Melihat dan mendengar langsung cerita-cerita dari Tepian Kolektif membawa sebuah kesepakatan bahwa berkolektif bisa dijalankan walau tak punya ruang yang tetap. Dalam menjalankan sebuah kolektif yang terdiri dari anak-anak muda lintas disiplin ilmu ini mereka hanya bermodalkan semangat yang sama bagaimana kesenian di Berau dapat dipandang dan bertumbuh.
Mereka pun mulai berkoneksi dengan kawan-kawan lama dari Berau yang tersebar di mana saja. Berinisiasi dengan kawan lama ini, pelan-pelan mereka saling membangun impian tang sama dalam wadah kolektif seni yakni Tepian Kolektif.
Tepian Kolektif berada di wilayah Berau dengan kebudayaan sungai yang melekat pada masyarakatnya. Nongkrong di pinggir tepian sungau ini sebagai budaya berkumpul yang mereka lakukan dari warung kopi berbagi pengetahuan dan mulai menginisiasi acara-acara kesenian yang melibatkan warga.
Masa ke masa Tepian Kolektif mulai mentranskip kebudayaan dan pengetahuan yang berakar dari pengetahuan lokal masyarakat Berau. Menciptakan proyek seni dari jejaring yang mereka punya. Mimpi mereka menginginkan kebudayaan Berau ‘nyaring’ lewat dokumentasi-dokumentasi yang mereka lakukan meresonansi bahwa Berau memiliki kebudayaan dan kesenian yang hadir dalam ekosistem seni di Indonesia.
Sungai Sebagai Kosmologi Budaya Masyarakat Berau
Berau, kabupaten yang terletak di wilayah Provinsi Kalimantan Timur ini mempunyai sejarah kesultanan seperti halnya Kutai Kartanegara. Hal ini bisa dilihat dari berdirinya Keraton Batiwakkal yang berada di pinggir sungai Segah, Kecamatan Gunung Tabur. Dan keraton Sambaliung yang berada di pinggir sungai Kelay, Kecamatan Sambaliung. Dua kesultanan ini masih aktif, walaupun bukan seperti fungsi awalnya yang mengatur kekuasaan wilayah. Kedua kesultanan ini lebih aktif sebagai simbol kesultanan kabupaten Berau dan perwakilan adat. Dua kesultanan ini meninggalkan bangunan keraton, turunan budaya serta pecahan wilayah yang dibagi menjadi 13 kecamatan dengan kecamatan Tanjung Redeb sebagai ibukota kabupatennya.
Tepian Kolektif berada di Kecamatan Tanjung Redeb, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Secara geografis, Tepian Kolektif berada di wilayah yang dilintasi oleh dua sungai besar, yaitu sungai Segah dan Kelay. Kedua sungai tersebut memegang peranan penting dalam perekonomian dan menjalankan rutinitas keseharian. Di dua sungai ini pula terdapat beberapa pelabuhan dengan aktivitas tanpa henti, seperti menurunkan dan menaikan kebutuhan pangan dan sembako dari Jawa dan Sulawesi yang akan dikonsumsi warga Berau. Perahu pengangkut batu bara dan pasir pun selalu hilir mudik di kedua sungai ini serta menjadi jalur transportasi warga ke daerah lain baik untuk pulang kampung ke daerah yang lebih dalam, untuk berlibur ke pulau-pulau yang terletak di sekitar kecamatan Derawan hingga memancing di muara sungai.
Perahu ketingting sebagai transportasi sungai
Di kecamatan Tanjung Redeb, masyarakat sering menggunakan jasa transportasi perahu ketinting untuk menyeberang ke Sambaliung atau Gunung Tabur, atau bahkan untuk awal kapal yang perahunya sedang berlabuh di tengah sungai. Ketinting adalah moda transportasi sungai alternatif yang mempunyai panjang empat sampai lima meter dengan lebar kurang lebih satu meter. Menjadi alternatif karena adanya perubahan moda transportasi semenjak adanya pembangunan jembatan yang menjadi jalan penghubung antar kecamatan juga semakin mudahnya akses warga untuk membeli kendaraan bermotor secara kredit. Walaupun transportasi airnya mulai tergantikan, masyarakat Berau yang berada di Kecamatan Tanjung Redeb tidak bisa lepas dari budaya sungainya. Di Malam hari, masyarakat sekitar menjadikan tepian sungai Segah dan Kelay sebagai tempat nongkrong dan ngobrol sambil jajan di gerobak makanan dengan berbagai macam menu dari berbagai wilayah. Ada gerobak makanan yang menjual sarabba dan pisang epe yang identik dengan makanan khas Makassar, ada nasi kuning banjar yang identik dengan makanan khas suku Banjar di Kalimantan Selatan, ada gorengan dari aci yang penjualnya berlogat Jawa, juga minuman yang biasa kita jumpai di cafe. Tepian menjadi pertemuan kosmologis. Pertemuan berbagai wilayah melalui makanan, pertemuan warga untuk membicarakan hal-hal yang menjadi keseharian, dari urusan rumah tangga sampai obrolan urusan kerja hingga hanya sekedar duduk di tepi sungai dan melepas penat setelah kerja seharian. Tepian inilah yang menjadi budaya nongkrong tempat ngobrol, mencari ide dan gagasan, merancang kegiatan dan melontarkan impian dan imajinasi.
Masyarakat Berau dahulu merupakan masyarakat sungai karena dilintasi sungai-sungai besar. Perahu menjadi transportasi lokal, dan rumah dengan ruang tamu menghadap ke sungai tepat di depannya. Sungai sebagai kosmologi lokal dan sumber belajar bagi masyarakat setempat untuk mengambil keputusan dalam keseharian, pengetahuan membaca arus sungai atau mereka sebut Guris menjadi acuan dalam melakukan kegiatan seperti waktu bepergian ke ladang, memanen dan lamaran. Lain halnya dengan orang-orang Berau dari suku-suku yang di daerah pedalaman, karena di dalam hutan keyakinan-keyakinan mereka berasal dari pengetahuan hutan seperti kayu, akar, minyak dan cara pengobatan sehingga memanfaatkan kekayaan hutan dalam menjalani praktik hidup mereka. Begitu pula mereka yang berada di laut, mereka juga memanfaatkan kekayaan laut seperti akar bahar atau akar laut menjadi pengetahuan untuk obat.
Seiring dengan perkembangan dan modernitas, Berau berubah menjadi masyarakat kota dengan pembangunan gedung, perumahan serta akses jalan jalur darat. Perubahan-perubahan infrastruktur telah mengubah wajah tradisi dan budaya orang-orang Berau. Bisa dibilang sekarang orang-orang Berau telah memunggungi sungai. Bisa dilihat dari kondisi rumah sekarang yang membelakangi sungai atau menjadi dapur, tempat mencuci peralatan masak dan pakaian. Masa ke masa Berau memiliki jembatan dan jalan darat yang sering dilalui kendaraan-kendaraan, sehingga masyarakat sudah mulai beralih pada transportasi darat yang juga mengubah budaya mereka yang dahulu rumah menghadap sungai kini rumah-rumah itu telah memunggungi sungai.
Perubahan infrastruktur tersebut telah menjadikan kendaraan roda dua maupun roda empat menjadi transportasi utama keseharian dalam beraktivitas. Berbagai macam profesi dan kegiatan dalam menjalani keseharian masyarakat Berau diantaranya sebagai nelayan, petani, pedagang, guru, PNS, pekerja tambang,pekerja sawit, pengusaha, pelaku seni, tokoh adat, keluarga turunan kesultanan, dan motoris pengendara ketinting yang mengarungi sungai.
Biasanya masyarakat Indonesia merujuk suku Dayak sebagai suku asli di Kalimantan. Namun, turunan dari suku Dayak ini juga banyak dan beragam. Bahkan telah bercampur baur dengan suku pendatang, seperti Banjar, Bugis, suku dari wilayah Indonesia Timur dan juga Toraja. “Kalo suku Dayak aslinya di sini seperti Gaai, Basap, Punan dan ada lagi yang di Merabu”, ungkap Prima. “Berau mempunyai tiga suku asli, Berau atau biasa disebut suku Banua. Berau merupakan nama bahasa sebenarnya, untuk nama sukunya Banua. Padahal, Berau itu Kabupaten Berau dengan suku Banua yang berada di pemukiman, Bajau yang berada di pesisir, Dayak yang berada di pedalaman”. Penjelasan yang lebih detail disampaikan oleh Darmawi, pria kelahiran Berau tahun 1983. Ia merupakan warga kampung Bebanir Bangun di kecamatan Sambaliung, dan anak dari Kai Kamal yang bekerja sebagai nelayan penangkap kepiting, sekaligus aktor dalam lakon Mamanda sebuah seni pertunjukan asal Berau yang mirip seperti kesenian Lenong Betawi. Mamanda ini memiliki durasi pentas empat sampai lima jam atau lebih, menyesuaikan kondisi saat pementasan. Kesenian yang dipentaskan saat adanya hajatan adat seperti pernikahan maupun kegiatan nasional seperti perayaan hari kemerdekaan Indonesia, sebagai bentuk hiburan masyarakat.
Minum kopi di pagi hari dengan sarapan roti gembong menjadi kebiasaan masyarakat Berau sebelum memulai aktivitas. Di siang hari, perempuan Berau memakai pupur dingin dari beras ketan serta kunyit sebagai masker wajah.. Di waktu tertentu pun, masyarakat adat masih melakukan ritual sebagai pengharapan dan doa. Seperti yang dilakukan oleh suku Banua di kampung Bebanir Bangun pada bulan Safar.
Dalam konteks olahraga, masyarakat Berau mengenal seni bela diri Kuntau. Gerakan yang ada di Kuntau hasil dari mimesis gerak hewan yang ada di wilayah Berau, seperti salah satunya monyet. Gerakannya cenderung sama tanpa aliran tertentu karena bela diri ini berasal dari satu guru. Selain kuntau, mereka juga punya olahraga Pancuk atau adu panco, dan Babinting berupa tendangan kaki dan baku pukul dalam kondisi setengah badan ke bawah terkubur di tanah. Babinting sendiri bukan untuk adu kekuatan, atau mencari pemenang atau pemuda yang tangguh. Kegiatan ini dilakukan warga untuk hiburan masyarakat semata.
Kesemua pengetahuan lokal itulah yang menjadi titik tolak Tepian Kolektif dalam memilih bentuk artistik dengan melibatkan masyarakat secara partisipatoris.
Isu Pertambangan dan Pariwisata
Berau juga dikenal sebagai salah satu daerah lahan pertambangan dan kelapa sawit. Sehingga rutinitas jalan darat dengan intensitas cukup tinggi dari mobil pengangkut hasil migas dan kelapa sawit serta alat berat seperti kendaraan eskavator yang digunakan untuk pertambangan, lalu lalang melintas seharian penuh di jalan poros Berau. Kebetulan kami bertiga menggunakan jalur darat dari Balikpapan menuju lokasi Tepian Kolektif di kecamatan Tanjung Redeb, Berau Durasi perjalanan kurang lebih 24 jam dengan melintasi daerah pegunungan dan hutan serta beberapa infrastruktur jalan yang rusak bersama iring-iringan mobil besar milik perusahaan pertambangan semakin menguatkan kesan aktivitas pertambangan dan perkebunan kelapa sawit yang tinggi.
Sumber daya alam Berau yang dieksploitasi menjadi pertambangan dan perkebunan sawit ini menjadi keresahan masyarakat, terutama pada isu lingkungan. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat Berau bahwa di jaman sekarang untuk mendapatkan surat legal untuk aktivitas menambang sudah sangat mudah. Para penambang ilegal juga sudah tidak malu lagi untuk menambang di radius 2 km dari pemukiman warga. Semua aktivitas ilegal tersebut terjadi tanpa pengawasan ketat dari pihak berwenang. Akibatnya, suhu udara di Berau nampak semakin panas. Hutan-hutan menjadi gundul karena semakin meluasnya lahan tambang dan perkebunan sawit. Bekas galian meninggalkan lubang seperti genangan kolam yang berukuran luas dan cukup dalam tanpa adanya upaya rehabilitasi lahan.
Pembangunan wisata yang tidak memperdulikan lingkungan menyebabkan buaya menjadi sering dijadikan topik pembicaraan di media sosial masyarakat Berau. Padahal jika ditelusuri lebih dalam, bisa jadi buaya yang masuk ke dalam area wisata disebabkan karena kawasan tempat tinggal dan tempat musim kawinnya di muara sungai telah tergeser oleh perluasan lahan dari perkebunan sawit atau kepentingan pariwisata itu sendiri. Contohnya seperti di Labuan Cermin yang terletak di Desa Labuan Kelambu, Kecamatan Biduk-Biduk. Labuan Cermin merupakan wisata air alami dengan dua rasa di mana bagian atas danau merupakan air payau Sedangkan di bagian di bawah merupakan air laut. Akibatnya, buaya dipandang sebagai momok untuk wisatawan.
Buaya besar sungai Segah yang diawetkan, terletak di kawasan Keraton Sambaliung, Berau.
Secara konteks lokal, buaya sangat dekat dengan tradisi budaya masyarakat Berau. Mereka menganggap buaya adalah kembaran dari seorang anak yang lahir di Berau. Orang-orang dahulu, khususnya suku Banua meyakini bahwa setiap anak memiliki kembaran buaya yang tinggal di sungai. Keyakinan ini akhirnya menjadi tradisi lokal masyarakat sungai dengan tradisi bebuang-nya. Tradisi ini mirip seperti larungan di Jawa. Masyarakat biasanya akan membuang dan menghanyutkan sesaji (atau bebuang) ke sungai setiap tahun sekali dan juga kondisi-kondisi tertentu, seperti ketika anak atau anggota keluarga sakit dan bermimpi melihat buaya. Mereka percaya sesajen itu akan dimakan oleh kembaran mereka yang merupakan seekor buaya, yang juga kembaran mereka yang akan menjauhkan dari petaka sakit dan kemalangan.
*******
Meskipun terpisah secara geografis, anggota-anggota tepian kolektif mulai menginisiasi untuk berkumpul menciptakan Tepian Kolektif. Memanfaatkan jejaring lewat proyeksi seni yang mereka jalankan, berkoneksi dengan kawan-kawan lama di Yogyakarta, serta jejaring lainnya.
Tepian Kolektif mulai menginisiasi proyek seni yang berakar pada patron pengetahuan lokal yang berasal dari masyarakat Berau. Melibatkan warga dan mulai aktif mengarsipkan pengetahuan lokal itu menjadi mata baca tanda-tanda kebudayaan lokal Berau.
Mulai memikirkan bahwa kerja pengarsipan menjadi penting sebagai cara mereka menerjemahkan kebudayaan Berau. Lewat videografi mereka mulai mengarsipkan pelbagai pengetahuan lokal sebagai cara bercerita dan menguatkan narasi Berau dalam ekosistem seni di Indonesia.
Pengaruh Yogyakarta
Masyarakat Berau masih banyak yang menganggap bahwa tujuan bersekolah adalah untuk mengisi pekerjaan baik di perkantoran maupun pertambangan. Sekolah hanya dianggap sebagai bekal untuk melengkapi syarat administrasi ketika mendaftar kerja. Infrastruktur seni di Berau tidak terjangkau oleh Dewan Kesenian maupun kampus-kampus seni yang memang disediakan oleh Negara. Pun kesenian masih berpusat di Samarinda, Balikpapan maupun Tenggarong.
Akibatnya kegiatan yang berhubungan dengan seni dan budaya tidak terlalu berkembang di Berau. Siswa-siswi sekolah hanya mengenal dan mempelajari kesenian ketika mengisi acara seremonial untuk menyambut tamu atau bagian dari mata pelajaran di sekolah. Potensi-potensi bakat mereka hanya diasah di sanggar dan menjadi penampil seremonial. Hal ini yang menjadi kekhawatiran Prima, salah satu pendiri Tepian Kolektif. Saat SMA, Prima menjadi primadona sekolah di bidang seni dikarenakan prestasinya sebagai penyanyi solo juara kedua tingkat nasional, dan foto dirinya terpampang di SMA Negeri 1 Berau. Ia lalu melanjutkan kuliahnya di Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Ketika kembali ke Berau beberapa tahun setelahnya, celetukan Prima, “Masih sama ya berkesenian saat jaman SMA. Potensi bakat seni individu diantar ke sanggar untuk berlatih dan memenangkan kompetisi, serta kepentingan industri lokal seperti penampilan menyambut para tamu di bandara dan atau acara kedinasan sebagai bentuk ceremony“.
Kota Yogyakarta bisa dibilang membuka mata anggota-anggota Tepian Kolektif soal kesenian. Pengalaman beberapa anggotanya seperti Prima, Wendi dan Kiki yang merasa atmosfer kesenian di Yogyakarta jauh berbeda dengan apa yang mereka lihat di Berau. Mereka bertiga adalah alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang berkondisi khusus, atau istilah yang mereka gunakan: ditarik dealer.
Tidak seperti yang mereka alami di Yogyakarta yang sangat aktif berkesenian, di Berau sangat jarang yang melakukan penelusuran potensi seni yang berkonteks lokal secara mendalam. Juga tidak ada ekosistem serta distribusi pengetahuan soal kesenian. Mereka melihat kesenian di Berau berada di jalan yang “sunyi” karena tidak ada siapa-siapa untuk menghasilkan apa-apa.
Dari keresahan itulah, Prima mulai mengajak teman-temannya yang lain untuk menghidupkan kembali kesenian di Berau. Ia melihat Berau sebenarnya mempunyai potensi untuk mengembangkan keseniannya karena banyak yang mempunyai kesamaan latar belakang seperti banyak yang berkuliah di ISI Yogyakarta dan ISBI Kalimantan Timur sehingga mereka bisa saling mengisi untuk mewujudkan bentuk presentasi karya, atau hanya sekedar kawan berdiskusi dan berbagi. Terlebih kebanyakan dari mereka juga sudah kembali ke Berau.
Ia lalu mengumpulkan teman-temannya yang pernah berproses di proyek seni, seperti Kiki dan Wendi yang juga merupakan satu sekolahnya di SMP, SMA dan kuliah. Dari perjumpaan ini, mereka pun akhirnya bersedia untuk berkolektif. Mereka juga membahas beberapa hal seperti membangun kesenian di Berau tidak bisa bekerja sendirian sehingga perlu untuk mengajak kawan yang lain juga. Hingga celetukan, “Jadi beras nda ni?”, karena mereka juga merasa bahwa berkesenian secara berkolektif juga harus menopang secara ekonomi.
Mungkin kesamaan latar belakang mereka bertiga di seni pertunjukan (etnomusikologi) yang menyatukan dasaran dalam berkolektif. Mereka akan saling mengisi untuk mewujudkan bentuk presentasi karya, sekedar kawan berdiskusi dan berbagi. Dan kebanyakan dari mereka juga sudah kembali ke Berau. Selain mengumpulkan teman-temannya di Berau, Prima juga menemui kawan lamanya di Yogyakarta yang juga orang Berau. Kebetulan juga karena saat itu, Prima sedang memenuhi undangan seorang teman yang kemudian dimanfaatkan Prima untuk menemui Eka Wahyuni “Echa”.
Echa merupakan lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia mengenal Echa saat bersama-sama menjadi anggota di sanggar yang sama, Enggang Melenggang. Ini adalah sanggar yang dikelola oleh Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Kalimantan Timur (IKPMKT) di Yogyakarta. Ia juga mengenali Echa sebagai koreografer dan pernah terlibat sebagai kolaborator di beberapa proyek seninya.
Pertemuan mereka membuahkan satu strategi awal. Berangkat dari pengalaman berkarya bersama dan saling memberikan dampak yang bermanfaat bagi keduanya, mereka akhirnya sepakat untuk kembali mengumpulkan teman-teman yang paling tidak mau bergerak bersama yang didasari oleh keresahan yang sama sambil mencari potensi yang dimiliki oleh teman-teman di Berau.
Echa pun menghubungi Risna ‘Aya’ Herjayanti yang juga sama-sama pernah menari di Enggang Melenggang. Aya adalah lulusan Pendidikan Seni Tari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan menjadi guru seni budaya di SMA Negeri 2 Berau. Setiap kepulangan Echa ke Berau saat lebaran Idul Fitri, ia pasti menyempatkan bertemu dengan Aya untuk sekedar saling bertukar cerita tentang perkembangan seni di Berau. Echa pun menceritakan ide dan gagasan berkolektif seperti yang disampaikan Prima saat berkunjung ke Jogja. Obrolan tersebut memantik Aya dengan keresahan yang sama; karena menurutnya di Berau juga kurang ada tempat untuk dia pribadi kembali belajar seni karena disibukkan dengan kegiatannya sebagai guru dan make up artist. Sehingga baginya, dengan pengalaman berkolektif ini dapat memberikan pemahaman dan pengetahuannya tentang kolektif. Juga menjadi ruang pengembangan kapasitasnya juga sebagai tenaga pengajar.
Obrolan-obrolan keduanya kemudian beralih mengenai ide dan gagasan berkolektif seperti yang disampaikan Prima saat berkunjung ke Jogja untuk menemuinya. Obrolan itu memantik Aya yang merasa perlu untuk kembali belajar dan berbagi keresahan, keinginan dan pengetahuannya dalam sebuah kolektif, kesempatan untuk membuka ruang pembelajaran bagi instansi sekolah di mana dirinya mengajar sebagai guru.
Prima pun juga mengajak Melynda Adriani. Ia lulusan seni tari ISBI Kalimantan Timur yang terletak di Tenggarong, Kutai Kartanegara dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Setelah lulus, ia bekerja sebagai guru seni budaya di SMP N 6 Tanjung Redeb sambil tetap meneruskan profesinya sebagai koreografer dan penari. Ketika Prima mengajaknya, ia menyambut ide berkolektif di Berau ini dengan antusias. “Ayo aja..”, ucap Melynda. Kala itu, ia berharap dengan berkolektif mampu mewadahi potensinya sebagai alumni seni tari dan juga guru seni budaya. Ia juga melihat bahwa kolektif ini dapat dijadikan sebagai mainan baru mengeksistensikan dirinya ke dalam seni pertunjukan baik dalam wilayah sekolah dan juga masyarakat. Pertemuan seni di sekolah dan masyarakat menurutnya akan menjadi acuan dalam berkreasi dan pengembangan artistik ketika menciptakan karya, dan juga mempunyai nilai edukasi. Sehingga lebih jauh, ia berharap kebermanfaatan kolektif ini nantinya bisa memberikan dampak yang luas bagi pengembangan diri siswa dalam hal ini generasi muda, patron pengetahuan (tetua adat) maupun konteks lokal seni budaya di Berau.
Kehadiran kolektif diharapkan mampu mewadahi potensinya sebagai guru. Kolektif ini pun bisa menjadi mainan baru bagi eksistensi dalam seni pertunjukan pada wilayah sekolah formal dan masyarakat. Pertemuan seni di sekolah formal dan masyarakat akan menjadi acuan dalam bentuk kreasi, artistik dan edukasi Sehingga kebermanfaatan Tepian Kolektif diharapkan mempunyai dampak luas bagi pengembangan diri siswa dalam hal ini generasi muda, patron pengetahuan (tetua adat) maupun konteks lokal seni budaya di Berau.
Kehadiran Tepian Kolektif ibarat magnet yang mulai menarik potensi-potensi individu untuk berjejaring dan berkolektif. Melihat dampak yang dirasakan serta temuan akan tantangan dan menutup celah kekurangan akan potensi individu kolektif, kemudian yang ikut bergabung adalah Nella Putri Giriani. Ia lulusan Sastra Indonesia Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Ia kerap menulis dan meneliti seni dan budaya Berau. Ia juga seorang guru seni budaya di SMP N 6 Tanjung Redeb dan dosen di salah satu kampus swasta di Berau dan Samarinda.
Pada tahun 2020, Azwar ‘Ipey’ Ahmad yang juga calon suami Echa pergi ke Berau. Ini adalah kali keduanya ia ke sana. Kali ini perjalanannya berbeda. Jika sebelumnya untuk berkenalan dengan keluarga Echa dan juga teman-temannya, sekarang ia juga turut membantu Prima memetakan kemungkinan pergerakan kolektif dan potensi apa saja yang bisa dikerjakan teman-teman. Kebetulan pada saat Prima dan Echa sedang mendiskusikan hal ini di Yogyakarta, Ipey juga turut serta dalam percakapan tersebut. Sehingga sedikit banyak ia juga turut membangun dialog mereka berdua dan terlibat dalam pembuatan kolektif. Ipey sendiri adalah seorang video maker kelahiran Karawang. Ia berasal dari Ilmu Komunikasi Mercubuana Yogyakarta. Ia sering membantu proyek seni teman-temanya dan membuat karya seni lintas disiplin. Ipey sering bereksperimen dengan video dan foto sebagai medium artistiknya.
Awal kedatangan Ipey di Berau mulai mengajak kawan-kawan yang ia kenal di perjalanan sebelumnya untuk nongkrong bareng. Dari sana, ternyata banyak memilih untuk belum memilih tergabung di kolektif karena bentrok dengan kebutuhan personal. Sehingga yang tergabung adalah orang-orang yang diajak Prima dan Echa di awal bergerak. Setelahnya, pemetaan potensi pun dilakukan dengan fokus pada mensinergikan kepentingan personal menjadi bagian dari kepentingan kolektif. Setiap anggota melihat kembali aktivitas personal masing-masing yang berkaitan dengan seni, dan kemudian mengimajinasikan impian mereka akan Berau yang berangkat dari keresahan masing-masing seperti ekosistem seni yang tumbuh melalui potensi lokalitas agar bisa relevan dengan kesadaran masyarakat Berau. Juga dikarenakan Echa yang tinggal di dua wilayah (Yogyakarta dan Berau), menyadarkannya untuk membayangkan program dan kegiatan seni yang tidak memusat. Dalam artian bahwa kegiatan atau program yang nanti akan dirancang oleh kolektif tidak “seperti” Jawa.
Setelah merasa bahwa mereka sudah sepaham dengan visi misi dari pergerakan kolektif ini, muncul pertanyaan-pertanyaan berikutnya seperti apa nama kolektifnya? Ini akan menjadi kolektif yang seperti apa? Nantinya akan bikin apa saja? Bagaimana cara mewujudkannya? Kesemuanya itu menjadi pekerjaan rumah bersama dengan kesadaran akan posisionalitas kolektif. “Wajar karena mereka lama di Jogja, membuat ide dan gagasan serba salah atau tidak suka jika melihat sudut pandang Jogja diterapkan di Berau,” ucap Ipey. Pemahaman bahwa apa yang diperbuat tidak perlu sama dengan apa yang dibuat ketika masih di Yogyakarta dulu, karena bisa jadi yang lebih tepat adalah menerapkannya praktiknya berdasarkan lokalitas Berau.
Pertemuan anggota Serrum bersama Tepian Kolektif dan kawan-kawan pegiat seni budaya di Swasana Cafe, Berau.
Di bulan Desember 2020, pertemuan semakin intens. Mereka bertemu dari warung kopi satu ke warung kopi lainnya, hingga ke tepian-tepian di Tanjung Redeb. Pertemuan itu memunculkan temuan menarik. Mereka sama-sama menyadari bahwa patron budaya di Berau yang sudah sepuh, padahal patron budaya tersebut memiliki segudang pengalaman untuk diarsipkan. Mereka juga mulai mendata potensi seni dan budaya berbasis lokalitas. Temuan-temuan ini mereka kaji ulang dengan landasan bahwa apa yang mereka akan buat dapat diartikulasikan sesuai dengan potensi individu-individu anggota Tepian Kolektif.
Pertemuan demi pertemuan, obrolan demi obrolan terjadi secara organik sehingga mereka tidak begitu mengetahui kapan mereka mulai mendeklarasikan secara resmi kapan kolektif terbentuk. Mereka hanya sama-sama sepakat untuk mulai menjalankan apa yang sudah menjadi kesepakatan bersama. Mereka pun akhirnya memilih nama Tepian Kolektif sebagai representasi pemikiran dan kegiatan kolektif. Tepian adalah tempat komunal yang biasanya didatangi warga Berau untuk duduk santai sambil mengobrol, atau hanya sekedar pelepas penat. Secara lebih luas, tepian juga dimaknai sebagai sesuatu yang berada di tepi, atau di pinggir. Inilah yang sedang diupayakan oleh kolektif, bahwa mereka sedang membicarakan hal-hal yang dianggap pinggiran seperti salah satunya adalah kerja pengarsipan. Akhirnya kerja mereka bermuara pada Tepian Kolektif yang dianggap sebagai ruang belajar bersama dengan mengekedepankan arsip sebagai jalan masuk untuk pengembangakan artikulasi seni lewat pengetahuan lokal ke dalam artistik karya lainnya seperti, salah satunya, seni pertunjukan.
Anggota Tepian Kolektif:
|
Konteks Lokal Sebagai Lokus Pengetahuan
Berau menjadi magnet bagi anggota Tepian Kolektif. Pada akhirnya mereka seperti ‘si anak hilang’ yang kembali dari perantauan. Satu per satu tertarik untuk ‘pulang’ ke Berau setelah menempuh dan menjalani studi serta menjadi seniman sekaligus wisatawan di kota lain. Kesadaran berproses mengawali langkah mereka berkegiatan dan berkeinginan dalam berkesenian, serta menjadi daya tarik untuk belajar bersama di Berau melalui wadah kolektif.
Lewat Tepian Kolektif mereka mulai melakukan pemetaan konteks lokal dengan melihat kembali potensi diri dan lingkungan, mencari tahu kembali seni budaya lokal, memutar ingatan kembali akan lokalitas, beradaptasi kembali dengan masyarakat Berau. Pencarian itu mereka coba terapkan sebagai rencana kegiatan belajar Tepian Kolektif. Pola yang mereka lakukan seolah seperti para motoris perahu ketinting, menyisir pengetahuan mengenai tradisi seni budaya lokal Berau.
Nilai kesetaraan mereka tawarkan untuk saling terbuka sesama anggota dalam memberikan ide maupun gagasan. Dengan memberi kepercayaan individu menjalankan program buat Tepian Kolektif. Hal yang sama diterapkan ketika berbagi peran dalam menjalankan proyek seni. Mulai dari penunjukan tanggung jawab program dan kegiatan, administrasi, sekretariat, artistik dan bagian pelaksana di lingkungan dengan menyesuaikan potensi-potensi individu yang dimiliki Tepian Kolektif.
Ketiadaan ruang yang menetap dan kesibukan masing-masing karena profesinya, anggota Tepian Kolektif sering berkumpul lewat Zoom meeting dan panggilan suara – video Whatsapp. Selain melalui daring, ruang fasilitas umum yang ada di lingkungan Berau seperti tepian-tepian serta warung kopi di Tanjung Redeb sebagai lokus belajar. Kondisi ini seperti moving class karena mereka berkumpul dan bertemu di tempat yang berbeda-beda. Mereka kerap melakukan moving class karena kebutuhan akan ruang dalam bentuk fisik seperti kantor atau basecamp belum terlalu dibutuhkan. Namun karena semakin banyaknya kegiatan dan juga ketika bertemu kolektif lain yang terkadang ditanyakan adalah alamatnya di mana, mereka sekarang juga mulai mempertimbangakn kemungkinan memiliki ruang tetap tersebut. Mereka juga kerap mendaftar di pelbagai program dari rekan kolektif, instansi atau lembaga pemerintah daerah maupun pusat dimana programnya adalah residensi dan produksi karya. ‘Mengalami proses pendaftaran’ suatu program ini menjadi salah satu ruang belajar dalam mengasah kritikalitas mereka akan ruang dan posisi, sambil pula tetap terlibat dalam percakapan luar, terhubung dalam jaringan yang lebih luas serta mengasah kembali kemampuan artistik mereka.
Mencipta Proyek Seni Lewat Jejaring
Sebagai kolektif yang relatif baru di Berau, Tepian Kolektif belum mempunyai dana yang cukup untuk membuat proyek seni. Cara yang mereka tempuh agar berkegiatan seni di awal pertumbuhan mereka adalah dengan mendaftar berbagai kegiatan seni di luar Berau. Dari sana, mereka akan menerapkan subsidi silang untuk proyek yang digagas oleh kolektif sendiri. Setelah mencoba selama dua tahun, akhirnya di tahun 2023 Tepian Kolektif berhasil diterima di beberapa program seni.. Diantaranya program Bacarita Digital #2 dengan tema Kekayaan Pangan Nusantara yang diadakan oleh Rumata’ Art Space. Mereka mendokumentasikan Maladdup, sebuah ritual tolak bala di setiap bulan Safar yang dilakukan oleh suku Banua di Kampung Bebanir Bangun. Maladdup ini berasal dari hasil riset salah satu anggota Tepian Kolektif dan masuk dalam pemetaan potensi arsip kolektif.
Mereka mengajukan pendokumentasian ritual ini ke program Bacarita Digital #2 karena tertarik dengan pengetahuan lokal yang masih terus diwariskan oleh suku Banua tentang kepercayaan mereka pada makanan sebagai obat untuk mengusir bala, terutama ketan laddup. Juga karena masih ada narasumber yang dapat ditemui secara langsung untuk memahami lebih dalam makna dari ritual tersebut bagi masyarakat di Kampung Bebanir Bangun. Salah satunya adalah Kai Kammal. Ia merupakan warga, tetua dan saksi hidup kemagisan ritual tersebut. Tepian memilih Kai Kammal sebagai subjek utama riset mereka, dan dibantu oleh Darmawi – anak dari Kai Kammal – untuk menerjemahkan ritual tersebut ke dalam konteks hari ini. Tepian Kolektif menekankan pada kata ‘mengalami’ untuk lebih bisa memahami ritual tersebut. Setelah memilih subjek kunci, mereka juga berkunjung dan melakukan wawancara mendalam ke Kai Kamal sekeluarga dan juga beberapa masyarakat kampung.
Selain itu, mereka juga mengikuti program Ephemera #3 Museum of Untranslatable Stories yang diadakan oleh Indonesia Visual Art Archives (Yogyakarta) secara daring. Pada program ini, mereka menawarkan proyek seni Tur de Guris dengan membaca kembali tradisi membaca arus sungai yang biasa dilakukan oleh suku Banua.
Proyek ini berangkat dari Wendi yang senang memancing dan tinggal di dekat pinggiran sungai. Ia dan keluarganya mempunyai pengetahuan arus sungai dan sering ia pergunakan juga saat pergi memancing. Pengetahuan ini ternyata tidak diketahui oleh semua anggota kolektif, padahal kami semua hidup di dekat sungai. Dari keberjarakan kami akan pengetahuan tersebut, akhirnya kami memutuskan sebagai tawaran gagasan yang dikembangkan di program Ephemera #3.
Publikasi Tur de’ Guris sumber: https://ivaa-online.org/
Guris merupakan istilah konteks lokal, yang merupakan salah satu fase pasang surut air. Pengetahuan lokal membaca fase-fase air berdasarkan pasang surut sebagai pengetahuan dalam tradisi masyarakat Berau. Memahami salah satu fase pasang surut air sebagai tanda waktu. Sebagai acuan untuk menentukan hari baik. Yang akan digunakan untuk memancing, bepergian ke ladang, mengadakan ritual, dan mitigasi bencana.
Selain Guris ada juga fase Air Mati, merupakan fase arus sungai dan laut tidak berarus. Air sungai selama seharian atau mungkin lebih tidak ada pergerakan pasang surut. Fase ini terjadi ketika bulan berbentuk setengah lingkaran, dianggap waktu yang tepat untuk bepergian dikarenakan arus sungai cenderung tidak ada sehingga memudahkan dan lebih ringan dalam mendayung perahu. Sedangkan fase Air Gila-gila adalah fase air sehari setelah air mati. Ditandai dengan pergerakan arus sungai yang selalu berubah secara cepat, dan biasanya pasang surut terjadi kurang lebih setiap 30 menit.
Fase Guris, merupakan fase yang dinantikan oleh para nelayan karena dianggap waktu yang tepat untuk pergi menangkap ikan. Dikarenakan arus sungai sudah mulai normal, dengan debit air relatif tidak begitu deras. Lain halnya dengan fase Air Jadi, merupakan puncak pasang air. Biasanya pada fase ini arus air menjadi begitu deras, sehingga dianggap waktu yang cukup berbahaya untuk bepergian. Kemudian Air Suru, fase terjadinya hujan di hulu sungai sehingga membawa ranting dan kotoran ke hilir dengan debit air besar dan arus yang deras. Fase yang dianggap berbahaya, sehingga masyarakat lokal menghindari beraktivitas di sungai.
Ketika proses ‘mengada’ pengetahuan Guris ke dalam bentuk artistik, kebanyakan anggota merasa sedikit gamang. Hal ini karena pengalaman mereka sebagai seniman pertunjukan tari dan musik. Namun, mereka juga tidak ingin gagasan utama proyek ini kabur karena beralih ke dalam bentuk tari atau musik saja. Juga dikarenakan semua anggota merupakan pekerja penuh waktu sehingga masih kesulitan untuk membagi waktu latihan. Setelah mencari berbagai macam kemungkinan, dengan pertimbangan utama bahwa pengetahuan ini ingin didekati; serta mengambil ‘peristiwa penting’: Memperingati hari Sungai dan memanfaatkan peristiwa jembatan penghubung kecamatan Tanjung Redeb dan kecamatan Sambaliung yang sedang direnovasi sehingga masyarakat harus menyeberang sungai, akhirnya mereka memutuskan untuk membuat live dokumenter yang dikemas dalam bentuk tur. Peserta yang mereka sasar pun masyarakat umum, terutama pemuda pemudi Berau. Mereka juga mengundang beberapa pembicara kunci untuk membicarakan sungai-dan moda transportasi yang ada di Berau. Para pembicara ini mereka lokasikan di beberapa titik titik penting dengan sungai Kelay latar belakang. Sehingga harapan mereka, ketika membicarakan sungai, mereka juga dapat langsung mengalami sungai itu sendiri.
Tepi Layar
Tepi layar adalah salah satu program rutin Tepian Kolektif. Biasanya mereka memutar film di cafe-cafe di kecamatan Tanjung Redeb dan melibatkan masyarakat sekitar. Film yang mereka pilih pun dikurasi dengan penuh kesadaran akan irisannya dengan konteks lokal di Berau. Hasil jejaring personal juga membantu dalam proses kurasi, karena semakin bisa menautkan konteks interlokal tersebut. Contohnya seperti film Saya di Sini, Kau di Sana yang disutradarai oleh Taufikurrahman Kifu dari Forum Sudut Pandang (Palu). Film dokumenter tersebut membicarakan persoalan konflik ruang antara manusia dan buaya di teluk Kota Palu. Tepian Kolektif, melalui Tepi Layar, memfokuskan pada pengalaman menonton film dokumenter tersebut dan kemudian melanjutkannya pada isu buaya di Berau sebagai pengantar untuk masuk ke dalam percakapan yang lebih reflektif lagi. Penonton yang datang pun akhirnya bisa melihat ulang makna kehadiran buaya di Berau baik dari ingatan mereka akan tradisi yang pernah dilakukan oleh keluarga mereka maupun dari cerita-cerita yang sering mereka dengar.Dari sana, mereka pun dapat mengkritisi konflik ruang yang terjadi di wilayah-wilayah tertentu.
Publikasi program Tepi Layar. sumber: Instagram Tepian Kolektif
Manfaat yang dirasakan dari program Tepi Layar ini, Tepian Kolektif memiliki media pembelajaran yang kontekstual bagi masyarakat lokal melalui pengalaman menonton film. Melalui program ini pula, Tepian Kolektif mampu merangkul masyarakat dari berbagai macam lintas profesi dan generasi. Ini menjadi salah satu pengembangan sekaligus cara pembelajaran Tepian Kolektif dalam penguatan dan pendamping sekaligus juga menjalankan visi misi mereka. Dari program ini pula, jejaring mereka dalam lingkup Berau semakin luas, karena dapat menarik orang-orang yang mempunyai ketertarikan, kesukaan dan keinginan dalam berproses dan belajar serta tumbuh bersama.
. Tepian Kolektif mulai membuka jejaring di wilayah Berau sendiri, seperti Ruang Perupa, HID art, Porta Legal, Gerobak Buku, Tortuga Borneo, KNPI, YKAN, UKM fokus ikan paus, UKM fokus ikan laut, mahasiswa, hingga Duta Tari, Pemuda, Budaya, dan Pariwisata Kabupaten Berau.
Patron Pengetahuan
Tepian Kolektif hadir untuk membaca dan memetakan potensi lokal yang ada di masyarakat Berau. Selain itu mereka juga mencari tahu patron pengetahuan lewat para sesepuh seperti H. Adji Rasmansyah atau yang biasa dipanggil Adji Rasman, seorang tokoh seni budaya sekaligus juga maestro tari dan musik tradisi Banua. Ia masih keturunan kesultanan Batiwakkal di Gunung Tabur sehingga mendapatkan gelar ‘Adji’. Ia lahir saat mendekati perang dunia kedua dan melalui berbagai kepemimpinan dari masa kesultanan, masa penjajahan Hindia Belanda dan Jepang hingga ketika kesultanan memutuskan untuk bergabung dengan Indonesia dan berubah menjadi kabupaten Berau.
Di masa mudanya, ia belajar kesenian dan sempat didelegasikan oleh pemerintah untuk belajar di Pelatihan Latihan Tari di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. Setelahnya ia menjadi guru seni, menciptakan tari Jappin khas suku Banua dan mewakili Berau dalam berbagai macam pementasan di luar daerah. Beberapa anggota Tepian Kolektif pernah menjadi muridnya ketika bersekolah. Mereka tertarik dengan cara ajar yang dilakukan oleh Adji Rasman karena sangat terbuka dan mempersilahkan para muridnya untuk berkreasi. Dengan ingatan dan pengalaman dari beberapa anggota itulah akhirnya tercetus proyek pendokumentasian pengetahuan Adji Rasman sebagai seorang guru seni dan juga sebagai sumber dan teman belajar. Dari sana, harapannya Tepian Kolektif bisa merekam arsip ingatan Adji Rasman dalam melihat dan mengalami perkembangan seni budaya dari berbagai kepemimpinan di kabupaten Berau. Mereka memilih medium video dokumenter sebagai pendokumentasian ingatan agar dapat diakses oleh siapa saja, dan juga agar cerita-cerita berbasis kelokalan itu tetap hidup.
Adji Rasman bercerita di kediamannya.
Video dokumenter Merawat Ingatan Adji Rasman menjadi karya pertama Tepian Kolektif. Mereka menelusuri dan mengembangkan gagasan awal melalui observasi cerita-cerita yang dikisahkan oleh Adji Rasman dengan mendatangi rumah kediamannya selepas ba’da ashar atau jam empat sore tanpa membuat janji sebelumnya dengan Adji Rasman. karena ia tidak menggunakan telepon genggam serta pendengarannya yang mulai berkurang sehingga berkomunikasi via telepon genggam tidak mungkin dilakukan. Video mereka ambil mulai dari waktu luang beliau dengan rutinitas keseharian seperti bersepeda dan mengajarkan tari Jappin ke anak-anak sekolah di pelataran keraton Batiwakkal. Interaksi dengan masyarakat maupun dalam memberi materi di sekolah-sekolah lewat ekskul tari maupun musik. Hal yang sama dilakukan Tepian Kolektif dalam memanfaatkan waktu luang sebagai ruang belajar secara bersama, sehingga tercipta kesepakatan proses kegiatan belajar mengajar.
Pencatatan jurnal proses pembelajaran dilakukan Tepian Kolektif dari hasil mengamati dan merangkai cerita-cerita yang diutarakan Adji Rasman. Fokus mereka pada ingatan-ingatan akan pengalaman Adji Rasman selama berkesenian diolah oleh Tepian Kolektif menjadi pengetahuan kolektif. Pembelajaran kontekstual berbasis proyek yang diterapkan melalui cara pandang bahwa Tepian Kolektif menjadi aktor sekaligus makhluk pembelajar.
Selain mempelajari konteks seni budaya lokal melalui sumber belajar yang ada di lingkungan, mereka juga mempelajari cara pembuatan film dokumenter dengan memanfaatkan rekan jejaring. Mereka mengundang Wahyu Utami, seorang sutradara film dokumenter untuk membicarakan teknis dasar dalam pembuatan film dokumenter. Mereka juga memanggil beberapa kawan yang berkecimpung di dunia perekaman untuk membantu mereka selama proses perekamanan. Hasil dari video dokumenter ini mereka unggah ke kanal Youtube mereka, Tepian Kolektif, bersamaan dengan Hari Tari Dunia. Proyek pembelajaran berupa video dokumenter ini merupakan penyesuain konteks tradisi lokal dan muatan latar belakang individu kolektif berbasis seni pertunjukan, agar menjadi sarana hiburan dan edukasi dalam mendistribusikan pengetahuan yang mempunyai dampak di masyarakat. Proyek ini juga diintegrasikan dengan disiplin ilmu yang dimiliki, membubuhkan kembali ke dalam bentuk percakapan artistik dan estetik muatan individu kolektif.
Rencananya, mereka tidak hanya membuat ini sebagai proyek video dokumenter saja. Mereka juga akan membuat sebuah proyek pembelajaran berupa modul ajar atau buku saku tari dan musik Jappin hasil kreasi dari Adji Rasman dan akan mereka sebar ke sekolah dan sanggar-sanggar tari yang ada di Berau. Ini sebagai upaya menciptakan pembelajaran yang berkelanjutan, sehingga distribusi pengetahuan berdampak bagi masyarakat dan lingkungannya untuk tumbuh kembang secara bersama.
Selain Adji Rasman, mereka juga merekam ingatan salah satu tetua di Kampung Bebanir Bangun. Namanya adalah Kai Kamal. Ia kelahiran Kampung Bebanir yang merupakan kampung adat suku Banua tahun 1955. Pelaku seni budaya tradisi lokal dan sebagai sutradara sekaligus aktor kesenian teater Mamanda, serta pemimpin ritual Maladdup di kampung Bebanir-Berau. Sosoknya yang juga terkait erat dengan ritual Maladdup dijadikan sebagai proyek seni residensi Bacarita #2 ‘Kekayaan Pangan Nusantara’-Rumata’ Art Space, Makassar.
Kai Kamal bercerita tentang pertunjukan tradisi Maladdup di Berau kepada anggota Serrum dan Tepian Kolektif di kediamannya.
Tepian Kolektif mulai kembali mendata ulang patron-patron pengetahuan seni budaya Berau karena sadar bahwa baik pelaku maupun kesenian sudah mulai berjarak dengan generasi muda. Bagi mereka, menghadirkan dan mengunjungi kembali para patron ini, bisa menjadi refleksi yang penting untuk melihat Berau serta pengetahuan konteks tradisi lokal yang menyertainya. Selain Adji Rasman dan Kai Kamal, mereka juga akan mengunjungi Pak Syakhran, tetua musik tradisi Banua serta Inda Mining dan Amma Kuyung, pemain gambus Banua. Terlihat bahwa kegiatan mereka mengunjungi dan merekam ingatan para patron tersebut adalah praktik pengarsipan sebagai jalan masuk aset pengetahuan yang dapat diakses secara mudah.
Mulai Bermain dengan Arsip
Proyek seni Tur de Guris, program Ephemera #3 Museum of Untranslatable Stories – IVAA melibatkan generasi muda Berau dari kalangan pelajar hingga Duta Wisata Berau. Dalam proyek ini, mereka menawarkan proses kegiatan belajar mengajar melintasi Sungai Kelay sebagai bentuk tawaran lain presentasi Tepian Kolektif dalam mengarsipkan pengetahuan. Peserta diajak untuk mengarungi sungai Kelay dengan ketinting, berkunjung ke lokasi pembuatan perahu ketinting yang biasa dipakai buat lomba dayung antar kecamatan maupun daerah. Serta diakhiri dengan pertunjukan musik dengan latar panggung pemandangan jembatan Sambaliung penghubung kecamatan Tanjung Redeb dengan kecamatan Sambaliung yang sedang direnovasi.
Mereka memilih pengetahuan guris sebagai proyek seni untuk memunculkan dan membaca kembali pengetahuan dan tradisi lokal melalui aktivasi melihat secara langsung arus sungai Kelay. Akses pengetahuan membaca arus sungai ke dalam dunia pendidikan sebagai bentuk kesadaran, dan memperkenalkan konteks lokal sebagai masyarakat sungai di kalangan pelajar. Peserta juga diajak untuk mengunjungi pembuatan perahu yang biasa digunakan dalam lomba perahu sambil bercakap langsung dengan para pembuat perahu. Lomba perahu masih sering dijumpai di Berau menandai bahwa mereka adalah masyarakat sungai. Mereka juga mengundang Inda Mining dan Amma Kuyung untuk membawakan pertunjukan Jauh Malam. Ini adalah pertunjukan musik yang isinya berupa nasehat dan juga petuah sesuai kondisi pada saat itu. Tepian Kolektif secara khusus meminta mereka berdua untuk mementaskan Jauh Malam dengan tema air yang kemudian dibaca oleh para peserta sebagai pengetahuan lokal dari nenek moyang atau para pendahulu.
Tur de Guris merupakan Pembelajaran interaktif dan kolaboratif. Peserta diajak mengalami serta berkomunikasi langsung dengan para sumber belajar. Peserta juga diajak untuk mengenal kembali arus sungai sebagai pembacaan kondisi sekitar ketika ingin melakukan kegiatan keseharian di Sungai. Seperti ketika ingin berenang, peserta akhirnya menjadi tahu kapan waktu aman untuk berenang dengan melihat bagaimana arus deras membawa banyak sampah dan batang atau ranting pohon.
Tepian Kolektif melihat begitu banyak seni budaya dengan konteks lokal, hanya saja belum terdokumentasikan sebagai pengetahuan. Mencari tahu maupun menemukan referensi pengetahuan dengan konteks Berau sangat sulit didapat sehingga membuat ulang arsip-arsip tersebut menjadi penting. Mereka juga sadar, baik pengetahuan dan arsipnya tidak selalu dalam bentuk tulisan. Pendekatan seni pertunjukan menjadi cara pandang dalam mempelajari lokalitas untuk memproduksi, mengedukasi dan mendistribusikan pengetahuan yang mudah untuk dapat diakses.
Video; Cara Pengungkapan Artistik
Barangkali karena latar belakang anggota Tepian Kolektif banyak yang dari seni pertunjukan, menganggap arsip sebagai media artikulasi pengetahuan. Akhirnya mereka memilih arsip journaling sebagai bentuk presentasi dalam proyek seni. Kemudian mereka lakukan eksplorasi dan pengembangan dalam proses penciptaan karya yang tidak melulu bersifat pertunjukan. Ipey yang mempunyai potensi motion graphic dan editor memberikan pendekatan serta integrasi medium video dokumenter sebagai salah satu cara upaya dalam pengungkapan artistik.
Belajar dan berbagi pengetahuan mengenai video dokumenter sesama anggota maupun bersama rekan jejaring dalam ruang kelas melalui pertemuan daring, Zoompa Kawan menamainya. Merupakan strategi keberlangsungan pembelajaran. Hal ini karena praktik mereka dalam berkolektif masih baru menginjak tahun keempat, serta pengalaman yang didapat masih seputar kegiatan kampus yang bersifat pertunjukan
Kesadaran akan konteks letak geografis Berau yang secara lokasi lumayan jauh dan membutuhkan biaya yang banyak ketika bepergian ke luar kota, video akhirnya menjadi tawaran Tepian Kolektif sebagai medium untuk mengolah kembali arsip yang mereka temukan. Tujuannya agar mudah diakses oleh siapapun dan kapanpun. Kesadaran posisi Berau juga dipahami betul oleh para Anggota Tepian Kolektif terhadap tatapan orang yang ada di luar Kalimantan. Terlebih karena Kalimantan Timur akan menjadi ibukota provinsi IKN sehingga setiap keputusan gagasan atau artistik yang mereka buat ketika terlibat dengan proyek luar daerah dikembalikan lagi pada refleksi posisi ini.
Selain membuat video dokumenter, mereka juga menggunakan video pembuatan pertunjukan untuk anak. Ini adalah proyek yang mereka garap ketika menjadi salah satu peserta Gulali Lab 2023 yang diadakan oleh Papermoon Puppet Theatre. Mereka membuat karya Si Lus dan Buaya Pundung yang disadur dari cerita daerah Berau dan mengaitkan dengan isu lokal, yakni keberadaan buaya dan kondisi ekologis perairan sungai Berau. Video ini diputar secara daring sebagai bagian dari presentasi akhir Gulali Lab. Namun, mereka sadar bahwa pertunjukan ini juga harus ditonton oleh anak-anak Berau dan mengembalikan kembali konteks yang mereka angkat ke masyarakatnya. Akhirnya selain video pertunjukan, mereka mementaskan karya ini secara langsung. Mereka juga melibatkan secara aktif anak-anak dalam pertunjukan dengan cara meminta menggambarkan ulang imajinasi yang mereka tangkap selama pertunjukan.
Pendekatan ini mereka ambil layaknya sebuah video dokumenter. dengan menautkan ingatan bagi generasi penerus untuk melihat dan mengingat kembali sebagai referensi dalam berproses melalui pembelajaran yang kontekstual. Sehingga memperluas perspektif dan terhubung dengan lingkungan dan masyarakat, sebagai objek maupun sumber belajar.
Melting Pot di Warung Kopi
Tanda-tanda perkembangan kota Berau dapat dilihat dari berjamurnya tempat nongkrong dalam bentuk warung kopi (coffee shop). Biasanya warung kopi tumbuh dan bermunculan dari orang Berau yang pernah merantau ke kota-kota lain, sehingga pengalaman yang didapat dari merantau tersebut diaplikasikan ke Berau. Akhirnya banyak bermunculan cafe atau warung kopi sebagai referensi tempat alternatif lain untuk nongkrong dan menetap di Berau.
Warung kopi akhirnya dijadikan Tepian Kolektif sebagai basecamp mereka, baik untuk merancang dan evaluasi program maupun menginisiasi program itu sendiri. Warung kopi menjadi tempat yang strategis untuk kondisi mereka saat ini karena di samping kurang ada dana untuk menyewa tempat, mereka juga menyesuaikan dengan kebiasaan lokal masyarakat Berau yang gemar berkumpul di warung kopi. Melalui warung kopi juga akhirnya mereka terhubung dengan komunitas lainnya. Juga sebagai alternatif ruang ketika ingin mengadakan acara karena minimnya ruang pertemuan skala kecil – menengah di tempat tinggal mereka. Ruang kopi juga menjadi ruang yang unik, karena kesetaraan dan saling berbagi pengetahuan tentang konteks lokal Berau bersama-sama dibicarakan di warung kopi. Dan karena warung kopi dijadikan sebagai tempat nongkrong, maka mudah juga bagi Tepian Kolektif untuk menarik masa ketika melaksanakan program.
Foto bersama anggota Tepian Kolektif di WKPS
Seperti WKPS (Warung Kopi Pagi sore), Bang Teguh sebagai pemilik warung tersebut sempat tinggal di Jakarta. Warung kopi ini sudah mempunyai dua cabang dan kondisi di warung kopi ini selalu ramai. Tepian Kolektif sering menjadikan WKPS sebagai salah satu alternatif ruang berkumpul membicarakan program maupun evaluasi kolektif. Prima, salah satu anggota Tepian Kolektif juga bekerja di WKPS sebagai manager operasional. Hal ini pula yang kadang menjadi alasan Tepian Kolektif untuk berkumpul di WKPS sehingga tidak terlalu mengganggu jam kerjanya.
Foto bersama jejaring Tepian Kolektif di Banggeris Brotherhood
Selain WKPS, penulis juga mengunjungi Swasana dan Banggeris Brotherhood. Dua tempat ini juga dijadikan sebagai ruang alternatif Tepian Kolektif. Ervan sebagai pemilik Swasana pernah berkegiatan di Yogyakarta dan Elo sebagai pemilik Banggeris Brotherhood pernah berkegiatan di Malang. Elo sendiri adalah alumni Institut Teknologi Nasional Malang. Ia mengambil jurusan planologi. Ia menyukai hal-hal yang berbau otomotif, gambar dan musik. Banggeris Brotherhood sempat menjadi wadah pertemuan beberapa komunitas di Berau seperti Tepian Kolektif, HID art, Ruang Perupa Berau dan Porta Legal. Ia sendiri sering bertemu dengan anggota Tepian Kolektif di warung kopinya. Dari perjumpaan dan sering mengikuti kegiatan Tepian Kolektif, ia melihat kehadiran Tepian Kolektif dapat menjadi naungan pemuda Berau dalam berbagai macam hal dan kegiatan. Ia juga melihat Tepian Kolektif sebagai wadah teman-teman Berau untuk berkegiatan selepas studi di luar kota.
Hal yang menarik di Tepian Kolektif menurutnya adalah akses yang ditawarkan oleh Tepian Kolektif dalam menggelar arsip-arsip Seni Budaya Berau dengan cara yang agresif. Elo berharap Tepian Kolektif juga merambah arsip bahasa Banua ‘bahasa masyarakat Berau’ untuk dijadikan kamus dan masuk dalam pendidikan maupun pembelajaran muatan lokal di sekolah. Selain sebagai ruang pertemuan, para pemilik warung kopi tersebut akhirnya juga menjadi jejaring maupun rekan Tepian Kolektif yang tak memiliki ruang secara permanen.
Selain para pemilik warung kopi. Komunitas-komunitas Berau juga sering menjumpai Tepian Kolektif di warung kopi. Seperti pendapat dari Seto, salah satu anggota HID art (kolektif yang bermain pada medium street art, graffiti dan mural) serta Ruang Perupa Berau (kolektif hobi gambar dari berbagai lapisan masyarakat, dengan program reguler ‘sunday fun art’ menggambar langsung di lokasi-lokasi yang telah disepakati sebelumnya). Ia pemuda asal Sleman-Jogja Utara yang menetap di Berau. Baginya,, kehadiran Tepian Kolektif sangat membantu teman-teman untuk menjadi rekan yang terangsingkan dalam bentuk support maupun arahan dalam bentuk tawaran ide maupun gagasan, dan menjadi inspirasi bagaimana cara membuat program dan kegiatan.
Tepian Kolektif menjadi pemantik ketika nongkrong dengan kolektif lainnya di Berau. Tepian Kolektif menjadi rekan sekaligus teman belajar di Berau, nimbrung dan nongkrong serta berkelompok untuk melakukan sebuah kegiatan berkesenian dengan teman di warung kopi. Membuat program nonton film, memantik lewat acara-acara yang digandrungi anak muda Berau. Program Tepi Layar diperkenalkan kepada jejaring kolektif.
Mengajak melakukan pemetaan dengan konteks lokal. Memposisikan nilai kesetaraan bersama dengan jejaring Tepian Kolektif dalam proses belajar bersama. Bahu membahu dan mempunyai ketertarikan, serta berjejaring dalam berbagi pengetahuan maupun pengalaman. Tepian Kolektif sering menjadi hosting dalam hal kegiatan dengan jejaringnya.
Menuju Masa Depan Seni Berau
Tepian Kolektif sadar betul membangun ekosistem kesenian di Berau tidak bisa sendirian. Dengan jejaringnya, Tepian kolektif menciptakan kesadaran secara bersama di masyarakat dalam pendidikan dan pembelajaran melalui konteks seni budaya tradisi lokal. Tepian kolektif juga mencoba melibatkan lembaga atau instansi pemerintah terkait dalam mewadahi maupun mengapresiasi program maupun kegiatan kesenian di Berau.
‘Menuju Masa Depan’ merupakan mini festival akhir tahun pertama yang diselenggarakan Tepian Kolektif. Mini festival ini juga sebagai tanda syukur mereka atas apa yang telah mereka lakukan, baik personal maupun kolektif, selama setahun dengan cara merefleksikan menggunakan pendekatan serupa proyek seni. Mereka juga melibatkan rekan jejaring kolektif atau disebutnya kawan Tepian, seperti Ruang Perupa Berau dengan memamerkan hasil lukisan yang mereka buat di selasar ruang serbaguna, Sanggar Kegiatan Belajar kabupaten Berau. Acara itu juga menyediakan koleksi buku-buku untuk dibaca dengan gratis dari Gerobak Buku, menikmati kopi Tortuga Cafe, dan jasa shoes care dari Adapo Shoes Clean and Store.
Pertunjukan utama mempresentasikan karya tari Pesona Tari Gong, Nukilan Tubuh-Tubuh Setempat. Dan pertunjukan teater untuk penonton anak yang berjudul “Si Lus dan Buaya Pundung”. Pertunjukan teater dengan yang disaksikan kurang lebih 50 siswa TK dan SD. Serta workshop menggambar melalui media properti artistik pertunjukan dimentori sekaligus display karya bersama kawan Ruang Perupa Berau. Dilanjutkan dengan pertunjukan Baladdun dan Bajappin yang merupakan seni pertunjukan Banua oleh maestro Pak Syakhran.
Program Tepi Layar menampilkan beberapa film seperti It Must be Heaven oleh Ella Suleiman, R21 ska Restoring Solidarity dan Off Frame oleh Mohamad Yaqoubi, Description of a Struggle oleh Chris Marker, dan Foxtrot oleh Samuel Maoz. Pemutaran film ini sebagai aksi solidaritas terhadap Palestina. Setiap program yang dijalankan bersama jejaringnya akan mempengaruhi tumbuhnya Tepian Kolektif dalam proses pembelajaran mengolah program maupun kegiatan serta berjejaring, begitu juga dampak yang dirasakan kawan Tepian di Berau. Mereka saling silang pengetahuan lewat apapun.
Pertumbuhan kesenian di Berau salah satunya dipengaruhi sekolah formal, kebanyakan anak-anak di Berau belajar seni budaya melalui ekskul di sekolah daripada sanggar yang memang berbayar. Proses pembelajaran yang sudah saling mengenal di dalam kelas reguler membuat sesi latihan lebih menyenangkan dengan kesetaraan dalam kegiatan belajar mengajar, terbangun kesadaran belajar sekaligus motivasi untuk berprestasi sebagai tambahan nilai maupun menuju jenjang berikutnya melalui jalur prestasi.
Di beberapa anak pada usia SD berjualan sampai larut malam dan mereka tetap masuk sekolah. Dengan kondisi guru seni budaya yang biasanya diampu dari mata pelajaran lain, dikarenakan tidak banyak yang tertarik studi untuk menempuh kuliah di jurusan seni. Sehingga dalam kegiatan bentuk perlombaan seni tingkat nasional siswa berlatih sendiri, dan ada beberapa dicarikan pelatih dari sanggar dengan biaya sekolah sebagai bentuk loyalitas pelayan pendidikan dan pembelajaran.
Kehadiran Tepian Kolektif melalui individu anggota beserta kawan Tepian mencoba berbagi pengetahuan dalam kegiatan pembelajaran pada ranah ekskul, mencoba menghubungkan konteks seni budaya di masyarakat dengan pendidikan formal. Merasakan dan memahami serta mempunyai kesempatan untuk mendapatkan hak berupa artistik sejak dini, mengikuti perkembangan seni budaya tradisi lokal sebagai proses pengembangan diri agar tumbuh secara bersama.
Perlahan masyarakat menyadari dan memahami Tepian Kolektif maupun berkolektif dengan melihat pelaku seni yang awalnya hanya dipandang hobi dan berkumpul-kumpul saja. Padahal Tepian Kolektif dan Kawan Tepian memproduksi program dan kegiatan sebagai bentuk edukasi, dipresentasikan ke masyarakat dari hasil proses pembelajaran di lingkungan.
Warung kopi serta tepian menjadi ruang-ruang dalam keinginan berbagi pengetahuan. Di sana cerita-cerita, impian dan ide membuat kegiatan atau acara mulai diinisiasi dan memikirkan proyek seni yang berbasis kelokalan. Pendekatan berproses melalui konteks lokal dan berjejaring, menjadi strategi pembelajaran dalam perkembangan kolektif, dikarenakan wawasan dan wacana kolektif di Berau masih belum sekental daerah atau kota lain di Kalimantan seperti Samarinda, Pontianak, Banjarmasin dan Kutai Kartanegara.
Berbicara konteks kesenian melalui program dan kegiatan kolektif, sampai saat ini referensi maupun rekomendasi masih bermata Jawa. Hal ini menjadi tantangan sekaligus kesadaran dalam pola pikir Tepian Kolektif, bagaimana mereka berproses dan belajar serta memantik kawan Tepian untuk melakukan pemetaan potensi individu dan lingkungan untuk mengambil peran di masyarakat. Menciptakan program dan kegiatan dengan memvalidasi konteks lokal sehingga dapat memposisikan diri dan lingkungan agar tidak tereksploitasi ‘pusat’ dan ‘kuasa’, dan seni budaya sebagai artikulasi pengetahuan.
Perkembangan seni tari tradisi di Berau mempunyai keterkaitan dan pengaruh pada pendidikan formal di sekolah. Saling silang pengetahuan yang harus dibagikan ke masyarakat dan begitu pula sebaliknya sanggar dan komunitas maupun organisasi juga harus berbagi. Sehingga tercipta ekosistem pendidikan untuk mengembangkan secara bersama, dan memunculkan serta menghidupkan kembali seni budaya pada di Berau. Kini Berau sudah mulai bermunculan kolektif atau komunitas maupun organisasi dan sanggar sebagai ruang belajar, membawa kesadaran masyarakat menganggap pendidikan itu penting.
Seni tari tradisional yang dipelajari di sekolah dalam rangka melestarikan budaya tradisi lokal, kehadiran kolektif atau komunitas maupun organisasi dan sanggar menjadi sumber belajar dan teman belajar dalam memantik proses pembelajaran serta pengetahuan mengenai konteks kelokalan daerah. Seperti suku dan tradisi serta mengenal individu sebagai bagian dari masyarakat, pembelajaran berdasarkan pengalaman yang tidak sama bahkan tidak ada dalam buku pelajaran.
Pembelajaran melalui pendekatan seni tradisional di ranah ekskul dengan memberi motivasi dan referensi belajar untuk pencapaian pemahaman secara perlahan, menanamkan cara pandang tradisi itu sederhana dan indah. Membuka wawasan serta menawarkan wacana titik awal bisa dari mana saja, menari tidak harus dimulai dari tradisi atau berdasarkan daerah. Seni tari dalam ruang lingkup seni kontemporer diperkenalkan, tubuh sebagai medium merupakan proses pembelajaran dalam mengolah tubuh dan mengenal tari dari dalam dirinya.
Serta memperkenalkan lingkup profesi dan akademis serta budaya, mengingat keragaman dan variatif dari tarian di Berau atau Kalimantan. Seni tari pada konteks tradisi yang berbicara mengenai pakem berupa gerakan dan inti atau esensi tarian, sehingga peran pelaku seni budaya di masyarakat sebagai sumber belajar menjadi keberlangsungan untuk melestarikan tari sebagai tradisi lokal. Dikarenakan studi seni tari pada tingkat perguruan tinggi atau kampus seni di Berau tidak ada, dan masih minim akses pengetahuan berupa arsip sebagai referensi pembelajaran.
Tepian Kolektif merupakan ruang bagi individu-individu yang berproses dan belajar dari lingkungan sekitar. Mereka adalah aktor pembelajar sekaligus menjembatani pengetahuan melalui pendekatan seni pertunjukan, video dokumenter dan arsip yang mudah diakses. Tepian Kolektif ibarat perahu ketinting yang dengan sabar menelusuri lokus-lokus kebudayaan masyarakat Berau. Menciptakan pengetahuan yang setara dan emansipasi berakar pada masyarakat Berau. Tepian Kolektif dan Kawan Tepian mewadahi ruang-ruang proses pembelajaran bagi anak-anak muda Berau. Mulai memikirkan bagaimana Berau menjadi bagian ekosistem seni yang bertumbuh secara kolektif dari masa ke masa.
Lampiran:
Dokumen yang dikirimkan Tepian Kolektif kepada kami sebelum melakukan perjalanan ke Berau sebagai gambaran dan referensi perjalanan.
Informasi umum:
Sightseeing:
Makanan:
Rekomendasi sarapan:
Rekomendasi makan malam:
Rekomendasi café:
Rekomendasi tempat nongkrong (sore- malam):
Harga SM Tower Hotel and Convention / hotel Makmur:
Makanan dekat hotel SM Tower Hotel and Convention:
Estimasi waktu hotel ke venue:
Tepian Kolektif Email: tepiankolektif@gmail.com Instagram : @tepiankolektif Website : https://tepiankolektif.weebly.com
Arsip (dokumen dari Tepian Kolektif, 2024)
|
Tepian Kolektif adalah komunitas seni asal Berau yang berfokus pada pengarsipan seni dan budaya lokal serta menciptakan karya seni lintas disiplin. Terbentuk pada akhir 2020, komunitas ini berupaya menghidupkan kembali seni di Berau dengan mengaitkan seni dan kehidupan sehari-hari. Mengambil nama dari “Tepian,” tempat berkumpul masyarakat Berau, komunitas ini juga bermakna memperhatikan hal-hal yang sering terabaikan di pinggir. Dengan pendekatan kritis dan kreatif, Tepian Kolektif bertujuan memperkaya dinamika seni Berau dan mempublikasikan pengetahuan tentangnya.
© 2024 Ekstrakurikulab | Serrum – Perkumpulan Studi Seni Rupa dan Pendidikan
Serrum merupakan perkumpulan studi seni rupa dan pendidikan di Jakarta yang didirikan pada 2006. Kata Serrum berasal dari kata share dan room yang berarti “ruang berbagi.” Serrum berfokus pada isu pendidikan, sosial-politik dan perkotaan dengan pendekatan presentasi yang edukatif dan artistik. Kegiatan Serrum meliputi proyek seni, pameran, lokakarya, diskusi dan propaganda kreatif. Medium karya yang Serrum gunakan meliputi video, mural, grafis, komik dan seni instalasi.