diproyeksikan menjadi identitas Majalengka. Di berbagai media massa, Penjabat Bupati Majalengka, Dedi Supandi, juga menyebut bahwa mulai Oktober 2024 penataan median jalan bertema terakota akan diterapkan di sepanjang Jalan Raya Mambo hingga Munjul. Dedi bahkan juga menyebut telah meminta JaF untuk membantu pembuatan konsep terakota di jembatan.
Plakat peresmian Kawasan Lokus Terakota oleh Gubernur Jawa Barat
Foto karya terakota JaF di alun-alun Majalengka
Foto karya terakota JaF di alun-alun Majalengka
Selain dengan pemerintah, JaF juga menjalin hubungan baik dengan warga. Hal itu terasa dari keramahan warga terhadap orang-orang yang diidentifikasi sebagai tamu JaF. Para pemilik dan pegawai penginapan di sekitar JaF selalu antusias karena mengaku telah terbiasa dengan keunikan tamu-tamu JaF yang berasal dari beragam latar belakang. Begitu pula para pekerja jebor yang selalu terbuka dan tersenyum ramah jika ada tamu JaF yang ingin berdiskusi dengan mereka.
Pendekatan personal dengan cara menciptakan sekutu dan agen perubahan juga dilakukan terhadap warga. Semula, JaF memulai kegiatan dengan 10 keluarga yang tergolong “Publik yang Beralamat”, istilah yang digunakan salah satu pendiri JaF. Sebanyak 10 keluarga dimaksud adalah tetangga dekat JaF, yang bukan hanya diketahui namanya tetapi juga keluarganya, riwayat pendidikannya, dan informasi lain seputar aktivitas kesehariannya. Keluarga-keluarga inilah yang beraktivitas bersama JaF dalam menyelenggarakan pertunjukan musik, pameran, dan beragam aktivasi kebudayaan lain.
Mereka juga menjadi tuan rumah untuk program residensi. Bersama dengan 10 keluarga ini, JaF juga membantu pemerintah desa dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan seremonial. Hingga saat ini, JaF dan 10 keluarga tersebut juga bergerak bersama dengan 16 desa di Jatiwangi, termasuk membangun hubungan kerja dengan aparat Desa Jatisura, aparat Kecamatan Jatiwangi dan sejumlah kecamatan lain, serta Pemerintah Kabupaten Majalengka.
Pendekatan pada warga tentu bukan hal yang mudah dan cepat untuk dilakukan. Warga yang terbiasa pasrah dengan rutinitas harian memerlukan pendekatan khusus. Oleh karena itu, pada masa awal JaF beroperasi, para pendirinya mencoba “menciptakan jeda” bagi masyarakat.
Jeda dimaksud dibuat dengan menghadirkan bahan obrolan baru, contohnya, membuat kegiatan musik yang membuat warga merasa dipahami. Lagu balada menjadi pilihan karena karakternya sesuai dengan konteks kehidupan warga. Konser dan pemutaran lagu di radio juga berlangsung selama tiga tahun sebelum perlahan-lahan JaF mengenalkan diskusi dengan topik beragam.
Cara yang sama dilakukan dalam memperkenalkan seniman residensi. Rasa curiga kepada orang luar adalah hal yang wajar dimiliki oleh warga desa sekitar JaF. Degan begitu, pengenalan seniman residensi dilakukan sejak awal dengan menawarkan beberapa rumah untuk menjadi penyedia makanan, tuan rumah, ataupun tempat tamu JaF belajar. Ini terus berlanjut hingga para tamu tak lagi dicurigai, bahkan mendapat sambutan senyum hangat dari warga yang bertemu.
Karya seniman residensi dari Polandia di “Perusahaan Genteng Super Fajar”. Dalam residensi, pabrik tak hanya berfungsi sebagai sumber pengetahuan, namun juga menjadi tempat presentasi karya para seniman.
Penyebaran pengetahuan di JaF tidak berhenti pada program, proyek, dan inisiatif dalam berbagai bentuk. Oleh karena JaF adalah keluarga dan berfungsi seperti sekolah inisiatif warga, setiap anggota berperan membawa visi dan misi keluarga pada berbagai aktivitasnya di luar. Sebagian visi misi JaF pun melebur dan menjadi bagian dari masyarakat, manunggaling, karena JaF bukan hanya bergerak bersama masyarakat. Ia adalah masyarakat yang bergerak.
Anggota keluarga JaF yang saat ini punya kegiatan di luar juga masih menggunakan beragam pelajaran yang diambil selama aktif di JaF. Kopi Apik dan Rempah Embassy adalah dua contoh usaha dagang yang tetap mementingkan prinsip kedaulatan dalam menjalankan bisnisnya.
Bahkan, orang yang pernah tersentuh dengan JaF walau tak bisa ataupun tak merasa sebagai bagian internal JaF juga ikut menyerap prinsip JaF dalam kesehariannya. Contohnya, Saung Eurih yang membuat Bale Agung, sebuah tempat ibadah bergaya arsitektur terakota, yang diresmikan oleh Bupati Majalengka pada tahun 2023. Saung Eurih adalah sebuah restoran yang pemiliknya, Eman Kurdiman, juga merupakan bagian dari jejaring JaF dan kerap kali ikut membantu dalam kegiatan JaF. Tak jarang Forum 27-an mendapat bantuan berupa kiriman makanan dari Saung Eurih untuk para narasumber dan peserta diskusi.
Kaderisasi dan regenerasi
Selama 19 tahun terakhir, telah terjadi beberapa kali pergantian pengurus dan juga keanggotaan JaF. Banyak orang mengenal dan berjejaring dengan JaF, tetapi tak semua merasa nyaman untuk menjadi bagian dari kolektif tersebut. Regenerasi dalam konteks keluarga JaF tidak kaku, misalnya dengan mekanisme pendaftaran. Pencatatan nama hanya dilakukan untuk keperluan administratif, sehingga ketika ditanya, para pengurus juga tak dapat memberikan jumlah pasti anggota atau pengurus kolektif itu.
Biasanya, anggota-anggota baru yang aktif dan akan menjadi pengurus terjaring melalui kegiatan tiga tahunan JaF. Saat ini sudah ada generasi ke-5, bahkan anak dari para pendiri juga sudah mulai terlibat aktif dalam kegiatan dan pengorganisasian. Mereka yang terlibat dalam kegiatan ini bukanlah orang-orang yang baru mengenal JaF. Hampir seluruhnya sudah mengenal JaF, pernah datang ke acara yang diselenggarakan, atau minimal pernah mendengar reputasi JaF.
Mereka yang memilih aktif di JaF umumnya mempunyai kesamaan sikap dalam isu kedaulatan tanah. Namun, sikap dan prioritas ini tak cukup untuk membuat mereka mau berkegiatan bersama. Perlu ada kenyamanan dalam bekerja, menjadi bagian dari keluarga dan warga Jatiwangi.
(Harvest 8 Ruang Kolektif JaF)
Tidak ada metode khusus yang dilakukan oleh keluarga JaF untuk memunculkan kenyamanan. Akan tetapi, diskusi informal dan nongkrong menjadi aktivitas yang bisa membantu mengenal lebih dalam prinsip-prinsip JaF. Dengan begitu, setiap orang dapat mengukur kenyamanannya sebelum menentukan keberlanjutan kegiatannya bersama JaF.
Dulu, nongkrong dan minum kopi bersama ini dilakukan dengan santai dan spontan karena berbagai kegiatan masih menggunakan rumah dan halaman keluarga pendiri. Namun, sejak pusat kegiatan JaF beralih ke Jebor Hall, ada sedikit perubahan dalam berinteraksi. Orang-orang di JaF tidak lagi bisa nongkrong sespontan sebelumnya, karena ruangan utama Jebor Hall yang beratap logam terasa begitu panas. Ruangan lain yang berpendingin udara pun tak bisa serta merta digunakan, karena sudah ada peruntukannya masing-masing.
Beberapa alternatif tempat nongkrong sekaligus bertukar pengetahuan di JaF. Atas: Samping Jebor Hal. Bawah: Halaman belakang.
Menjadi bagian dari JaF artinya menjadi keluarga. Untuk itu, diperlukan kesediaan untuk mengembangkan rasa saling percaya dengan orang lain yang terlebih dahulu menjadi keluarga, dan bisa menjadi tetangga yang baik untuk warga sekitar. Orang-orang yang akan bergabung juga perlu melewati proses, salah satunya menjadi panitia untuk acara tiga tahunan. Sebab, menjadi panitia artinya terlibat langsung dalam babanton, dan itu memerlukan kepekaan khusus.
Salah satu anggota JaF bercerita tentang bagaimana ia diberi tugas untuk meminjam mobil dari tetangga. Artinya, ia perlu berkenalan dengan para tetangga, mencari alternatif mobil yang tepat, dan kemudian mencari cara komunikasi yang tepat untuk meminjam mobil. Anggota junior lain menjelaskan, awal mula keterlibatannya adalah dalam membuat poster untuk kegiatan JaF. Tugas itu membuatnya perlu mendiskusikan isi dan desain poster pada beberapa orang. Di saat melakukan tugas-tugas kepanitiaan dan nongkrong serta minum kopi bersama itulah mereka jadi tahu lebih banyak tentang JaF lalu memutuskan untuk ikut lanjut menjadi bagian dari kolektif itu.
Diskusi tim peneliti dengan anggota JaF Lintas generasi berlangsung cair
Perkenalan dengan JaF juga tidak selalu terjadi di rumah JaF. Para anggota JaF yang banyak berkegiatan di luar dan menyebarkan pengetahuannya menjadi daya tarik tersendiri bagi anak-anak muda yang menjadi calon anggota atau keluarga JaF. Ada anggota yang pertama mendengar JaF saat mendapat tugas kuliah atau bertemu di acara kebudayaan. Ada pula yang tinggal di desa tetangga lalu masa kecilnya diisi dengan bermain di rumah JaF bersama anak-anak lain.
Tidak bisa dimungkiri, kaderisasi menjadi lebih mudah karena ada faktor kewilayahan yang menjadi pengikat. Namun, ada pula yang sebenarnya bukan warga dan akhirnya memutuskan pindah dan berdomisili di Jatiwangi. Hal ini terjadi pada salah satu anggota yang pernah melihat pendiri JaF di kampusnya, sebelum pertama kali berkunjung ke JaF pada tahun 2009 karena ajakan seorang narasumber yang akrab dengan JaF. Dari pertemuan tersebut, ia melihat langsung bagaimana seniman residensi bisa melakukan banyak hal melalui karyanya. Akhirnya ia memiliki kartu tanda penduduk Jatiwangi dan masuk dalam kartu keluarga salah satu pendiri/ Setelah lulus kuliah di Bandung, Jawa Barat, ia pun pindah ke Jatiwangi lalu melanjutkan studi magister dengan topik bahasan yang berkaitan dengan kebudayaan tanah.
Pengembangan komunitas secara organik yang dicita-citakan oleh para anggota JaF tampak sudah mulai menemukan jalan. Kini, jejaring JaF semakin luas. Perkembangan JaF sangat dirasakan terutama oleh mereka yang mengikuti kolektif ini sejak awal. Eman Kurdiman, misalnya, mengibaratkan semula JaF seperti jendela yang menunjukkan pada warga pemandangan jauh ke depan, sedangkan saat ini menjadi pintu yang selalu terbuka untuk orang yang datang dan bertukar ilmu dengan warga, menyambungkan orang dan menguatkan nilai-nilai budaya.
JaF tidak seperti sekolah formal yang menjauhkan generasi penerus dari pengamatan sehari-hari. JaF justru menjadi penjaga nilai budaya di tengah pembangunan yang bisa merusak tata nilai masyarakat. JaF juga membangun kesadaran kewilayahan warga untuk membela ruang tempat tinggalnya secara moral dan sosial.
Saat ini, JaF berusaha untuk terus mengembangkan diri dan menyesuaikan dengan perkembangan terbaru. Mengingat jejaring yang kian menguat dan bergerak, para anggota merasa aktivasi dan kegiatan tak harus dijalankan di Jebor Hall lagi. Ruang-ruang kelas dapat terjadi di setiap jejaring. JaF sendiri, bila diibaratkan sebagai sekolah yang diinisiasi warga untuk kebutuhannya, dapat berfungsi sebagai ruang guru untuk berkoordinasi dan berkonsolidasi dalam usaha bergerak bersama.
Sebagian narasumber penelitian. Atas ki-ka: Kang Ismal (Direktur JaF), Pak Didi (pemilik pabrik genting Sumber Fajar), Pak Ginggi (board JaF). Bawah ki-ka: A’ Illa (JaF generasi awal), Abi Abdul Gani (pendiri Rumah Tuli Jatiwangi), Kang Eman (pemilik Saung Eurih)
Notulensi visual beberapa wawancara
Presentasi temuan data tim penelitian Ekstrakurikulab 2024 Serrum ke anggota JaF
Pak Arief, pendiri JaF merespon presentasi tim
DAFTAR PUSTAKA
Siagian, Bunga. 2022. Seni Babanton: Para Tetangga Yang Baik, Sepakat Untuk Selalu Sepakat. https://www.academia.edu/94075845/_2022_Seni_Babanton_Para_Tetangga_Yang_Baik_Sepakat_Untuk_Selalu_Sepakat_Ind_Version_
Muntaha, I. & Ahmett, I. 2013. 10 Strategi Imunisasi Budaya Jatiwangi art Factory. www.jatiwangiartfactory.wordpress.com
Rajul, Awla. 2023. Dilema Buruh-buruh Muda Dalam Deru Pembangunan Majalengka. https://bandungbergerak.id/article/detail/158984/dilema-buruh-buruh-muda-dalam-deru-pembangunan-majalengka
Sujai, AA; Safari, Y; dan Kamaluddin M. 2017. Komunikasi Budaya Musik Tanah Liat Komunitas JaF. JIKE Vol 1, no 1, Desember 2017. https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/79113551/36-libre.pdf?1642655456=&response-content-disposition=inline%3B+filename%3DKomunikasi_Budaya_Musik_Tanah_Liat_Komun.pdf
https://jatiwangiartfactory.com
https://www.perhutani.co.id/tentang-kami/sejarah-perusahaan/
Didirikan pada tahun 2005, Jatiwangi art Factory (JaF) adalah komunitas yang merangkul seni kontemporer dan mempraktikkan budaya sebagai bagian dari wacana kehidupan lokal di daerah pedesaan. Beragam kegiatan mereka, yang selalu melibatkan masyarakat setempat, meliputi festival video, festival musik, program residensi, seri diskusi, serta stasiun TV dan radio. Pada awal abad kedua puluh, industri tanah liatnya menjadikan Jatiwangi sebagai daerah penghasil genteng terbesar di Asia Tenggara. Proyek Kota Terakota dengan demikian menandai dimulainya budaya tanah liat baru bagi Jatiwangi, yang merombak kota berdasarkan keinginan masyarakatnya dan kesepakatan bersama mereka. Dalam pengertian ini, Kota Terakota berbicara tentang “terra” tidak hanya sebagai material, tetapi juga sebagai tanah, wilayah, atau ide.
© 2024 Ekstrakurikulab | Serrum – Perkumpulan Studi Seni Rupa dan Pendidikan
Serrum merupakan perkumpulan studi seni rupa dan pendidikan di Jakarta yang didirikan pada 2006. Kata Serrum berasal dari kata share dan room yang berarti “ruang berbagi.” Serrum berfokus pada isu pendidikan, sosial-politik dan perkotaan dengan pendekatan presentasi yang edukatif dan artistik. Kegiatan Serrum meliputi proyek seni, pameran, lokakarya, diskusi dan propaganda kreatif. Medium karya yang Serrum gunakan meliputi video, mural, grafis, komik dan seni instalasi.