Forum Sudut Pandang, Ruang Belajar Anak Muda Palu  

Periset dan Penulis: Angga Wijaya Ilustrasi: Arief Rachman Dokumentasi: Haviz Maha

Foto Kota Palu diambil dari ketinggian Puncak Bukit Salena

Terletak di “jantung” Nusantara, tak terelakkan membuat Palu di Sulawesi Tengah menjadi titik persinggahan dan pertemuan berbagai suku bangsa. Apalagi posisinya yang berada di sebelah barat Sulawesi, dan bersinggungan langsung dengan Laut Sulawesi yang memisahkannya dengan Kalimantan, menjadikannya sebagai titik vital di salah satu jalur pelayaran penting di negeri ini. 

Interaksi yang dilahirkan dari posisi strategis itu tak pelak membuat masyarakat Palu menjadi masyarakat yang terbuka. Suku Kaili sebagai suku asli yang dominan di Palu terbuka menerima siapapun pendatang yang hadir. Masyarakat dari suku Bugis, Toraja, dan Mandar, misalnya, hidup bertahun-tahun bercampur baur dengan penduduk setempat. Budaya yang lahir di kota itu pun menjadi beragam, sehingga melahirkan ekosistem sosial yang dinamis. 

Di tengah keterbukaan masyarakat setempat, budaya tradisional lokal tak lantas tergerus. Seni dan tradisi lokal tetap diberi ruang untuk berkembang. Masyarakat setempat pun terus melestarikannya. Tarian dan musik adat kerap ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, seperti saat pernikahan, khitanan ataupun acara-acara syukuran. Begitu pula busana khas dan hidangan tradisional, juga kerajinan tangan seperti kain tenun dan ukiran kayu. 

Palu juga secara rutin menggelar berbagai festival budaya yang menampilkan kekayaan seni dan tradisi lokal melalui pertunjukan seni, pameran kerajinan, dan kuliner khas. 

Upaya untuk melestarikan seni dan tradisi lokal ini sudah terlihat sejak era Orde Baru. Setelah Dewan Kesenian Daerah (DKD) didirikan di Jakarta pada 1973, institusi serupa untuk melestarikan seni itu dibentuk pula di Sulawesi Tengah dengan nama Dewan Kesenian Sulawesi Tengah (DKST) pada 18 September 1981 serta Dewan Kesenian Palu (DKP) yang didirikan pada 7 Agustus 1998. Namun, tak sebatas melestarikan seni dan tradisi, di baliknya tersirat pula upaya negara mengendalikan budaya dan seni agar tetap selaras dengan  ideologi dan tujuan politik Orde Baru. 

Pasca-Reformasi 1998, inisiatif komunitas mulai muncul sebagai respons terhadap perubahan sosial-politik. Reformasi memberikan ruang yang lebih besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk seni dan budaya, sehingga mendorong terbentuknya kelompok-kelompok seni alternatif yang dijalankan secara independen. 

Selain fokus pada pelestarian dan pengembangan seni lokal agar generasi muda tetap mengenal dan menghargai warisan budaya leluhur, inisiatif tersebut juga menjadi sarana eksperimen terhadap bentuk seni baru, dengan menggabungkan elemen tradisional dan modern.

Sepanjang era pasca-Reformasi hingga saat ini, diseminasi pengetahuan kesenian dilakukan tidak hanya melalui mata pelajaran seni budaya di sekolah umum, tetapi juga melalui program ekstrakurikuler, sanggar kesenian, dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). 

Di luar itu, DKST dan DKP pun berevolusi mengikuti perubahan rezim. Mereka menjadi lembaga utama dalam penyelenggaraan kegiatan-kegiatan seni, melalui pameran, pertunjukan, workshop, pelatihan, dan kelas keterampilan, tanpa lagi membawa misi Orde Baru. Kedua institusi ini kerap menyelenggarakan kegiatan yang melibatkan UKM Seni di kampus, khususnya Universitas Tadulako, yang merupakan kampus terbesar di Palu. 

UKM Seni mencakup bidang seni musik, teater, tari, dan seni rupa yang menjadi wadah bagi mahasiswa untuk menyalurkan minat dan bakat mereka. DKST dan DKP menyelenggarakan workshop dan pelatihan lanjutan bagi anggota UKM Seni, yang berguna untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka di bidang seni. Selain itu, mereka juga memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk tampil dan menunjukkan bakat mereka kepada khalayak yang lebih luas, yang dapat membuka peluang kerja di industri seni. Beberapa di antara anggota UKM Seni bahkan berpotensi menjadi penerus di Dewan Kesenian Daerah tersebut di kemudian hari.

Selain DKST dan DKP, inisiatif komunitas yang muncul turut meramaikan kegiatan kesenian di Palu dengan kemasan yang lebih modern dan populer. Kehadiran budaya populer ini tak terelakkan dengan kian masifnya penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Pengaruh dari kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta membawa berbagai genre musik, fashion, dan gaya hidup baru melalui saluran dan media internet. Subkultur seperti musik independen, komunitas skateboard, grafiti, dan fashion telah menciptakan komunitas-komunitas penggemar yang baru di kota Palu. 

Konser dan festival musik pun menjadi ajang berkumpul bagi anak muda di Palu untuk menikmati hiburan bersama. Kegiatan seperti bermain skateboard, selain menjadi ajang untuk menampilkan bakat, juga menjadi sarana anak muda Palu untuk bertemu dan berinteraksi. Taman kota dan di beberapa ruang publik lainnya kerap digunakan sebagai lokasi berkumpul lintas komunitas, yakni skateboard, musik dan graffiti. Nongkrong pun menjadi bagian dari aktivitas mereka.

Pada era 2010-an, warung kopi dan kafe mulai bermunculan sebagai tempat berkumpul dan nongkrong baru bagi anak-anak muda Palu. Banyak kafe di kota ini menawarkan tema kreatif dan suasana yang nyaman, sehingga menarik perhatian anak muda. Budaya nongkrong di kafe semakin populer di kalangan anak muda yang mencari tempat untuk bersosialisasi dan berbagi ide. Kafe-kafe ini sering menyediakan fasilitas seperti Wi-Fi gratis, area nyaman untuk bercengkrama, serta menu makanan dan minuman yang bervariasi, menjadikannya tempat ideal untuk belajar, bekerja, atau bersantai. Banyak kafe juga menggelar acara musik, pameran seni, atau diskusi, sehingga menjadi pusat kegiatan bagi komunitas kreatif di Palu.

Momoyo

Serrupa menjadi salah satu komunitas yang memanfaatkan warung kopi dan kafe sebagai tempat berkumpul, berkreasi, dan berbagi ide. Komunitas ini terdiri dari sekelompok individu dengan minat yang sama yaitu menggambar. Mereka biasanya berkumpul di malam hari membawa kertas, sketchbook, pensil, dan spidol untuk menggambar bersama. 

Anggota Serrupa adalah generasi milenial yang lahir pada awal tahun 1990-an. Mereka ikut terdampak tren budaya populer dari luar kota Palu dan kemudian menjadi salah satu penggerak aktivitas kesenian di era milenium baru. Mereka aktif dalam berbagai bentuk ekspresi kreatif, seperti membentuk band musik, bermain skateboard, membuat grafiti, dan mengikuti tren busana terkini.

Anggota Serrupa semula berjumlah tiga orang, kemudian menjadi lima orang, dan menjadi tujuh orang. Mereka adalah Ama, Naldi, Adjust, Mat, Kifu, Ayus, Aslam. Meskipun komunitas ini berawal dari ketertarikan pada medium seni yang sama, tetapi setiap individu sudah memiliki hubungan pertemanan yang terjalin sebelumnya. Beberapa dari mereka sudah saling mengenal sejak zaman sekolah, atau bahkan merupakan teman dari kerabat mereka satu sama lain, seperti Naldi yang merupakan teman dari kakaknya Ama, sedangkan Kifu merupakan kakak kelasnya Ayus. 

Peta pertemanan anggota Forum Sudut Pandang, ditulis oleh Inu.

Serrupa kemudian terkoneksi dengan komunitas lain seperti Palu Skateboard dan bertemu dengan Mail, Iwan, Kipo. Selain itu, mereka terhubung dengan anak Indie Palu seperti Alif, Dika, Inu, Bola, Budi. Keberadaan Palu sebagai kota yang tidak terlalu besar memungkinkan pertemanan mereka terus terjaga. Arus mobilitas manusia yang tidak sepadat di kota metropolitan, memudahkan mereka untuk saling bertemu dan berkumpul.

Peta pertemanan anggota Forum Sudut Pandang, ditulis oleh Inu.

Ada dua ruang yang sering dijadikan tempat berkumpul yaitu Nemu Buku dan Ruang Dualapan. Keduanya merupakan ruang kreatif yang terbuka bagi kerja bersama. Nemu Buku merupakan ruang dengan model perpustakaan, sedangkan Ruang Delapan punya keunggulan dengan model co-working space yang dimilikinya. Pemilik keduanya, Neni Muhidin (Nemu Buku) dan Rachmat Saleh (Ruang Dualapan) menjadi support system bagi keberadaan komunitas, dengan dukungan seperti mengakomodasi kegiatan yang Serrupa inisiasi seperti pameran sketsa, penerbitan zine hingga penyuplai alat dan bahan. 

Nemu Buku dan Ruang Dualapan menjadi inspirasi bagi Serrupa, sehingga lahir keinginan memiliki ruang sendiri sebagai studio kerja bersama. Keinginan ini terwujud pada 2014 dengan menyewa ruang kontainer berukuran 3×4 meter persegi dari tabungan hasil kerja mereka di bidang mural, desain grafis, musik, hingga dekorasi pesta ulang tahun.

Setelah sukses menggelar pameran sketsa pertama yang berjudul LISTEN-INK di Hotel Astoria, salah satu dari mereka menyewa Rumah Dum yang berada di Jalan Panjaitan. Di Rumah Dum tersebut terdapat unit usaha bernama Rumah Juice dan Momoyo Art Venture yang diinisiasi oleh Ama dan Blank. Momoyo pun kemudian menjadi ruang berkumpul kedua bagi anggota Serrupa, yang semula dari tujuh orang menjadi sepuluh orang dan terus berkembang menjadi lebih dari sepuluh orang dengan latar belakang ketertarikan seni yang beragam. 

Dengan bergabungnya anggota dari beragam latar belakang ketertarikan seni dan minat seperti dari komunitas skateboard, musik, tari, dan film, nama Serrupa yang semula hanya terkait dengan seni rupa menjadi tidak lagi relevan. Maka lahirlah nama Forum Sudut Pandang yang dicetuskan Naldi dalam sebuah momen diskusi. Tanggal 14 Februari 2016 menjadi hari kelahiran Forum Sudut Pandang, sebuah komunitas interdisiplin dengan isu-isu kontemporer. 

Forum ini terus bergeliat. Intensitas pertemuan mereka di Momoyo melahirkan program-program reguler yang masih dijalankan hingga kini. Meski masing-masing memiliki minat yang berbeda, tak ragu mereka saling baku bantu untuk memastikan suksesnya program-program reguler itu. Program itu di antaranya MULOK, Klub Penonton, PIKNIKAN dan SALE!SALESALE!, KamiSukaGambar, Majalah Marlah!. 

Forum Sudut Pandang menawarkan kebaruan yang menarik minat generasi muda di Palu. Program-program yang ditawarkan oleh Forum Sudut Pandang lebih terkini, dan dirasa relevan bagi audiens muda di kota ini. Program MULOK yang merupakan micro gigs atau pertunjukan musik kecil, memfasilitasi musisi-musisi lokal kota Palu. Klub Penonton yang menjadi tempat untuk memutar film-film indie, menjadi pilihan hiburan alternatif bagi skena di Palu, karena mereka jauh dari akses industri musik dan perfilman yang mapan. 

Selain itu, SALE!SALE!SALE! yang merupakan pasar murah dengan menjual barang-barang mulai dari pakaian hingga makanan mendapatkan respon yang antusias dari anak muda Palu. Pasar murah ini menawarkan pilihan gaya hidup anak muda melalui barang-barang vintage, langka, dan berbeda dari yang lain. Seiring dengan maraknya thrifting, membeli barang bekas menjadi cara bagi anak muda dalam memenuhi kebutuhan dan menunjang penampilan dengan barang bermerek, tetapi dengan harga yang lebih terjangkau.

Kehadiran Forum Sudut Pandang membawa kebaruan bagi iklim kesenian di Palu, di samping tetap berjalannya DKST dan DKP sebagai kanon utama kesenian di Palu. 

Meski demikian, kebaruan yang dibawa komunitas ini tak luput dari perdebatan. Salah satunya adalah dikotomi antara apa yang dianggap sebagai seni dan bukan seni. Peristiwa yang menandai perdebatan tersebut terjadi ketika anggota Serrupa diundang untuk berpartisipasi dalam sebuah pameran lukisan yang diselenggarakan oleh DKP. Mereka memamerkan karya-karya dengan medium dan teknik di luar konvensi seni lukis yang sudah ada sebelumnya, sehingga dianggap tidak sesuai dengan definisi tradisional seni lukis.

Terlepas dari itu, budaya populer yang trendi dan kekinian menjadi daya tarik dan motivasi belajar bagi generasi muda di Palu, dan menjadi pilihan alternatif bagi anak muda untuk terlibat di dalamnya, sehingga membuat komunitas ini juga terus regenerasi. Forum Sudut Pandang telah menjadi pilihan bagi anak muda Palu untuk belajar mengenai pengetahuan dan keterampilan yang sebelumnya belum tersedia dan tidak diajarkan. 

Salah satu bidang pengetahuan yang belum tersedia dan tidak diajarkan di institusi pendidikan di Palu adalah Desain Komunikasi Visual. Bidang ini menjadi kebutuhan penting untuk membuat program-program yang dibuat terlihat menarik dan artistik, seperti dalam materi publikasi dan produksi. Ilmu Desain Komunikasi Visual ini pun dipelajari secara otodidak dan dibagikan di antara anggota Forum Sudut Pandang. Keterampilan ini menjadi sangat penting bagi mereka dalam menciptakan karya desain, baik untuk mendukung kegiatan komunitas maupun sebagai sumber penghasilan pribadi bagi setiap anggota.

Desain Pemrograman dan Manajemen Seni menjadi area belajar yang juga dipelajari oleh anggota Forum Sudut Pandang. Pengetahuan dua bidang ini didapatkan melalui lokakarya dari pemateri yang berasal dari jaringan komunitas di luar kota Palu yaitu Koalisi Seni Indonesia. Koalisi Seni Indonesia menginisiasi dan memfasilitasi lokakarya mengenai manajemen seni dan pengarsipan. Anggota Forum Sudut Pandang yang terlibat mempelajari tentang teori dan praktek pengelolaan program, kesadaran ruang, serta pengelolaan sumber daya.

Bentuk-bentuk transfer pengetahuan melalui lokakarya, workshop, dan kelas terus diikuti oleh anggota Forum Sudut Pandang. Ama dan Kifu adalah pendiri Forum Sudut Pandang yang cukup aktif terlibat dalam kegiatan itu. Tidak hanya di Palu, tetapi juga di luar kota seperti Makassar, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Keikutsertaan mereka kerap atas inisiatif pribadi, tetapi tak jarang juga diundang oleh pihak penyelenggara.

Perjalanan ke luar kota Palu menjadi kebutuhan penting bagi Forum Sudut Pandang, tidak hanya untuk tujuan pembelajaran tetapi juga untuk membangun jaringan dengan komunitas lain. Seiring dengan terhubungnya Forum Sudut Pandang dengan jejaring komunitas di luar Palu, muncul berbagai kesempatan dan tawaran kolaborasi. Muncul istilah-istilah baru dalam sistem pemrograman Forum Sudut Pandang, seperti penggunaan profesi kurator dan manajer seni, serta penggunaan istilah artist talk dan artist residency. Definisi istilah baru tersebut kemudian berguna bagi mereka untuk memetakan sumber daya manusia sesuai dengan ketertarikan dan kemampuan, serta memetakan program-program yang mereka buat. 

Marlah

Sejak didirikan pada 2016, basecamp dari Forum Sudut Pandang sudah berpindah setidaknya empat kali. Pada 2022, mereka pindah ke Jalan Ki Hajar Dewantara, dekat dengan Ruang Dualapan. Ruang baru ini diberi nama Marlah Hub. Marlah merupakan singkatan dari seruan untuk berkumpul—“mari lah!” Marlah tidak hanya berfungsi sebagai studio kerja bagi Forum Sudut Pandang, tetapi menjadi tempat nongkrong bagi anak-anak muda Palu. Hal ini tak lepas dari bentuk Marlah Hub sebagai co-working space, apalagi ditambah dengan sajian kopi dan ruang yang nyaman sehingga bisa menarik siapapun untuk datang. 

Kumpulan foto lokasi, ruang dan aktivitas di Marlah! Hub

Anak-anak muda yang awalnya datang dan nongkrong kemudian menjadi audiens program, lalu tertarik untuk menjadi sukarelawan. Seiring waktu, mereka semakin aktif dan akhirnya menjadi anggota baru Forum Sudut Pandang. Mereka belajar langsung dari pengalaman menjalankan program, baik program reguler maupun pekerjaan mendadak yang membutuhkan SDM tambahan. Para pendiri Forum Sudut Pandang biasanya mengamati ketertarikan dan kemampuan para anggota muda ini, kemudian menempatkan mereka sesuai peran yang dibutuhkan dan diminati. Sebagai contoh, Ama memberikan kepercayaan kepada Ipan untuk mengambil peran sebagai manajer program Klub Penonton. Anggota baru ini menyebut praktik belajar tersebut dengan istilah “dikasih tenggelam,” di mana mereka diminta untuk bertindak menggunakan insting mereka sendiri, tanpa takut melakukan kesalahan. 

Inilah bagaimana pengetahuan disirkulasikan di internal Forum Sudut Pandang. Pengetahuan tak lagi “diwariskan” dengan mengajak semua anggota untuk duduk bersama dan belajar seperti di lokakarya yang sebelumnya diikuti oleh para pendiri Forum Sudut Pandang. Pengetahuan lebih mengena jika mereka dilibatkan langsung dalam program-program forum. Pengetahuan itu pun menjadi lebih terserap karena bagi para anggota muda yang baru bergabung, manajemen organisasi di Forum Sudut Pandang tidak mengenal senioritas yang bersifat toksik. Sebaliknya, komunitas ini memberikan kesempatan untuk belajar dan akses yang adil terhadap semua. Misalnya, dalam pengelolaan dana, informasi dibuka dan dibagikan selayaknya. 

Forum Sudut Pandang memiliki sebuah sumber data yang dapat diakses bersama, sehingga anggota yang ingin mencontoh berkas tertentu terkait kebutuhan manajemen, seperti kontrak kerja dan invoice, mereka dapat mengaksesnya. Metode ini merupakan bentuk open source yang mencerminkan konsep transparansi, aksesibilitas, dan kolaborasi dalam pengembangan dan penggunaannya. Melalui metode open source tersebut, anggota dapat saling belajar satu sama lain dan mengaplikasikannya secara mandiri. 

Bagi anggota muda, meskipun imbalan finansial tidak besar, pengetahuan yang didapatkan sangat berharga. Oleh karena itu, manfaat bagi mereka tidak hanya terbatas pada uang tetapi juga pada peningkatan pengetahuan yang signifikan. 

Pengalaman itu sekaligus membedakan dengan institusi atau organisasi yang pernah mereka masuki. Di institusi-institusi sebelumnya, mereka kerap terikat pada pakem-pakem yang kaku di mana hanya meneruskan tradisi yang sudah ada tanpa memberikan ruang bagi pendekatan kreatif. Manajemen organisasi juga sering kali mengeksploitasi mereka tanpa memberi kesempatan untuk belajar dan berkembang. Mereka kadang hanya diarahkan untuk menjalankan tugas, dan sering menjadi sasaran kesalahan. Selain itu, pengelolaan sumber daya sering dikendalikan oleh segelintir elite senior yang tidak transparan dan sulit diakses, sehingga tidak jarang memicu konflik kepentingan di dalam organisasi.

Keberadaan anggota-anggota baru tersebut bisa menjaga kesinambungan Forum Sudut Pandang saat sejumlah anggota lama memilih keluar. Namun, sekalipun memutuskan mencari pengalaman di dunia luar Forum Sudut Pandang, mereka tetap sering berkontribusi dalam program-program yang dijalankan. Anggota yang masih menjadi pengurus sering memanfaatkan peran mereka dalam profesi barunya. Misalnya, mereka meminta perizinan kepada anggota yang sudah bekerja di instansi pemerintah atau meminta sponsor kepada eks anggota yang bekerja di korporasi. Alhasil, Forum Sudut Pandang kerap memperoleh limpahan pekerjaan dan sponsor.

Pengalaman belajar di komunitas juga memberikan manfaat bagi pekerjaan baru para anggota lama yang telah keluar untuk bekerja di institusi lain. Sebagai contoh, Ayus, yang kini bekerja di instansi Pemerintah Kota Palu, merasa bahwa kemampuan manajemennya lebih unggul dibandingkan pegawai lainnya. Hal ini menurutnya berkat pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya selama di komunitas bersama Forum Sudut Pandang.

Film

Forum Sudut Pandang selalu bersinggungan dengan dunia perfilman, mulai dari hanya sebagai penonton, penyelenggara penayangan film, hingga bisa memproduksi film sendiri. Para pendirinya, khususnya Kifu, telah mengenal cara membuat gambar bergerak melalui mata pelajaran intrakurikuler di sekolahnya. Dia kemudian dipertemukan dengan program Bioskop Jumat, sebuah kegiatan menonton film yang diinisiasi Nemu Buku pada 2009. Ketika Serrupa terbentuk, mereka membantu memenuhi kebutuhan visual, seperti membuat poster film untuk Bioskop Jumat.

Pada tahun 2000, bioskop komersial di Palu mengalami penurunan signifikan hingga ditutup, termasuk Bioskop Kamang yang terkenal pada masanya, dan baru pada tahun 2017 bioskop komersial dibuka kembali di pusat perbelanjaan atau mal di Palu. Di tengah kondisi tersebut, Bioskop Jumat hadir tanpa dikenai biaya dengan tujuan sebagai media belajar. Acara ini diadakan secara rutin setiap minggu dan dihadiri sekitar 25 penonton dalam sekali penayangan film.

Film-film yang ditayangkan di Bioskop Jumat berasal dari kontribusi jejaring komunitas, seperti Forum Lenteng (Jakarta) dan Elida Tamalagi dari Kinoki (Yogyakarta). Neni Muhidin, sebagai pemilik Nemu Buku, tidak mengelola Bioskop Jumat sendirian, dia juga dibantu oleh beberapa rekan, salah satunya Yusuf Radjamuda, atau Papa Al.

Pada tahun 2013, Papa Al mendirikan Halaman Belakang Films, sebuah rumah produksi yang sebelumnya dikenal sebagai Nadia Production sejak tahun 2006. Halaman Belakang Films telah memproduksi beberapa film dan kini menjadi tempat bagi anak-anak Forum Sudut Pandang untuk berkarya memproduksi film. Sebelumnya, Papa Al juga berperan sebagai support system dalam kemunculan Serrupa, yang menghubungkan para anggotanya dengan jaringan komunitas di luar Palu, khususnya dalam industri perfilman independen. Papa Al menjadi patron pengetahuan bagi Forum Sudut Pandang sampai saat ini.

Wafatnya Elida Tamalagi yang dimakamkan di kampung halamannya di tanah Sulawesi, memberi dampak pada jejaring komunitas perfilman di kota Palu. Banyak sineas dari industri perfilman di kota-kota besar seperti Jakarta dan Yogyakarta sering berziarah ke makam Elida, di antaranya Lisabona Rahman, Adrian Jonathan Pasaribu (cinemapoetica), Edwin dan Meiske Taurisia (Palari Film), serta Makbul Mubarak. Kedatangan mereka biasanya disertai dengan program berbagi pengetahuan, seperti lokakarya, diskusi, dan kelas yang juga diikuti oleh anggota Forum Sudut Pandang.

Setelah Bioskop Jumat tidak lagi aktif, Program Klub Penonton yang dibuat oleh Forum Sudut Pandang dapat dianggap sebagai kelanjutan perjalanan program penayangan film tersebut. Selain Klub Penonton, ada pula penayangan film yang dilakukan oleh Sinekoci, sebuah kolektif nirlaba yang memberdayakan masyarakat Palu untuk menonton dan berdiskusi tentang film, menyelenggarakan lokakarya film, serta membantu mencari dana untuk produksi film.

Sinekoci bersama Forum Sudut Pandang dan komunitas lainnya di Palu, membuat proyek film dokumenter berjudul “Hidup dengan Bencana” pada tahun 2020-2022. Proyek ini menghasilkan lima film dokumenter pendek, di antaranya “Saya di Sini, Kau di Sana: A Tale of the Crocodile’s Twin” oleh Forum Sudut Pandang; “Turun ke Atas” oleh Nemu Buku; “Tanigasi” (2022) oleh Yayasan Tana Sanggamu; dan “Timbul Tenggelam” (2022) oleh Sikola Pomore. Tema film-film yang mereka buat dibalut semangat aktivisme sebagai upaya rekonstruksi sosial dan budaya pasca-bencana gempa dan tsunami besar di Palu pada 2018.

Sinekoci berperan dalam memberikan hiburan, edukasi, dan ruang berkumpul bagi para penyintas sekaligus memfasilitasi diskusi komunitas yang diadakan setelah pemutaran film. Kifu, anggota Forum Sudut Pandang yang menjadi bagian tim Sinekoci berperan sebagai manager program. Program Sinekoci menghidupkan kembali semangat kolektif dan solidaritas di antara warga, serta mendorong pemahaman dan kesadaran sosial melalui medium seni. Peristiwa gempa tsunami Palu-Donggala telah membawa arah baru bagi ekosistem kesenian di Palu, yang juga mempengaruhi karya dan program-program yang diinisiasi Forum Sudut Pandang setelahnya.

Mitigasi Bencana

Gempa berkekuatan 7,4 Skala Richter mengguncang daerah Palu dan Donggala pada sore hari tanggal 28 September 2018. Gempa tersebut menyebabkan tsunami yang menerjang Pantai Palu, dengan gelombang mencapai ketinggian sekitar 6 meter, menghancurkan banyak bangunan serta infrastruktur di sepanjang pantai. Di beberapa titik, likuefaksi terjadi, yang menyebabkan banyak rumah ditelan bumi dan mengakibatkan banyak korban jiwa.

Kumpulan foto perubahan landscape Palu pasca bencana gempa-tsunami 2018

 

Di tengah kondisi kedukaan yang juga dirasakan anggota Forum Sudut Pandang, mereka tetap aktif berjibaku sebagai sukarelawan membantu pemulihan masyarakat terdampak melalui program sosial, seperti mendistribusikan bantuan logistik saat kondisi masih darurat bencana. Mereka juga melakukan trauma healing melalui pendekatan kesenian dengan mengajak anak-anak di kamp pengungsian untuk menggambar yang hasilnya diterbitkan menjadi buku kolase pengalaman anak-anak penyintas berjudul “Yang Kitorang Rasa Waktu Gempa”.

Forum Sudut Pandang juga berperan dalam Donasinema, sebuah penggalangan dana untuk korban bencana. Bekerjasama dengan komunitas film lainnya, mereka menyelenggarakan pemutaran 13 film pendek yang berlatar belakang cerita dari Palu. Donasinema ini bukan hanya sekadar mengumpulkan dana, tetapi juga memperkuat solidaritas di antara mereka untuk bersama-sama merehabilitasi kota yang mereka tinggali.

Peristiwa gempa tsunami Palu-Donggala sekaligus menjadi pelajaran penting tentang kesadaran akan risiko hidup di daerah rawan bencana, khususnya Palu yang terletak di persimpangan beberapa lempeng tektonik dan memiliki beberapa sesar aktif. 

Kilas balik ke belakang, rentannya Palu pada bencana gempa sebenarnya sudah tersampaikan dalam syair lisan, mitos, dan cerita rakyat yang dibuat oleh leluhur masyarakat Palu. Orang Palu di masa lalu bahkan membuat nama tempat  berdasarkan kesadaran topografi, seperti menamakan lokasi sesuai karakter fisik alamnya, seperti ketinggian, kemiringan, dan bentuk tanah, semata untuk mengingatkan masyarakat akan potensi bencana yang bisa terjadi. 

Hanya saja, pesan dari leluhur itu tergerus dari waktu ke waktu hingga akhirnya terlupakan. Dari yang sederhana seperti nama jalan saja, diubah pada masa Orde Baru menjadi nama pahlawan sebagai bagian dari upaya membangun identitas nasional yang kuat dan homogen. Akibatnya pesan leluhur yang tersirat dari nama jalan sebelumnya, terlupakan. Masyarakat pun menjadi abai soal risiko bencana gempa bumi hingga akhirnya terjadi gempa besar dan tsunami yang meluluhlantakkan Palu dan Donggala. 

Tak ingin kewaspadaan masyarakat pada bencana tergerus kembali setelah kejadian bencana besar itu, Forum Sudut Pandang juga ikut mengambil peran. Mitigasi bencana menjadi isu penting yang disuarakan oleh Forum Sudut Pandang bersama komunitas lainnya di Palu, sebagai langkah untuk mengurangi dan menghindari risiko bencana di masa depan.

Genap satu tahun setelah bencana tersebut, misalnya, Forum Sudut Pandang menggelar acara bertajuk “Merayakan Memorama”. Forum Sudut Pandang mengundang kelompok band, komunitas, pekerja seni, penyintas, dan relawan untuk berkumpul dan berdoa bersama mengenang para korban gempa. Forum Sudut Pandang juga tak henti-hentinya mempromosikan pentingnya sejarah, pengetahuan, dan literasi kebencanaan. Sejak saat itu, Forum Sudut Pandang terus terlibat dalam advokasi mitigasi bencana.

Di sisi lain, gempa bumi dan tsunami  di Palu pada 2018 menyebabkan perubahan drastis pada lingkungan. Pascabencana, Pemerintah Kota Palu membangun tanggul di sepanjang pantai Teluk Palu untuk mengantisipasi tsunami. Namun, proyek ini ditentang oleh berbagai komunitas di Palu. Neni Muhidin dari Nemu Buku sebelumnya mengusulkan penanaman mangrove sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan daripada pembangunan tanggul beton.

Pembangunan tanggul yang membentang dari sungai hingga pantai Teluk Palu telah menyebabkan penyempitan habitat buaya muara. Tanggul tersebut menghilangkan daerah rawa-rawa yang merupakan sarang bagi buaya muara, serta mengganggu ekosistem mangrove yang menjadi tempat berkembang biaknya ikan dan kepiting, makanan utama bagi buaya. 

Sebelumnya, buaya memiliki sarang di wilayah muara sungai Aplu, tetapi lokasi tersebut telah rusak akibat tsunami di Teluk Palu. Akibatnya, buaya kini terpaksa naik ke permukaan pemukiman warga dan bertindak agresif. Fenomena buaya akibat perubahan lingkungan pascabencana ini kemudian diteliti dan dijadikan film dokumenter berjudul “Saya di Sini, Kau di Sana: A Tale of the Crocodile’s Twin” yang menjadi bagian proyek “Hidup dalam Bencana” bersama Sinekoci. 

Kesadaran mitigasi bencana yang disuarakan oleh Forum Sudut Pandang meluas ke isu krisis ekologi yang terjadi di Palu, khususnya terkait eksploitasi alam akibat pertambangan, yang berdampak pada semakin rentannya wilayah tempat mereka tinggal. Kondisi geologis pulau Sulawesi menciptakan pembentukan berbagai jenis deposit mineral, sehingga pulau ini memiliki kekayaan mineral seperti nikel, emas, tembaga, besi dan bauksit. 

Pascabencana, isu pertambangan di wilayah tersebut menjadi semakin kompleks. Minat terhadap sumber daya mineral, seperti emas dan nikel semakin meningkat, dan banyak perusahaan berusaha mengeksplorasi potensi pertambangan, yang sering kali mengabaikan dampak lingkungan dan sosial. 

Pertambangan sirtu (pasir dan batu) di pesisir Kota Palu hingga Donggala menjadi persoalan yang ramai diberitakan belakangan ini, karena diduga untuk memenuhi kebutuhan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Kegiatan pertambangan sirtu ini memberikan dampak buruk bagi masyarakat setempat dan pengguna jalan trans nasional pesisir Palu-Donggala. Debu hitam yang dihasilkan dari pertambangan menyebabkan polusi udara, berpotensi mengakibatkan penyakit infeksi saluran pernapasan (ISPA).

Kumpulan foto pertambangan pasir dan batu di pesisir Palu-Donggala

Bukit-bukit yang pasir dan batunya ditambang terlihat seperti luka yang terkorek pada tubuh. Bukit-bukit di Palu sejatinya merupakan urat bumi yang memperkuat struktur tanah dan dapat membantu menyerap dampak getaran seismik. Keberadaan bukit di Palu berfungsi sebagai zona penyangga yang mengurangi dampak bencana. Di tengah kondisi pertambangan yang berlangsung, Forum Sudut Pandang menyadari bahwa tinggal di Palu memiliki ancaman besar; wilayah ini sudah rentan terhadap bencana alam, dan kini alamnya juga dirusak.

Karya dan program Forum Sudut Pandang kemudian mulai intens merespons isu krisis ekologi pasca bencana di Palu, terutama melalui film-film dokumenter yang diproduksinya. Selain melalui film Saya di Sini, Kau di Sana: A Tale of the Crocodile’s Twin, mereka juga membuat film mengenai mangrove dalam judul Our Last Mangrove (2019), kemudian tentang pertambangan emas dengan judul Tanah Emas (2022) serta Documentation of Survivors and Eyewitnesses Stories Tsunamis in Central Sulawesi  (2022). 

Program yang baru saja diselenggarakan pada April-Juni 2024 yaitu Residensi dan Eksibisi Rasi Batu juga tak lepas dari muatan kritik terhadap krisis ekologi pascabencana di Palu. Pascabencana, terjadi perubahan strategi dan prioritas pengembangan pariwisata di Palu. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mengagungkan Negeri Seribu Megalit sebagai identitas dan ikon baru provinsi, dan batu-batu di kawasan Taman Nasional Lore Lindu digunakan sebagai daya tarik wisata, dan mendorong UNESCO menerbitkan rekomendasi kawasan tersebut sebagai warisan dunia. 

Program Residensi dan Eksibisi Rasi Batu diadakan untuk membongkar, menelusuri, dan meretas makna kawasan Seribu Megalit dari perspektif yang berbeda dari kepentingan politik dan ekonomi negara, terutama terkait aktivitas pertambangan mineral dan bebatuan yang sedang berlangsung. Melalui program ini, Forum Sudut Pandang berharap dapat menghasilkan narasi alternatif melalui pertemuan dan pertukaran gagasan di antara seniman yang terlibat.

Program ini melibatkan 6 seniman dari Palu dan 10 seniman dari luar kota Palu. Para seniman tinggal di Palu selama 2 minggu, melakukan kunjungan dan riset artistik di Lembah Pekurehua, Lembah Besoa, dan Lembah Palu. Konteks batu dalam program ini mencakup tidak hanya batu megalit dari masa lampau yang kini menjadi pesona pariwisata tetapi juga batu yang saat ini sedang dieksploitasi dan berdampak bagi kehidupan warga Palu. 

Kurikulum Proyektor

Istilah “sekolah” sering kali merujuk pada institusi formal di mana pendidikan diberikan, seperti SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Namun, jika kita melihat sekolah sebagai bagian dari “ekosistem belajar”, maka sekolah juga mencakup berbagai faktor dan elemen yang mempengaruhi cara orang belajar dan berkembang, yang juga terdapat di dalam peran keluarga, komunitas dan lingkungan sosial. 

Komunitas menjadi salah satu faktor eksternal yang berperan penting dalam ekosistem belajar. Keterlibatan dalam komunitas dapat memperkaya pengalaman belajar dan membantu memaksimalkan potensi diri. Komunitas sering kali menawarkan sumber belajar yang tidak tersedia di sekolah formal. Konsep ini mendukung ide bahwa pembelajaran tidak hanya terjadi di dalam kelas, tetapi juga melalui pengalaman praktis yang memperdalam pemahaman materi pelajaran dan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan nyata. 

Forum Sudut Pandang adalah contoh komunitas di Palu yang menyediakan sumber belajar alternatif di luar institusi pendidikan formal. Kehadiran Forum Sudut Pandang merespons keterbatasan institusi pendidikan dan seni di Palu dalam mengikuti perkembangan pengetahuan dan tren terkini. Kebaruan yang ditawarkan menarik minat anak muda di Palu, sehingga komunitas ini dan pengetahuannya mengalami regenerasi yang dinamis.

Jika Forum Sudut Pandang diibaratkan sebagai “sekolah”, maka nilai-nilai dasar pendidikan yang diusung oleh Forum Sudut Pandang terdiri dari independen, terbuka, demokratis, saling percaya, kreatif, dan kritis. 

  • Independen: Forum Sudut Pandang menekankan kemandirian dan otonomi dalam manajemen organisasi dan penyelenggaraan program.
  • Terbuka: Forum Sudut Pandang mengedepankan transparansi dalam manajemen organisasi, termasuk dalam pengelolaan sumber daya bersama.
  • Demokratis: Keputusan di Forum Sudut Pandang diambil secara kolektif, dengan melibatkan seluruh anggota, sehingga menciptakan rasa kepemilikan bersama.
  • Saling Percaya: Forum Sudut Pandangi menjadikan kepercayaan sebagai fondasi interaksi antar anggotanya, sehingga menciptakan suasana saling percaya dan kolaborasi.
  • Kreatif: Forum Sudut Pandang mendorong pemikiran kreatif dan inovatif, mengajak untuk menjelajahi pendekatan baru untuk tantangan yang dihadapi.
  • Kritis: Forum Sudut Pandang mendorong berpikir kritis, peka terhadap lingkungan sekitar, dan menganalisis berbagai sudut pandang.

Sebagai “sekolah”, Forum Sudut Pandang juga memiliki kurikulum, meskipun bentuk dan struktur kurikulumnya terlihat variatif dibandingkan kurikulum pendidikan formal di sekolah. Kurikulum dalam Forum Sudut Pandang dirancang untuk memenuhi kebutuhan komunitas dan anggotanya, dengan fokus pada pengalaman praktis dan pembelajaran kontekstual. 

Bagan yang digunakan untuk menggambarkan kurikulum pendidikan Forum Sudut Pandang yaitu berbentuk proyektor. Bentuk proyektor ini dipilih karena keterkaitan Forum Sudut Pandang dengan medium film. Proyektor sendiri merupakan teknologi yang digunakan untuk menampilkan dan menyampaikan informasi melalui proyeksi gambar. Secara struktur, bentuk proyektor ini merujuk pada bagan berjenis panah, yang digunakan untuk menunjukkan arah aliran informasi, proses, atau keterkaitan antara berbagai komponen kurikulum.

Komponen utama dalam bagan kurikulum Forum Sudut Pandang yaitu terdiri dari Area Belajar, Daya Tarik Belajar, Praktik Belajar, dan Mata Pelajaran. Komponen pertama yang dapat dilihat dari bagan kurikulum ini yaitu Daya Tarik Belajar, sebagai daya yang membuat seseorang tertarik, termotivasi, atau terdorong untuk belajar di Forum Sudut Pandang. Daya Tarik Belajar terdiri dari kata sifat yaitu populer, trendi, dan kekinian. Aspek yang mempengaruhi Daya Tarik Belajar di Forum Sudut Pandang ini meliputi minat-kebutuhan pribadi, rasa ingin tahu dan tujuan karir bagi anak muda Palu. Daya Tarik Belajar ini yang kemudian membuat mereka terlibat dalam aktivitas dan bahkan bergabung dengan komunitas Forum Sudut Pandang. 

Komponen berikutnya yaitu Area Belajar. Dalam konteks bidang studi, Area Belajar merujuk pada lingkup atau disiplin pengetahuan tertentu yang menjadi fokus pembelajaran. Area Belajar dapat mencakup berbagai macam disiplin ilmu atau domain pengetahuan. Area Belajar dalam konteks Forum Sudut Pandang terdiri dari Desain Komunikasi Visual, Desain Pemrograman, dan Ilmu Manajerial. Domain pengetahuan ini yang wajib dipelajari oleh pembelajar di Forum Sudut  Pandang. Untuk mempelajari area belajar tersebut dibutuhkan proses penerapan pengetahuan dan keterampilannya yang dapat disebut sebagai Praktik Belajar. Pada umumnya, Praktik Belajar mencakup aktivitas fisik, simulasi, percobaan, atau latihan yang bertujuan untuk memperkuat pemahaman dan keterampilan seseorang melalui pengalaman praktis.

Praktik Belajar di Forum Sudut Pandang terdiri dari open sources dan based on experiences. Open source biasanya merujuk pada perangkat lunak, informasi, atau konten yang tersedia secara bebas dan terbuka untuk umum. Dalam konteks praktik belajar di Forum Sudut Pandang, open sources menjadi sarana atau alat untuk belajar melalui penerapan langsung dengan menyediakan platform penggunaan data dan pengetahuan yang dapat diakses secara terbuka dan diadaptasi oleh pembelajar. Penggunaan sumber terbuka memungkinkan pembelajar di Forum Sudut Pandang untuk belajar secara praktis melalui eksplorasi, kontribusi, dan modifikasi dari materi yang tersedia.

Sementara itu, pembelajaran berbasis pengalaman (based on experiences) adalah metode pembelajaran yang melibatkan refleksi dan analisis dari pengalaman nyata. Bentuk praktik belajar ini digunakan Forum Sudut Pandang dengan melibatkan penerapan dan pemahaman melalui aktivitas langsung yang diistilahkan oleh pembelajar sebagai “dikasih tenggelam”. Forum Sudut Pandang memberikan  apresiasi, kepercayaan, dan dedikasi kepada para pembelajarnya, sebagai penghargaan atau pengakuan terhadap upaya dan pencapaian mereka. Memberikan apresiasi, kepercayaan, dan dedikasi ini dikategorikan sebagai bagian dari praktik belajar  dalam konteks yang lebih luas dan tidak langsung, karena telah mendukung dan memperkuat proses belajar secara keseluruhan. 

Dari komponen Area Belajar, Daya Tarik Belajar dan Praktik Belajar memproyeksikan Mata Pelajaran sebagai topik utama yang diajarkan di Forum Sudut Pandang sebagai sekolah. Mata Pelajaran di Forum Sudut Pandang terdiri dari Produksi Event, Produksi Film, Wacana dan Praktik Seni Media, Mitigasi Bencana dan Urban Culture. Mata pelajaran ini yang dipelajari oleh para pembelajar, baik anggota internal Forum Sudut Pandang maupun publik secara luas yang kerap terlibat dalam aktivitas komunitas ini, terutama anak muda Palu. 

Forum Sudut Pandang menunjukkan betapa vitalnya peran komunitas dalam membentuk ekosistem belajar dan memperluas cakrawala pendidikan di Palu. Forum Sudut Pandang membuktikan bahwa komunitas seniman dapat berfungsi sebagai sekolah alternatif yang efektif. Dengan mengedepankan metode pembelajaran berbasis pengalaman dan keterlibatan langsung, Forum Sudut Pandang menawarkan pendidikan yang kontekstual dan aplikatif. Sebagai “sekolah,” Forum Sudut Pandang menegaskan bahwa pendidikan tidak terbatas pada ruang kelas formal, tetapi juga dapat ditemukan dalam interaksi dan pengalaman sehari-hari.

Sumber Pustaka:

  1. Zine Kisi-Kisi Forum Sudut Pandang, 2023.
  2. “Penonton yang Membuat Film”, Taufiqurrahman Kifu. https://komunitasfilm.id/kota-palu/ 
  3. “Isnaeni Muhidin Merawat Ingatan tentang Bencana”, Reny Sri Ayu https://www.kompas.id/baca/utama/2019/07/04/isnaeni-muhidin-merawat-ingatan-tentang-bencana 
  4. “Kepungan Debu Hitam Palu-Donggala Area Tambang Pasir dan Batuan di Sepanjang Pesisir Pantai Palu Donggala” Walhi. https://walhisulteng.org/kepungan-debu-hitam-palu-donggala-area-tambang-pasir-dan-batuan-di-sepanjang-pesisir-pantai-palu-donggala/ 
  5. “Imaji Katastrofi Dan Pemujaan Batu-Batu Mulia” Catatan Kuratorial Program Residensi dan Eksibisi Rasi Batu, Rahmadiyah Tria Gayathri, 2024

Forum Sudut Pandang

Forum Sudut Pandang adalah organisasi nirlaba yang dikelola
oleh seniman lintas disiplin. Kolektif ini telah memiliki
badan hukum berupa perkumpulan. Sejak berdiri, Forum Sudut
Pandang menginisiasi beberapa program reguler seperti lokakarya, pameran, pemutaran film, pertunjukan musik dan pasar alternatif. Mereka juga terlibat di dalam program pemulihan korban bencana gempa Palu pada 2018 lalu. Saat ini, Forum Sudut Pandang diperkuat oleh 20 orang anggota. Bagi mereka, sumber daya utama dari kolektif mereka dari dulu hingga kini adalah kerja berjejaring. Untuk usaha mandirinya, sejauh ini mereka menjalankan toko dan usaha komunitas.