Dari daerah terpencil, jauh dari pemukiman warga, di Bumi Papua, Indonesia Art Movement melahirkan beribu kreativitas karya seni. Kehadirannya sejak 2017 ikut mewarnai perkembangan seni di Papua. Tak semata bertumpu pada karya seni tradisional tetapi juga dipadukan dengan seni kontemporer, sehingga tak heran jika generasi muda Papua terpikat. Karya-karyanya pun mengangkat budaya Papua, mencegah budaya warisan leluhur terlindas pergerakan zaman.
Beberapa waktu lalu, kami berkesempatan untuk mengenal langsung Indonesia Art Movement. Setelah menempuh penerbangan selama 5 jam dari Jakarta, dan tiba di Bandar Udara Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, perjalanan darat sekitar 50 menit masih harus ditempuh untuk tiba di basecamp Indonesa Art Movement atau disebut KedIAMan yang berada di daerah Entrop.
KedIAMan berada jauh dari pemukiman warga. Menjadikannya sebagai lokasi yang tepat untuk berimajinasi guna melahirkan karya-karya seni. Ditambah lagi dengan suasana adem karena area hijau, pepohonan rimbun yang mengelilinginya. Di bangunan memanjang yang temboknya dihiasi mural seorang tokoh Papua serta sejumlah ornamen khas Papua, para seniman biasa berkumpul. Namun, tak jarang ketika kejenuhan melanda, area nongkrong yang luas di sekeliling bangunan, menjadi tempat lahirnya ide-ide baru.
Dari kunjungan ke KedIAMan dan berinteraksi dengan para pegiat seni di sana, kami mencoba melihat bagaimana Indonesia Art Movement sebagai sebuah kolektif seni bekerja merumuskan ‘kurikulumnya’ sebagai sebuah cara melakukan sistem pendidikan dan tujuan pendidikan yang dilandasi konteks Jayapura hari ini. Dengan kata lain, bagaimana Indonesia Art Movement menjadi “sekolah” bagi anggotanya.
Menurut pandangan kami, kurikulum merupakan sebuah gagasan yang mengandung ide dan makna filosofis yang disusun berdasarkan konteks ruang dan waktu serta bertujuan untuk memfasilitasi peserta didik untuk belajar dan mencapai tujuan belajar sesuai minatnya. Kurikulum sendiri bisa berupa rancangan yang disesuaikan dengan perkembangan, baik perkembangan zaman maupun manusia. Di dalam kurikulum terdapat sebuah metode yang muncul dari kebiasaan individu dan kelompoknya sehingga terjadi proses saling silang pengetahuan dan metode tersebut juga terjadi untuk mengakses sumber pengetahuan yang terhubung dengan institusi kelompok yang menginisiasi kurikulum tersebut.
Dalam hal ini, Indonesia Art Movement merumuskan kurikulumnya untuk memfasilitasi anggotanya untuk belajar dalam ruang kolektif seni. Indonesia Art Movement menggunakan cara yang mirip seperti pesantren (dalam arti yang lebih luas) saat bekerja dalam konteks distribusi pengetahuan. Hal itu mewujud dengan adanya seseorang yang membuka dan menginisiasi sebuah ruang di Jayapura untuk memfasilitasi beberapa orang mengaktualisasikan diri sesuai minat dan konteks daerahnya. Tentu saja dengan nilai-nilai kolektif yang telah direfleksikan dan disusun bersama.
Kajian yang kami buat tak semata berbasis wawancara dan observasi lapangan. Kami juga menerapkan metode eksperimentatif, yaitu pasar ilmu, tacit mapping, dan unusual identity.
Pasar ilmu adalah sebuah metode di mana setiap anggota kolektif dipilih secara acak dan dipasangkan. Dalam metode ini, setiap peserta bergantian menjadi guru dan murid selama masing-masing 15 menit. Selama menjadi guru, peserta dapat membagikan pengetahuan yang mereka miliki, baik yang diperoleh melalui pengalaman pribadi maupun pendidikan formal. Metode ini bertujuan untuk memetakan bahwa setiap anggota kolektif memiliki pengetahuan penting yang perlu didistribusikan.
Tacit mapping adalah metode di mana seluruh anggota kolektif yang berkumpul diberikan sebuah kertas berukuran A4. Mereka diminta menulis nama masing-masing dan membuat tabel sederhana yang berisi kolom untuk keterampilan, pengalaman, keahlian khusus, dan hal-hal ikonik. Setelah itu, seluruh peserta diminta memberikan kertas tersebut kepada rekan di sebelahnya, dan begitu pula sebaliknya. Rekan di sebelahnya kemudian diminta untuk mengisi keempat kolom tersebut berdasarkan pengetahuan mereka tentang pemilik kertas.
Metode ini bertujuan untuk memetakan pengetahuan tacit yang dimiliki setiap anggota. Proses ini memungkinkan pengetahuan tacit yang dimiliki setiap anggota untuk diakses oleh anggota lainnya. Hal ini perlu karena pengetahuan tacit merupakan pengetahuan yang sulit diungkapkan dan dikomunikasikan. Oleh karena itu, pengetahuan ini perlu dilihat atau diakses orang lain karena sifatnya yang subjektif, berdasarkan pengalaman, dan kontekstual.
Selanjutnya, metode unusual identity, di mana masing-masing anggota bertukar identitas selama beberapa waktu. Identitas yang ditukar bisa mencakup gaya berjalan, gaya berpakaian, dan gaya berkomunikasi. Proses pertukaran ini dipilih secara acak, sehingga menciptakan elemen kejutan ketika seseorang mendapatkan pertukaran peran dengan sosok yang tidak disangka. Dalam hal ini, kemampuan mengingat dan mengamati antar anggota kolektif sangat diperlukan. Setelah bertukar identitas dan menjalin peran orang lain, mereka diminta menjawab beberapa pertanyaan seperti alasan bergabung dengan Indonesia Art Movement dan juga apa yang perlu dikembangkan.
Asrama Asmat di Jayapura
Geliat Seni di Port Numbay
Sebelum masuk mengenal pada temuan dan kajian kami atas temuan itu, penting untuk mengenal latar belakang masyarakat penghuni Jayapura serta budaya yang dibawanya.
Dikenal dengan nama Port Numbay pada masa penjajahan Belanda, sejumlah suku asli berdiam di sana, seperti suku Tobati, Skouw, Nafri, dan Sentani yang tinggal di Kampung Enggros. Namun, sebagai episentrum dari Papua, masyarakat pendatang juga bisa dibilang dominan di Jayapura, seperti dari daerah lain di Papua, yakni Asmat, Biak, Wamena, dan Merauke, serta dari luar Papua, yakni Makassar, Jawa, Kalimantan, dan Ambon.
Kehadiran masyarakat pendatang, ditambah lagi teknologi informasi dan komunikasi yang kian canggih, mendorong geliat seni di Jayapura. Jayapura pun muncul sebagai kota industri kreatif yang berkembang, tentu saja tanpa melepaskan tradisi lokal warisan dari para leluhur.
Seni musik misalnya, dewasa ini Port Numbay banyak dipengaruhi oleh gaya musik hip-hop dan rap. Roots ini masuk ke Jayapura dari arah barat Port Numbay, utamanya dari Ambon. Roots ini dengan mudahnya diserap generasi muda Papua karena dekat dengan keseharian dan gestur mereka yang berbicara dengan cepat. Kemudian gerakan dance hip-hop atau rap yang enerjik sangat dekat dengan tarian tradisi masyarakat Papua dan gerak jalan kebanyakan masyarakat Papua yang nge-bounce juga dekat dengan tradisi hip-hop atau rap. Di samping itu budaya masyarakat Papua juga cukup terfasilitasi oleh genre musik hip-hop dan rap. Hal ini bisa dilihat dari lirik-lirik yang diceritakan dalam musik mereka yang menggambarkan situasi lingkungannya. Selain itu, pengaruh dari Pasifik cukup dipengaruhi musik-musik bergenre reggae salah satunya dari Kepulauan Solomon seperti Doorman Project.
Tak sebatas musik, banyaknya seniman baik dari bidang tari, teater, dan seni rupa juga menghiasi ruang kota Jayapura terlebih setelah gelaran Pekan Olahraga Nasional (PON) 2021. Selain itu, infrastruktur penopang industri kreatif di Jayapura juga kian menggeliat setelah hadirnya perguruan tinggi seni. Sejak 2012 ISBI Tanah Papua berdiri yang di dalamnya diajarkan sejumlah program studi seperti tari, musik, desain komunikasi visual dan seni rupa. Sejumlah anggota Indonesia Art Movement menjadi mahasiswa di perguruan tinggi tersebut.
Namun, jauh sebelum itu, jejak seni sudah lama terpancar dari Bumi Papua. Antara tahun 1967-1973 saat Indonesia belum terlalu mengenal profesi kurator dalam konteks seni dan budaya, Jayapura telah memiliki kurator untuk museum Loka Budaya di Universitas Cenderawasih, Papua.
Arnold Clemens AP adalah seorang musisi, antropolog, dan pengajar kelahiran Biak pada tahun 1946. Pemikiran dan karyanya bersama grup musik Mambesak pun telah banyak mempengaruhi pemikiran dan karya anak-anak Jayapura bahkan hingga hari ini. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan industri kreatif di Jayapura telah dimulai sejak lama, dan profesi kurator dalam sebuah institusi yang menyediakan jasa untuk menyusun, merumuskan, dan menceritakan kebudayaan Papua kepada publik, pun telah lama lahir.
Mengenal Indonesia Art Movement
Di tengah geliat seni di Port Numbay, Indonesia Art Movement lahir. Pendirinya, dosen di program studi seni tari di ISBI, yakni Muhammad Ilham Murda atau akrab dipanggil Iam Murda. Lahir di Jayapura 39 tahun silam, Iam besar di lingkungan skena breakdancer Jayapura dan menjadi salah satu punggawa Freedom Squad 99 Jayapura. Minat dan keseriusannya untuk ber-breakdance mendorongnya mengikuti kompetisi dance hingga di level internasional.
Iam sempat merantau ke luar Jayapura selama 11 tahun, dan Makassar serta Jakarta menjadi dua kota di mana Iam melakukan proses ‘belajar’ secara langsung, baik formal maupun informal. Namun, tak lagi sebatas breakdance, keinginannya untuk belajar seni lebih luas mendorongnya untuk belajar dunia audio-visual khususnya film di Institut Kesenian Jakarta. Kala itu, muncul hasrat dari benak Iam untuk menjadi sutradara.
Alhasil, Iam menjadi seorang sutradara, produser serta koreografer, bahkan sempat membuat koreografi untuk beberapa pertunjukan, film, teater, dan sebagainya.
Pada tahun 2015, Iam memutuskan kembali ke Jayapura. Di sana, Iam melihat potensi besar pengembangan seni, khususnya di Jayapura, dan memantiknya untuk mengembangkannya. Maka, lahirlah Indonesia Art Movement (IAM) sebagai wadah pelaku seni dan budaya di Papua dan menjadikannya sebagai sebuah kolektif seni.
Saat ini, IAM telah memiliki 21 orang anggota dan 3 di antaranya perempuan. Rata-rata anggotanya berusia 27 tahun. Beberapa orang anggota IAM juga tinggal bersama di KedIAMan. Ada sejumlah ruang yang dijadikan tempat tidur. Menurut cerita Julio, salah satu anggota IAM yang tinggal di KedIAMan, di tengah malam ketika semua sudah pulang, justru kerap lahir ide-ide baru di sela hiburan memetik gitar dan bernyanyi.
Di KedIAMan, infrastruktur penopang untuk lahirnya kreasi-kreasi seni tersedia seperti ruang serba guna yang jadi tempat pegiat seni menggelar pameran, diskusi, rapat, studio tari, musik dan seni rupa. Di tempat ini transfer pengetahuan di antara pegiat terjadi.
Tak hanya itu, di KedIAMan, terdapat pula kedai kopi yang dikelola salah satu jejaring IAM, bernama KhaKha Coffee. Sambil mencecap kopi, dan mencium wanginya, diskusi untuk melahirkan ide baru atau mematangkan ide yang sudah ada menajdi topik pembicaraan di antara anggota IAM, juga dengan tamu-tamu dari luar yang silih berganti datang. Dengan adanya kedai kopi tersebut, KedIAMan sekaligus menjadi ruang yang mudah di akses publik.
Selain itu, masih di kompleks KedIAMan, ada pula Honai, rumah adat Papua yang beratap jerami, berbentuk kerucut, dengan dinding terbuat dari kayu yang melingkar. Bangunan tersebut dikelilingi pagar bambu beratap jerami plus tetumbuhan hijau, termasuk pohon-pohon tinggi dan tanaman kecil. rumah adat Papua dengan nama Honai. Ada pula bangunan kecil tempat Iam memelihara ayam petelur dan ayam potong. Lokasi itu menjadi eksperimen pribadi Iam untuk strategi keberlanjutan pangan untuk Indonesia Art Movement.
Sebagai sebuah kolektif seni, proses transfer pengetahuan sudah barang tentu terjadi. Terbukti dengan bertambahnya keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh anggota kolektifnya. Di malam sebelum kami kembali ke Jakarta, ada 2 orang anggota yang sedang keranjingan berkarya menggunakan plastik kresek bekas, mereka adalah Juilo dan Caken.
Beberapa hal yang paling memukau buat saya adalah ketika Julio menceritakan ketika dia mendapat kesempatan untuk mengisi lokakarya seni rupa yang diadakan oleh Indonesia Art Movement. Sebagai seorang perupa mendistribusikan pengetahuan tentang sketsa dasar dari pengalamannya menjadi sesuatu yang berharga. Meski sempat grogi, ia dipandu sekaligus melihat gaya moderator Frans, salah satu anggota IAM juga dan merupakan seorang guru, menaklukkan audiens, sehingga Julio yang bisa meniadakan rasa groginya. Namun, tak hanya berhenti di sana, Julio belajar banyak dari Frans tentang bagaimana bisa berbicara lancar di muka umum.
Caken yang memiliki ketertarikan pada audio-visual, khususnya film dan fotografi, juga memiliki cerita tersendiri terkait proses transfer pengetahuan di Indonesia Art Movement. Saat awal-awal Caken bergabung dengan IAM, dia mendapat kesempatan untuk menjadi asisten salah satu anggota IAM yang mendapat pekerjaan memotret sebuah acara di kota Jayapura. Di tengah acara, tiba-tiba sang fotografer utama memberikan kamera kepada Caken dan meminta Caken untuk ke depan dan memotret aktivitas di panggung. Caken pun senang karena bisa memegang kamera dan memotret tapi dia juga kaget karena menurutnya belum ada persiapan apapun atau dengan kata lain belum ada pengetahuan yang mendasar terkait foto dan kamera.
Caken lantas membagikan pengalamannya kepada temannya sekaligus memperlihatkan hasilnya. Saat itu dilakukan evaluasi bersama tak hanya soal hasil foto Caken tetapi juga bagaimana dia bisa mengatasi rasa gugup saat harus memotret disaksikan banyak mata.
Salah satu ruangan serba guna di KedIAMan
Kurikulum “Jorokin”
Apa yang dialami oleh Julio, Caken, dan anggota IAM lainnya adalah bagian dari penerapan kurikulum “Jorokin” oleh IAM. Kurikulum yang menekankan pendekatan pembelajaran yang mandiri dan organik, di mana anggota didorong untuk belajar melalui pengalaman langsung dan tantangan nyata. Alih-alih mengandalkan struktur formal atau silabus yang kaku, kurikulum ini mendorong anggotanya untuk terjun langsung ke dalam situasi praktis, dan seringkali tanpa persiapan yang lengkap. Pendekatan ini memungkinkan anggota untuk menghadapi tantangan secara langsung dan belajar dari pengalaman nyata, yang pada gilirannya memperkuat keterampilan serta kepercayaan diri mereka.
Julio misalnya, dari kesempatan mengajar di sebuah lokakarya seni rupa, dipetik pelajaran tentang pentingnya keterampilan mengajar. Begitu pula dengan Caken, yang tiba-tiba diberi tanggung jawab memotret sebuah acara besar tanpa persiapan yang cukup. Pengalaman tersebut tidak hanya memperluas pengetahuannya tentang fotografi, tetapi juga membantunya mengatasi rasa gugup dan mengasah kemampuannya untuk beradaptasi dalam situasi yang menantang.
Selain itu, kurikulum “Jorokin” juga mengandalkan mentoring dan kolaborasi sebagai elemen penting dalam proses pembelajaran. Anggota yang lebih berpengalaman, seperti Frans, berperan sebagai mentor bagi anggota yang lebih baru, memberikan bimbingan dan dukungan untuk membantu mereka menghadapi tantangan. Ini menciptakan lingkungan yang mendukung, di mana pengetahuan dan keterampilan dapat ditransmisikan melalui interaksi sehari-hari dan kerja sama yang erat di antara anggota kolektif.
Pendekatan ini juga menekankan pentingnya refleksi dan evaluasi setelah setiap pengalaman. Anggota didorong mengevaluasi apa yang telah mereka lakukan, memahami kekuatan dan kelemahan mereka, serta memikirkan bagaimana mereka dapat memperbaiki dan mengembangkan keterampilan mereka di masa depan. Proses ini tidak hanya memperkaya pemahaman mereka, tetapi juga membantu mereka menjadi lebih mandiri dan siap menghadapi tantangan berikutnya.
Kurikulum “Jorokin” di Indonesia Art Movement pada dasarnya adalah sebuah proses pembelajaran yang berpusat pada pengalaman, adaptasi, dan pertumbuhan pribadi. Ini memungkinkan anggota untuk belajar dan berkembang dalam lingkungan yang dinamis, di mana mereka dapat mencoba hal-hal baru, belajar dari kesalahan, dan tumbuh bersama sebagai bagian dari kolektif seni yang kolaboratif.
Pendidikan Berbasis Masyarakat dan Pendidikan dalam Masyarakat
Dari cerita di atas, saya mencoba mengaitkannya dengan konsep Tri Sentra Pendidikan yang diperkenalkan oleh Ki Hajar Dewantara. Konsep itu menekankan tiga faktor utama dalam lingkungan pendidikan. Pertama adalah keluarga, yang berfungsi sebagai pusat pendidikan pertama, utama, dan terpenting. Kedua adalah sekolah, yang berperan dalam membangun kecerdasan dan memberikan ilmu pengetahuan. Ketiga adalah masyarakat (alam pemuda), yang membantu mengembangkan kecerdasan jiwa maupun budi pekerti.
Berdasarkan konsep Tri Sentra Pendidikan ini, negara sebagai otoritas telah merumuskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional bahwa masyarakat juga memiliki peran dalam menyelenggarakan pendidikan. Dari hal di atas dapat dimaknai bahwa pendidikan luar sekolah perlu diupayakan oleh masyarakat itu sendiri, baik secara implisit maupun eksplisit. Bentuk yang implisit bisa kita kenal dengan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar-Mengajar).
Namun, secara eksplisit, maksud dari alam pemuda (masyarakat) dalam konteks hari ini telah berkembang. Pendidikan berbasis masyarakat juga memberikan pengetahuan yang langsung dihadapkan dengan realitas. Hal ini sejalan dengan pemikiran Paulo Freire, yang menekankan sistem pendidikan yang berhadapan langsung dengan realitasnya.
Selain itu, Ki Hajar Dewantara juga menegaskan bahwa pendidikan harus selaras dengan daerah di mana pendidikan tersebut diselenggarakan, baik secara politik, filosofi, sosial atau budaya. Yang terpenting adalah pendidikan harus sesuai dengan kondisi, proses, dan tuntunan masyarakatnya. Pendidikan harus kontekstual agar kebutuhan dari permasalahan masyarakat dapat diatasi dengan tepat.
IAM sebagai sebuah kolektif seni memainkan perannya sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat. IAM tumbuh organik dari masyarakat, dengan sebagian besar anggotanya merupakan bagian dari masyarakat Jayapura. Mereka membuka kesempatan bagi publik untuk terlibat dalam kegiatan mereka, melibatkan kelompok masyarakat dari berbagai suku seperti Asmat, Engros, Kayupulo, Nafri, Skouw, Sentani, dan lainnya. Kegiatan mereka mencakup pembuatan film dan festival-festival lainnya, dengan karya-karya yang menceritakan konteks lokal Jayapura dan Papua secara umum.
Contohnya, web series “Pinang Tumpuk” bercerita tentang kehidupan masyarakat di Jayapura yang hidup rukun dengan beragam etnis, suku, dan budaya, serta dibalut dengan komedi. Series ini mengambil latar keindahan alam Jayapura, khususnya Kampung Enggros, dan menampilkan Petronela Meraudje, peraih Kalpataru 2023, sebagai pemeran utama. Selain itu, koreografi yang dihasilkan IAM mengelaborasikan unsur-unsur seni tradisi masyarakat Papua yang dipadukan dengan breakdance dan gerak-gerak eksploratif.
Selain itu, sebuah karya pertunjukan yang diselenggarakan di Teluk Yotefa dengan nama Green Yotefa Performing Art. Secara geografis teluk tersebut menjadi muara beberapa sungai yang ada di Jayapura dan sekitarnya. Sampah dan lumpur menjadi isu di teluk tersebut, maka pertunjukan menggunakan beberapa sampah dan lumpur dari teluk tersebut. Dalam wawancaranya di salah satu stasiun tv nasional di Jayapura, pertunjukan yang dikemas kekinian kontemporer dan melibat beberapa displin seni seperti tari, puisi, musik dan rupa. Dari pemilihan lokasi pertunjukan sudah jelas, bahwa konteks lokal dan isu lingkungan menjadi fokus utama dalam pertunjukan ini.
Dengan tiga contoh di atas, penggalian ide dan gagasan tersebut tidak terlepas dari konteks lokalnya. IAM, sebagai bagian dari masyarakat Papua, menggali isu dan permasalahan di sekitarnya, sehingga mereka mengetahui apa yang harus diartikulasikan ke dalam bentuk-bentuk artistik dengan pesan yang ingin mereka sampaikan kepada publik.
Kolektif sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat, bila didasarkan pada landasan pendidikan kritis menegaskan bahwa pendidikan berbasis masyarakat perlu mengikuti asas lokal dan berada di masyarakat. Dengan demikian, masyarakat bisa merancang, memutuskan dan mengatur pendidikannya sendiri. Sebab pada dasarnya setiap masyarakat memiliki kebutuhannya masing-masing, mengikuti kondisi geografis, sosial budayanya, politik dan sebagainya. Jadi tak bisa disamakan di semua daerah. Maka, sebaiknya kebutuhan masyarakat merancang, memutuskan, mengatur dan pendidikannya sendiri penting sebagai landasan tujuan pendidikan.
Dalam hal ini, proses penciptaan karya yang dilakukan oleh IAM didasari oleh keresahan, kegelisahan, dan ketertarikan sebagai warga yang melihat daerahnya. Mereka sebagai warga telah menentukan kebutuhan apa yang perlu diangkat bersama warga lainnya. Melihat gagasan ini, proses saling silang pengetahuan pada penciptaan karya terjadi bersama warga dan menjadi bagian perancangan proses pembelajaran menjadi sangat alami dan organik yang mana berujung pada sebuah dampak yang dialami bersama.
Motivasi Belajar
Beragam alasan mendorong anggota IAM untuk bergabung dengan Indonesia Art Movement. Motivasi utama mereka bervariasi, mulai dari keinginan melanjutkan pendidikan hingga kebutuhan akan aktualisasi diri, seperti mengembangkan potensi artistik dan imajinasi, mencari pengetahuan baru, dan memperluas jaringan sosial.
Banyak anggota juga bergabung untuk tetap produktif dalam berkarya dan menjaga eksistensi seni mereka. Indonesia Art Movement menciptakan ruang komunal yang inklusif dan mendukung anggotanya, memungkinkan kolaborasi dan perkembangan bersama. Sejak bergabung, anggota telah memperoleh berbagai keterampilan praktis seperti fotografi, videografi, desain grafis, serta keterampilan manajerial dan networking.
Karakter yang ingin dikembangkan oleh anggota mencakup kepemimpinan, tanggung jawab, public speaking, kepercayaan diri, dan berpikir kritis. Banyak anggota kolektif menyebutkan bahwa ruang komunal “KedIAMan” merupakan tempat favorit karena simbolisme dan komitmen terhadap inklusivitas dan kolektif seni yang kuat.
Tujuan Belajar
Dalam pemikiran Tan Malaka tentang tujuan pendidikan ada 3 poin yang disesuaikan dengan realitas dan kebutuhan. Pertama, memberi keterampilan. Keduam keleluasaan dalam potensi belajarnya termasuk hobi dengan cara bergaul atau berkumpul (nongkrong). Terakhir, adalah menanamkan rasa peduli dan tolong menolong terhadap sesama.
Ketiga hal ini masih relevan dengan kenyataan dan konteks hari ini, bahwa pendidikan tidak hanya perlu dilakukan dalam sebuah ruang formal di sekolah. Pendidikan perlu memberikan keleluasaan terhadap manusianya, sebagai subjek yang menjalankan dan meraih tujuan pendidikan keleluasaan tersebut perlu diyakini sebagai sebuah minat dan kemauan dari diri manusianya.
Kembali ke tujuan pendidikan menurut Tan Malaka yang kedua yaitu pendidikan perlu memberikan keleluasaan kepada peserta didiknya dengan cara bergaul dan berkumpul. Dalam hal ini, teringat perkataan seorang penggiat pendidikan yang bernama Susilo Adi Negoro bahwa pendidikan tidak akan bekerja tanpa interaksi sosial.
Saya mencoba menerjemahkannya, bahwa keterampilan yang telah diraih seseorang tidak akan bermakna atau bahkan tidak berfungsi tanpa adanya interaksi sosial. Interaksi sosial tersebut menciptakan sebuah wacana tentang konteks yang sangat spesifik baik dengan lingkungan sekitarnya ataupun dengan manusianya. Interaksi sosial ini membuat kebermaknaan keterampilan atau pengetahuan yang telah diraih atau mungkin lebih dari itu, interaksi sosial menghasilkan keterampilan dan pengetahuan. Keterampilan dan pengetahuan juga tidak akan bisa teraplikasikan jika kita tidak punya kepedulian dengan sesama.
Indonesia Art Movement menyediakan berbagai kesempatan bagi anggotanya untuk mengembangkan keterampilan praktis yang penting dalam dunia seni. Melalui program-program yang diselenggarakan, anggota dapat mengasah kemampuan dalam bidang fotografi, videografi, dan editing video. Keterampilan ini memungkinkan mereka untuk menciptakan penghasilan yang relevan dengan perkembangan kota Jayapura yang tengah berkembang industri kreatifnya. Selain itu, keterampilan dalam desain grafis dan produksi barang seperti pakaian dan properti pameran juga menjadi tujuan belajar di IAM, sehingga anggota dapat mengeksplorasi berbagai aspek seni rupa dan industri kreatif. Kemampuan manajerial dan berjejaring juga menjadi fokus, membantu anggota dalam menjalankan program-program seni yang berkelanjutan dan efektif.
Selain keterampilan teknis, IAM juga berkomitmen mengembangkan karakter dan kepemimpinan anggotanya. Hal ini mendorong anggota untuk menjadi pemimpin yang bertanggung jawab dan mampu memimpin proyek serta kolektif seni. Program pelatihan dan kegiatan yang diadakan bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berbicara di depan umum dan rasa percaya diri dalam menampilkan karya. Selain itu, anggota didorong untuk berpikir kritis dan kreatif dalam menghadapi isu-isu sosial dan budaya, sehingga mereka dapat berproses yang tidak secara artistik saja tetapi juga memiliki makna yang mendalam dengan konteks lokalnya.
Salah satu nilai inti dari IAM adalah kolaborasi dan pengembangan kolektif. Anggota diajak untuk bekerja sama dengan masyarakat dan berkolaborasi dalam berbagai proyek seni, menciptakan lingkungan yang inklusif dan merangkul keberagaman. Kolektif ini menghargai kontribusi dari berbagai latar belakang dan budaya, serta mendorong partisipasi aktif dalam pengembangan kolektif seni yang dinamis. Dengan demikian, Indonesia Art Movement tidak hanya menjadi kolektif seni, tetapi juga menjadi ruang di mana anggota dapat saling mendukung dan tumbuh bersama sebagai kolektif yang kuat dan mandiri.
Penghargaan terhadap warisan budaya lokal juga menjadi salah satu tujuan utama di Indonesia Art Movement. Kolektif ini berupaya melestarikan tradisi lokal, seperti seni dan tradisi Suku Dani, dengan mengintegrasikan nilai-nilai budaya dalam karya seni anggotanya. Anggota diajak untuk memahami dan mengapresiasi makna simbolik dari benda-benda dan ruang dalam konteks budaya dan seni. Dengan cara ini, IAM tidak hanya berfungsi sebagai platform untuk ekspresi artistik, tetapi juga sebagai penjaga dan penerus warisan budaya yang berharga.
Kepercayaan diri dan kemampuan berbicara di depan umum adalah karakter lain yang ingin dikembangkan oleh banyak anggota. Mereka menyadari pentingnya memiliki rasa percaya diri yang kuat dalam mengekspresikan ide dan karya seni mereka. Kepercayaan diri ini diperlukan tidak hanya saat proses penciptaan karya seni tetapi juga ketika harus mempresentasikan dan mempertahankannya di depan publik.
Anggota ingin meningkatkan kemampuan berbicara di depan umum, atau public speaking, agar dapat menyampaikan gagasan artistik mereka dengan lebih efektif. Melalui berbagai kegiatan yang melibatkan presentasi karya, diskusi, workshop yang lebih interaktif dengan audiens.
Selain itu, berpikir kritis dan kreatif adalah dua karakter yang banyak dari anggota yang ingin mengasah kemampuan ini. Berpikir kritis memungkinkan mereka untuk menganalisis situasi dengan lebih mendalam, mengevaluasi berbagai perspektif khususnya tentang konteks diri dan ruang mereka dan membuat keputusan yang lebih bijak dalam proses kreatif mereka agar sesuai dengan konteksnya. Di sisi lain, berpikir kreatif memungkinkan mereka untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dan menghasilkan gagasan yang imajinatif, sehingga bisa terkoneksi dengan kota atau wilayahnya yaitu Jayapura.
Kedisiplinan dan ketekunan juga menjadi tujuan belajar dalam rangka pengembangan karakter bagi banyak anggota. Kedisiplinan membantu mereka untuk tetap fokus pada tujuan jangka panjang, sementara ketekunan memastikan bahwa mereka tidak menyerah ketika menghadapi kegagalan atau kritik. Indonesia Art Movement memberikan dukungan dan struktur yang dibutuhkan untuk membantu anggotanya mengembangkan kebiasaan-kebiasaan ini, sehingga mereka dapat terus maju dalam perjalanan seni mereka.
Model Belajar
Ada beberapa model belajar yang dilakukan oleh Indonesia Art Movement. Jika diklasifikasikan berdasarkan sumber belajarnya, IAM telah menerapkan model belajar belajar sesama anggotanya dan belajar dari luar anggota kolektif atau masyarakat. Model pembelajaran tersebut memiliki beberapa pendekatan seperti kemandirian dan kolaborasi, kontekstual, Partisipatif, Berbasis pengalaman, eksploratif dan adaptif.
Kemandirian dan kolaborasi adalah dua karakter yang terkesan bertolak belakang, tetapi sebenarnya saling melengkapi dalam model belajar di IAM. Banyak anggota yang menentukan apa yang ingin dipelajari, dikembangkan dan diraih. Kemandirian ini memberi mereka kebebasan untuk mengakses pengetahuan dan menyebarkannya kembali, mengeksplorasi ide-ide dan membangun identitas artistik mereka sendiri.
Namun, mereka juga mengakui pentingnya kolaborasi dalam seni. Melalui kolaborasi, mereka dapat belajar dari sesama anggota kolektifnya, belajar dari dan bersama masyarakat, dan bertukar gagasan serta pengetahuan. Indonesia Art Movement juga menjadi platform di mana kemandirian dan kolaborasi dapat berkembang bersamaan, memungkinkan anggota untuk tumbuh sebagai individu yang mandiri sambil tetap menjadi bagian dari kolektif yang suportif dan inklusif.
Foto tempat para perupa di Indonesia Art Movement berkarya
Pendekatan pembelajaran IAM pun sangat kontekstual, artinya materi dan metode pembelajaran disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, dan lingkungan lokal di Jayapura. Anggota IAM belajar tentang seni dan budaya yang relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari, dan mereka diajak untuk berkontribusi pada komunitas mereka melalui proses dan karya yang dihasilkan baik secara individu ataupun kolektif. IAM yang juga terbentuk dari masyarakat Jayapura pun mencoba menjadikan kota Jayapura dan sekitarnya sebagai gagasan utama untuk diartikulasikan secara artistik. Jadi tentu saja, isu-isu yang IAM gali, artikulasikan, presentasikan merupakan isu bersama di masyarakat terutama di Jayapura.
Secara keseluruhan, Indonesia Art Movement berperan penting dalam membantu anggotanya mengembangkan karakter-karakter ini. Pengembangan karakter seperti kepemimpinan, tanggung jawab, kepercayaan diri, public speaking, berpikir kritis, kreatif, kedisiplinan, ketekunan, kemandirian, dan kolaborasi tidak hanya penting bagi pertumbuhan pribadi anggota, tetapi juga mendukung kesuksesan mereka dalam dunia seni yang kompetitif. Dengan membangun karakter-karakter itu, anggota jadi lebih siap untuk menghadapi tantangan, berkolaborasi, dan memberikan kontribusi signifikan terhadap dunia seni di berbagai tingkatan.
Foto bersama dengan Anggota Indonesia Art Movement
Skill/Capabilities
Sebagai sebuah kolektif seni yang anggotanya beragam profesi, IAM juga telah memfasilitasi anggotanya untuk meraih kemampuan dan keterampilan yang diminati oleh anggotanya. Kemampuan ini sangat beragam dan berdasarkan fokus dari masing-masing anggotanya yang saling melengkapi.
Fachry Matlawa, seorang penari, telah memperluas kemampuannya dengan mempelajari fotografi dan editing video. Dengan pengetahuan ini, Fachry mampu mendokumentasikan dan memproduksi konten visual yang berkualitas tinggi, sambil juga mempelajari cara menata ruang pameran dengan efektif. Fokusnya pada tanggung jawab sebagai seniman, membantunya menciptakan karya yang tidak hanya indah tetapi juga bermakna dan penuh nilai kemanusiaan.
Di sisi lain, Dini membawa energi baru ke IAM dengan keinginannya untuk belajar lebih banyak tentang seni visual. Ia telah mempelajari penggunaan kamera dan editing video, keterampilan dasar yang sangat penting dalam produksi konten. Selain itu, pengetahuannya dalam desain grafis memberinya kemampuan untuk menciptakan elemen visual untuk branding dan promosi. Dini juga bertekad untuk meningkatkan kepercayaan diri dan kemampuan berbicara di depan umum, yang menunjukkan kesadarannya akan pentingnya komunikasi efektif dalam seni.
Adapun Iam Murda, memiliki visi besar untuk menciptakan program seni yang berkelanjutan. Dengan pengetahuan mendalam terkait pengembangan program dan jaringan, Iam Murda telah berhasil menghubungkan seniman dan organisasi lain dalam kolaborasi seni yang produktif. Kepemimpinannya yang baik dan komitmennya terhadap keberlanjutan budaya di Papua menjadikannya sosok yang dihormati dalam kolektif ini.
Jorry, seorang freelancer dengan bakat dalam editing dan desain grafis, juga merupakan anggota penting dari IAM. Kemampuannya dalam pengoperasian kamera dan keinginannya untuk memperdalam keterampilan desain grafis menunjukkan fokusnya pada visual branding dan promosi. Kemampuan ini memungkinkan Jorry untuk menciptakan materi visual yang menarik dan efektif, mendukung berbagai proyek seni yang ia kerjakan.
Izak Gabriel Johannes membawa pengetahuan dalam videografi dan fotografi ke IAM, yang merupakan fondasi penting untuk produksi film dan konten visual lainnya. Selain itu, ia memahami manajemen acara, termasuk perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi, yang memungkinkannya mengelola berbagai kegiatan seni dengan baik. Izak juga memiliki keahlian dalam produksi baju, menunjukkan keterlibatannya dalam industri kreatif yang terkait seni visual.
Adapun Julio Christopher memiliki pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana menampilkan karya seni dengan cara yang menarik dalam pameran. Selain itu, keterampilannya dalam membuat properti untuk pameran membantu menciptakan lingkungan yang mendukung pengalaman artistik yang imersif. Julio juga memiliki kemampuan mengajar menggambar, menunjukkan pemahamannya yang mendalam tentang teknik seni rupa dan kesediaannya untuk berbagi pengetahuan ini dengan orang lain.
Kemudian, Risaldi ahlinya dalam penyutradaraan dan editing film. Keterampilan yang penting dalam produksi film dan video berkualitas tinggi. Ia juga memiliki pengetahuan dalam visual jockey (VJ), yang melibatkan manipulasi dan presentasi visual dalam pertunjukan langsung. Fokusnya pada pengembangan keterampilan manajemen program menunjukkan keseriusannya dalam menjalankan proyek-proyek seni dan kegiatan kolektif di IAM.
Nataniel Dawir menonjol dengan kemampuan interaksi sosialnya, yang menunjukkan kesadarannya akan pentingnya komunikasi dalam membangun jaringan dan kolaborasi. Ia juga tertarik untuk belajar lebih banyak tentang pengorganisasian dan manajemen seni. Komitmennya terhadap kesiapan dalam bertindak menunjukkan dedikasinya terhadap peran dan tanggung jawabnya dalam kolektif seni.
Michael Yan Devis memiliki pengetahuan dalam diplomasi dan berpikir kritis, yang sangat penting dalam mengelola hubungan dan mengatasi tantangan dalam dunia seni. Pemahamannya tentang retorik transenden memungkinkan dia untuk berkomunikasi dengan cara yang mendalam dan bermakna, melampaui argumen biasa. Pengetahuan Michael tentang galeri seni juga menunjukkan pemahamannya tentang cara kerja dan pengelolaan ruang pameran, yang penting dalam memamerkan karya seni.
Johanis Arol Siahaya adalah seorang yang terampil dalam pengoperasian kamera dan perekaman suara, keterampilan penting dalam produksi video dan dokumentasi. Ia juga memiliki pengetahuan dalam pembuatan properti acara, yang mendukung persiapan dan pelaksanaan acara seni. Johanis berfokus pada pengembangan keahlian khusus, yang menunjukkan keinginannya untuk meningkatkan keterampilan yang unik dan berkontribusi pada kesuksesan kegiatan kolektif.
Selain itu, ada Frans Junias Jugganza yang membawa pengetahuan dalam manajemen dan administrasi ke IAM, yang sangat penting dalam pengelolaan organisasi seni dan kegiatan terkait. Keterampilannya dalam editing video dan sistem suara juga membuatnya menjadi anggota yang berharga dalam produksi multimedia. Frans berusaha mengembangkan sifat kritis, bijaksana, dan kreatif dalam segala hal yang dilakukannya, menunjukkan fokus pada pengembangan karakter dan kemampuan berpikir dalam praktik seni
Anggota Indonesia Art Movement telah secara signifikan meningkatkan keterampilan mereka di beberapa bidang penting, termasuk fotografi dan videografi, desain grafis, serta manajemen dan jaringan. Fotografi dan videografi telah menjadi salah satu keterampilan utama yang dikuasai oleh anggota, sehingga memungkinkan mereka untuk menangkap dan mengedit gambar serta video dengan kualitas tinggi. Keterampilan ini sangat penting dalam dokumentasi kegiatan seni dan pembuatan konten kreatif yang dapat dipublikasikan melalui berbagai platform digital, seperti pada beberapa karya-karya Indonesia Art Movement, webseries, film dokumenter, pertunjukan dan lainnya. Dalam era di mana visualisasi konten menjadi kunci keberhasilan promosi, kemampuan untuk menciptakan narasi visual yang kuat memberikan anggota keunggulan dalam menampilkan karya seni mereka kepada publik yang lebih luas.
Desain grafis juga merupakan keterampilan yang banyak dikembangkan oleh anggota, di mana mereka belajar untuk menciptakan materi visual yang menarik seperti poster, logo, dan elemen desain lainnya. Keterampilan ini memainkan peran krusial dalam upaya branding dan pemasaran karya seni, dan memungkinkan anggota untuk membangun identitas visual yang khas dan konsisten. Dengan kemampuan desain grafis, anggota dapat lebih efektif mengkomunikasikan pesan artistik mereka, membuat karya seni mereka tidak hanya menarik secara estetis tetapi juga lebih mudah dikenali dan diingat oleh publik.
Selain keterampilan teknis, anggota Indonesia Art Movement juga telah memperkuat kemampuan mereka dalam manajemen dan jaringan. Kemampuan ini sangat penting dalam menjalankan dan mengelola proyek-proyek seni, baik dalam skala kecil maupun besar. Melalui keterampilan manajemen, anggota belajar bagaimana merencanakan, mengorganisir, dan melaksanakan acara seni dengan sukses, sementara kemampuan jaringan memungkinkan mereka untuk berkolaborasi dengan seniman lain dan membangun hubungan yang bermanfaat dengan pihak eksternal, seperti sponsor, galeri, dan institusi seni lainnya. Keterampilan ini tidak hanya memperkuat posisi mereka dalam kolektif seni tetapi juga membuka peluang baru untuk pertumbuhan dan kolaborasi yang lebih luas.
Dengan menguasai keterampilan-keterampilan ini, anggota Indonesia Art Movement menjadi lebih siap untuk berpartisipasi secara aktif dalam pengembangan seni dan budaya. Mereka tidak hanya mampu menghasilkan karya seni tetapi juga memiliki kapasitas untuk mengelola proyek-proyek seni. Pada akhirnya, keterampilan-keterampilan ini membekali anggota dengan alat yang diperlukan untuk terus berinovasi dan berkontribusi terhadap kemajuan seni di tingkat lokal, nasional, maupun global.
Referensi
Amarta, M., Lestari, A., Cahyani, I., & Mustafiyanti, M. (2023). Peranan Dan Fungsi kurikulum secara umum dan khusus. ALFIHRIS : Jurnal Inspirasi Pendidikan, 2(1), 82–89. https://doi.org/10.59246/alfihris.v2i1.637
Gembul, G. (2024). – GURU GEMBUL DIDATANGI OPM. PENDIDIKAN DI PAPUA TIDAK SEPERTI DI JAKARTA? bersama pace sunda. Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=PTTx6cJuZHI
Maclellan, N. (2024). OBITUARY: Arnold Clemens Ap: His West Papuan legacy lives on. Pacific Journalism Review : Te Koakoa, 30(1and2), 246–250. https://doi.org/10.24135/pjr.v30i1and2.1350
Majid, N. (1997). Bilik-bilik pesantren: Sebuah potret perjalanan. Dian Rakyat.
Murda, I. (2017, March 20). HANCURNYA HUTAN PEREMPUAN DI TELUK YOUTEFA. Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=zPpCNvQRU4U
Renaldi, E., & Souisa, H. (2023, August 28). Indonesia Timur Lahirkan Bakat dan Budaya Hip Hop yang Semakin Digemari. ABC News. Retrieved from https://www.abc.net.au/indonesian/2023-08-13/indonesia-timur-lahirkan-bakat-dan-budaya-hip-hop-yang-digemari/102720158
Suharto, T. S. (2012). Pendidikan Berbasis Masyarakat ; Relasi Negara dan Masyarakat dalam Pendidikan. LKIS PELANGI AKSARA.
Sukmana, O. (2016). Konsep dan teori gerakan sosial. Malang: Intrans Publishing.
Suryawan, I. N. (2022). Hidup papua suatu misteri. Yogyakarta: BASABASI.
Topatimasang, R. (1998). Sekolah itu candu. Sleman: INSISTPress.
Ziemek, M. (1986). Pesantren dalam perubahan sosial. Jakarta: Perhimpunan Pengembang Pesantren dan Masyarakat.
Indonesia Art Movement (IAM) adalah sebuah perkumpulan yang dibentuk pada 8 April 2016 di Jayapura, Papua. IAM menyatukan seniman dan praktisi seni budaya dari berbagai disiplin ilmu, dengan misi untuk mendorong pertumbuhan seni urban dan industri berbasis budaya di Jayapura. Kelompok ini aktif dalam memperkaya ekosistem seni di Papua melalui festival seni, lokakarya, produksi film dokumenter, dan inisiatif seni kreatif lainnya. IAM berupaya menciptakan inspirasi dan kolaborasi demi kemajuan seni di wilayah tersebut.
© 2024 Ekstrakurikulab | Serrum – Perkumpulan Studi Seni Rupa dan Pendidikan
Serrum merupakan perkumpulan studi seni rupa dan pendidikan di Jakarta yang didirikan pada 2006. Kata Serrum berasal dari kata share dan room yang berarti “ruang berbagi.” Serrum berfokus pada isu pendidikan, sosial-politik dan perkotaan dengan pendekatan presentasi yang edukatif dan artistik. Kegiatan Serrum meliputi proyek seni, pameran, lokakarya, diskusi dan propaganda kreatif. Medium karya yang Serrum gunakan meliputi video, mural, grafis, komik dan seni instalasi.