“Terima kasih jalan berlubang
Karena kamu
Kami duduk dempet
Terima kasih jalan berlubang
Karena kamu
Kami bisa kenalan”
Lagu Jalan Berlubang karya musisi Maumere, J.E Papache
“Lihatlah, kak, betapa hebatnya orang kita ini. Jalan berlubang saja disyukuri, hahaha” gurau salah satu anggota KAHE. Penggalan lirik lagu pesta berjudul Jalan Berlubang di atas rasa-rasanya bisa menjadi kiasan pembuka, akan strategi dan semangat kolektif dari praktik-praktik edukasi Komunitas KAHE dari Maumere.
Komunitas KAHE menggunakan istilah “artistic encounter” (perjumpaan artistik) untuk menamai kerja-kerjanya. Penggunaan istilah tersebut alih-alih “NGO”, “community/creative hub”, “sanggar”, atau “co-working space” mengindikasikan spektrum luas akan praktik-praktik kebudayaan yang mereka lakukan sejak 2015. Mereka mempraktikkan seni sebagai cara untuk berdialog akan apa yang terjadi sekitar. Kerja-kerja mereka meliputi: event organizer lomba karaoke di tingkat RT/RW untuk pemulihan suasana warga pasca pemilu, klub baca, konser musik, kursus Bahasa Inggris, layar tancap, lokakarya audiovisual, media daring, sekolah teater, penerbitan, radio daring, hingga seniman biennale kontemporer. Keragaman ini menjadi manuver cerdik dalam menghadapi “jalan berlubang” di ekosistem seni mereka. KAHE mengisi ceruk-ceruk yang menjadi biang ketidakmerataan akses terhadap infrastruktur kreasi, edukasi, dan apresiasi kebudayaan di Maumere.
Salah satu bingkai kerja yang bisa kita gunakan untuk memahami KAHE adalah melihatnya sebagai sebuah ‘sekolah’. KAHE sebagai sekolah menyediakan ruang belajar untuk bertaktik – menjawab secara kreatif tantangan atau “jalan-jalan berlubang” dalam konteks personal dan lokal mereka. Ketika tupoksi (tugas pokok dan fungsi) infrastruktur pengetahuan yang lebih besar hanya menangani “jalan-jalan utama yang berlubang”, Komunitas KAHE melihat dan menangani “jalan-jalan pinggiran yang juga berlubang”, yang mungkin luput atau belum bisa pinggirdigapai oleh birokrasi institusi yang lebih mapan.
“Jalan-jalan pinggiran yang juga berlubang” ini di antaranya adalah isu kerentanan ekonomi sebagai pekerja budaya, marjinalisasi kelompok masyarakat tertentu, kontestasi politik lokal, pembacaan ulang publik pasca pandemi, serta pencarian identitas di antara tradisi dan modernitas. KAHE menerjemahkan proses pemecahan masalah akan isu-isu tersebut sebagai sebuah program pertukaran pengetahuan, baik itu dalam bentuk klub baca ataupun acara karaoke yang melibatkan penikmat moke setempat. Dengan belajar bersama-sama, mereka membangun kesadaran bersama dan kecerdasan kolektif (hive mind) bagi anak-anak muda di Maumere.
Realita di Maumere dengan segala “jalan berlubangnya”’ adalah ‘kurikulum’ bagi Komunitas KAHE. Kurikulum tersebut bukanlah hal yang mudah dan tidak mungkin bisa diselesaikan dalam sekian semester sebagaimana sekolah formal. Namun, karena “jalan berlubang” inilah, mereka bisa duduk berdekatan, berkenalan, dan membuat Maumere tersohor dari kerja-kerja intelektual mereka.
Maumere dalam statistik
Komunitas KAHE berlokasi di Jalan Nasional Maumere – Larantuka, hanya berjarak 1 menit berjalan kaki ke garis pantai yang menghadap Laut Flores. Keseharian disana dapat digambarkan oleh penggalan lirik lagu berikut:
“Ikan Nae Di Pante (Asek)
Mama Mama Dong Turun Beli Ikan Di Pante
Lihat Ko Minum Moke Dong Buat Rumpu Rampe
Kurang Nikmat Apa Kita Hidup Di NTT”
Lagu “Ikan Nae Di Pante” oleh Alfred Gare ft. PAX Group, Romi Keo, 2024
Fenomena ikan naik ke pantai di Maumere. Sumber: tangkapan layar dari video kiriman dari Eka Putra Nggalu, 7 Mei 2024
Rumpu Rampe, ikan bakar, dan ikan kuah kuning, dalam santapan di sebuah restoran dekat Komunitas KAHE.
Suasana di depan KAHE.
Rekreasi mingguan oleh anggota KAHE untuk berendam di pantai.
Maumere berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Sikka, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dengan jumlah penduduk 335.360 jiwa, ia merupakan kota kedua terbesar di NTT setelah Kupang.
Mereka yang berangkat atau mengunjungi KAHE akan menghadapi “jalan berlubang” pertama, yakni akses transportasi dalam lingkup nasional dan internasional. Dari Jakarta atau Cengkareng misalnya, sedikit sekali pesawat yang memiliki rute langsung ke bandara Frans Seda di Maumere, begitupun sebaliknya. Biasanya, rute penerbangan ini akan melakukan transit di Kupang atau Labuan Bajo yang lantas mengakibatkan mahalnya harga tiket. Tidak hanya itu, secara geografis pun Maumere berada di wilayah rentan. Berada dekat dengan Gunung Lewotobi di Larantuka, aktivitas vulkanik gunung ini pun bisa membuat Bandara Frans Seda Maumere tutup berhari-hari dan membatalkan penerbangan yang sudah dijadwalkan sebelumnya.
Persoalan rute yang berlapis-lapis ini pun kemudian berdampak pada akses infrastruktur teknologi. Sudah menjadi candaan lokal, ketika mereka membeli perangkat multimedia (misalnya kamera atau proyektor) lewat e-commerce platform, mereka akan bergurau bahwa “barang sudah sa (saya) beli, tapi masih di Surabaya”. Apabila mereka bekerja dengan pemangku kepentingan dari Jakarta yang memiliki standar biaya masukan (SBM) tertentu untuk menyewa sebuah barang elektronik, SBM ini seringkali tidak sesuai dengan harga pasaran di Maumere. Modal transportasi yang dikeluarkan untuk mendistribusikan perangkat teknologi tersebut dari pulau Jawa bisa membuat harga naik berkali-kali lipat. Maka dari itu, persoalan akses, baik transportasi dan teknologi, juga terkait dengan faktor ekonomi di Maumere.
Eka Putra Nggalu, salah satu pendiri Komunitas KAHE (yang akan banyak penulis kutip di tulisan ini) memiliki visi untuk bisa membangun ekosistem sekitarnya. KAHE dengan sadar memilih untuk tidak mempunyai terlalu banyak peralatan multimedia secara mandiri, agar bisa membagikan kesempatan dan sumber daya mereka ke ekosistemnya. Pada saat acara-acara besar, mereka menyewa peralatan ini dari kerabat dan vendor lokal lainnya. Peralatan ini misalnya sound system, lampu sorot, panggung, dan kabel-kabel audiovisual untuk pertunjukan. Dari kesadaran ini, KAHE menciptakan manajemen rantai pasokan (supply chain management) antara komunitas dan vendor lokal, sebagai cara untuk turut menggerakkan ekonomi setempat, apalagi dengan proyek-proyek seni yang mengandalkan sistem gig economy atau ekonomi serabutan.
Terdapat 11,89% dari total penduduk Sikka yang tergolong kurang mampu menurut oleh Badan Pusat Statistik per 2024. Apabila kita bandingkan kota atau kabupaten komunitas lain dalam buku ini, persentase penduduk miskin di Sikka lebih besar daripada yang lainnya.
Berikut komparasi persentase penduduk miskin dari yang terendah hingga yang tertinggi dan selisihnya dengan Sikka :
No. | Kota/Kabupaten | Persentase penduduk miskin | Selisihnya dengan Sikka (11,89%) | Konteks Komparasi |
1. | Balikpapan dan Badung, Bali | 2,23% | 9,66% | Memiliki persentase penduduk miskin terendah dalam skala nasional |
2. | Jakarta Selatan | 3,0% | 8.89% | Kota yang sering menjadi sirkuit seni budaya di Indonesia |
3. | Berau | 5.08% | 6.81% | Wilayah yang menjadi lokus kolektif seni dalam Riset Ekstrakurikulab, Tepian Kolektif |
4. | Palu | 5.94% | 5.95% | Wilayah yang menjadi lokus kolektif seni dalam Riset Ekstrakurikulab, Forum Sudut Pandang |
5. | Bandung | 6,19% | 5.7% | Kota yang sering menjadi sirkuit seni budaya di Indonesia |
6. | Yogyakarta | 6,26% | 5.63% | Kota yang sering menjadi sirkuit seni budaya di Indonesia |
7. | Jember | 9,01% | 2.88% | Wilayah yang menjadi lokus kolektif seni dalam Riset Ekstrakurikulab, Sudut Kalisat |
8. | Jatiwangi Art Factory | 10,82% | 1.07% | Wilayah yang menjadi lokus kolektif seni dalam Riset Ekstrakurikulab, Majalengka |
9. | Indonesia Art Movement | 11,60% | 0.29% | Wilayah yang menjadi lokus kolektif seni dalam Riset Ekstrakurikulab, Jayapura |
10. | Sikka | 11,89% | – | Komunitas KAHE |
11. | Intan Jaya, Papua Tengah | 41,42% | -29.53% | Wilayah dengan persentase penduduk miskin tertinggi dalam skala nasional |
Adapun status pekerjaan terbanyak di Kabupaten Sikka, adalah:
Terdapat 11,89% dari total penduduk Sikka yang tergolong kurang mampu menurut oleh Badan Pusat Statistik per 2024. Apabila kita bandingkan kota atau kabupaten komunitas lain dalam buku ini, persentase penduduk miskin di Sikka lebih besar daripada yang lainnya.
Data-data statistik di atas ini mendukung pendapat Eka, bahwa salah satu tantangan utama mereka di KAHE adalah ruang kontestasi ekonomi yang sempit. Tidak seperti kota-kota besar lainnya seperti Palu, Jakarta, Bandung atau Yogyakarta, yang memiliki BUMD, BUMN dan perusahaan swasta lebih banyak dari Maumere. Banyak orang harus mencari ke luar kota untuk mendapat penghidupan. Kemapanan di konteks setempat lebih cenderung digapai dengan menjadi namun dengan menjadi ASN, bukan sebagai wirausahawan, yang harus mengandalkan buruh tidak tetap dan tak dibayar seperti data statistik ketenagakerjaan di atas.
Persentase Dimensi Ekonomi Budaya dalam Indeks Pemajuan Kebudayaan di NTT per 2022. Sumber: https://ipk.kemdikbud.go.id/provinsi/53
Ketimpangan ini tidak hanya diamati oleh anggota KAHE, namun muncul pada grafik Indeks Pemajuan Kebudayaan yang diterbitkan oleh Kemdikbudristek RI. Indeks ini meliputi dimensi Ekonomi Budaya, yang menghitung berapa persen pelaku dan pendukung pertunjukan seni yang bisa memiliki penghasilan dari keterlibatannya. Di NTT, provinsi di mana KAHE berada, persentase ini hanya 0.27% per 2022, dan diproyeksikan menurun menjadi 0,6% pada 2024. Dalam visualisasi data, kita bisa melihat asimetri atau ketidakseimbangan ini, yang diakibatkan rendahnya titik Ekonomi Budaya dibanding aspek lain
Indeks Pemajuan Kebudayaan di NTT, provinsi di mana KAHE berada, per 2022. Sumber: https://ipk.kemdikbud.go.id/provinsi/53
Kendati dimensi Ekonomi Budaya sangatlah rendah, aspek yang justru jauh lebih tinggi adalah Pendidikan, Ketahanan Sosial Budaya (Nilai Toleransi Keberagaman), dan Budaya Literasi dalam Indeks Pemajuan Kebudayaan di NTT. Salah satu faktor dari pencapaian ini adalah keberadaan infrastruktur pengetahuan yang dibentuk di NTT, salah satunya di Maumere.
Infrakstruktur Pengetahuan di Maumere dan Peran KAHE
Eka Putra Ngalu, salah satu pendiri Komunitas KAHE
Berdasarkan sebuah anekdot yang disampaikan Eka, ketika orang-orang Eropa pada masa kolonialisme datang ke pulau Flores untuk mencari sumber daya alam, mereka melihat bahwa “Maumere tidak punya apa-apa, makanya mereka bikin sekolah di sini”. Sekolah yang dimaksud adalah Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero yang didirikan pada 1937.
Sekolah ini dibangun oleh Societas Verbi Divini (SVD) atau Serikat Sabda Allah, sebuah kongregasi misionaris Katolik yang bermula di Belanda pada 1875. SVD memiliki banyak peran dalam pembangunan Maumere, seperti mendirikan rumah sakit, sekolah, penerbitan, dan infrastruktur pengetahuan lainnya di NTT.
Ledalero di Maumere merupakan seminari tinggi terbesar SVD sejagad dan salah satu seminari tinggi terbesar dalam Gereja Katolik di dunia. Hingga 2023, terdapat dua orang dosen dari Eropa di kampus ini, yakni Pater Dr. Georg Kirchberger, SVD dari Jerman dan Pater Dr. John Mansford Prior, SVD dari Inggris yang telah mengajar sejak tahun 1970-an. Alumnus dari sekolah ini, Mgr. Dr. Paulus Budi Kleden, SVD, kini menjadi pemimpin tertinggi SVD sedunia. Sekolah ini pun juga menjadi tempat di mana Eka, Kartika Solapung, dan Mario Nuwa, serta anggota KAHE lainnya, serta peserta program-program publik KAHE belajar secara formal.
Dulunya bernama Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, pada 2022 menjadi Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero (beberapa alumni dan mahasiswa Ledalero yang penulis temui dalam riset bergurau bagaimana K pada akronim kampus berubah dari “Katolik” menjadi “Kreatif”). Sebelumnya, ada tiga program studi yang dibuka: S1 Filsafat, S1 Pendidikan Keagamaan Katolik, dan S2 Teologi, sebagaimana rancangannya sebagai tempat studi untuk calon imam Katolik. Sejak menjadi IFTK, mereka menambah dua jurusan baru, S1 Kewirausahaan dan S1 Desain Komunikasi Visual. Menurut penuturan dari Pater Ve Nahak, SVD, salah seorang dosen Ledalero yang diwawancarai untuk riset ini, perubahan ini merupakan usaha untuk menjawab tantangan zaman dan konteks lokal, salah satunya mengenai ketimpangan ekonomi yang terjadi di NTT, agar mereka bisa mendorong generasi baru yang bisa mengembangkan kewirausahaan di kotanya sendiri.
Foto bertemu Pater Ve Nahak
Hadirnya seminari tinggi terbesar SVD sejagad ini sejak 80 tahun lebih ini lantas terkait dengan demografi di Maumere yang 86,13% beragama Kristen Katolik. Sebagaimana yang diilustrasikan pada peta Google Maps ini, ada begitu banyak gereja yang tersebar di seluruh kota. Sebagian besar anggota KAHE juga menempuh pendidikan awal di biara, seperti Biara Karmel dan Biara Projo.
“Kita ini dibentuk dari autobiografi Yesus” ujar Eka, dalam salah satu sesi Sekolah Dasar KAHE (SDK): Memory Studies yang sempat diikuti penulis dalam periode riset. Pernyataan ini pun mengindikasikan bagaimana tradisi akademis dari ilmu filsafat dan teologi dari gereja Katolok mempengaruhi budaya intelektual modern yang dibangun di Maumere dan juga KAHE. Hal ini pun dikuatkan oleh pernyataan Eka berikutnya, bahwa “60% buku di sini (Maumere) pengantarnya oleh Pastor”.
Perspektif teologis dan filsafat ini menciptakan iklim yang mendukung diskusi kritis atau “berat” dalam ruang-ruang keseharian anak muda di sana. Anak-anak muda dilatih untuk mengartikulasikan pemikirannya di hadapan publik, mengingat Ledalero didesain sebagai sekolah untuk calon imam.
Sebagai contoh, salah satu peserta muda SDK: Memory Studies memiliki keberanian dan keasertifan untuk berterus terang akan kesulitan yang dialaminya untuk memahami materi di hadapan semua orang di forum. Ia berkata (secara parafrase) bahwa meskipun bobot diskusi begitu berat“ namun ini menantang saya untuk menelaah lebih jauh mengenai materi ini”. Peristiwa ini menjadi temuan menarik, karena ia tidak memilih diam hingga sesi berakhir atau tidak menyimpan refleksinya untuk diutarakan secara informal di luar waktu sesi tersebut.
Di sisi lain, Soemantri Gelar, tim riset Ekstrakurikulab, menyoroti bahwa di Maumere tidak ada kultur “uang duduk” yang terkadang dibentuk oleh Lembaga Swadaya Masyarakat atau pemerintahan di wilayah-wilayah lain. Kultur ini membentuk ekspektasi publik bahwa menghadiri acara di tingkat komunitas berarti akan diberikan uang saku. Di Maumere, terutama di KAHE, masih ada animo publik untuk mengikuti kelas-kelas dengan tujuan ini belajar dan berjejaring.
Pengajaran di biara Katolik juga menumbuhkan kultur disiplin sejak mereka menginjak usia remaja. Kedisiplinan ini nantinya bisa terlacak pada praktik-praktik pengorganisasian di KAHE. Pengorganisasian seni budaya bisa dibilang sangatlah ritualistik, karena menyoal kerja-kerja manajerial yang tak tampak dengan tujuan yang ‘mulia’. Kerja-kerja ini seperti menjamu dan merawat jejaring (hospitality), menumbuhkan rasa saling percaya antar anggota, serta kecakapan untuk mengorkestrasi linimasa dan energi tim kerja dalam program. Kedisiplinan ini tercermin dari banyaknya program-program publik KAHE dengan frekuensinya berkala, seperti Sekolah Dasar KAHE yang berlangsung selama enam bulan dan Radio after7pm yang melakukan siaran setiap hari setelah jam 19.00.
Selain itu, pengalaman kolektivisme dengan tinggal bersama, memberikan kefamiliaran untuk menavigasi dan berbagi ranah publik-privat dalam ruang komunitas mereka nantinya.
Perpustakaan di Komunitas KAHE. Ilustrasi oleh RM Herwibowo
Para anggota KAHE juga terbiasa untuk membaca buku sejak remaja, karena dihadapkan pada keterbatasan akses internet/TV dari peraturan biara. Umumnya, mereka diberikan daftar bacaan wajib selama di biara. Misalnya, mereka diberikan 5 judul buku wajib per bulan yang terdiri dari 3 buku fiksi dan 2 buku ilmiah. Buku-buku ini diantaranya mengenai filsafat dari filsuf-filsuf Eropa seperti Immanuel Kant, Jürgen Habermas, dan kajian teologis seperti Allah Menggugat Sebuah Dogmatik Kristiani dari Pater Georg Kirchberger. Selain membaca, anak-anak di biara juga harus menulis 1 halaman per hari yang nantinya akan dibaca dan diulas oleh pastor.
Tradisi ini kemudian membangun budaya literasi yang kuat di KAHE, yang banyak berfokus pada bacaan dan pembacaan bersifat kontemporer dan di luar kanon utama. Hal ini tertuang dalam kebiasaan untuk menyunting tulisan anggota hingga mencapai tujuan kepenulisan yang dimaksud. Beberapa anggota juga memiliki pengalaman di media massa, baik sebagai editor ataupun jurnalis. Salah satu buah hasil dari ini adalah pembentukan media laune.id, yang berarti menulis dari pinggir.
Terdapat sebuah praktik bernama Lectio Divina atau Pembacaan Kudus, yakni pembacaan kitab secara khusyuk dengan empat tahapan: Lectio (Membaca), Meditatio (Meditasi), Oratio (Mengucapkan), dan Contemplatio (Merenungkan.) Dalam Oratio, pembaca akan membagikan refleksi mereka kepada pembaca lainnya. Metode inipun nantinya terbawa untuk diadaptasikan dalam konteks Klub Baca KAHE dan SDK: Memory Studies.
Tradisi di atas selaras dengan temuan nilai Dimensi Budaya Literasi pada Indeks Pemajuan Kebudayaan di NTT pada 2022, di mana 53,18% dari maksimal 70%, penduduk usia 10 tahun ke atas telah membaca selain kitab suci baik cetak maupun elektronik dalam seminggu terakhir dari survey tersebut dilakukan.
Sumber: https://ipk.kemdikbud.go.id/provinsi/53
Penting untuk dicatat, bahwa NTT pernah dinobatkan sebagai provinsi yang paling toleran oleh Kementerian Agama RI. Maumere juga merupakan kota pertama di Indonesia yang memiliki transpuan pejabat publik pertama di Indonesia, Bunda Hendrika Mayora, yang dipilih secara langsung lewat pemilihan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Budaya toleran ini bisa merujuk pada kurikulum di Ledalero, yang juga mempelajari kajian Islam, Buddha, Hindu dan agama lainnya.
Indeks Ketahanan Sosial Budaya di NTT per 2022 yang menunjukkan nilai toleransi terhadap keberagaman yang tinggi. Sumber: https://ipk.kemdikbud.go.id/provinsi/53
Dalam wawancara dengan dosen Ledalero, Pater Ve Nahak, ia menjelaskan pendidikan di Ledalero mengacu pada Teologi Kontekstual atau Pembebasan, yang awalnya berkembang di Amerika Latin. Dalam penjelasannya, teologi adalah ilmu menkaji dan mendefinisikan Tuhan lewat pengalaman dan fenomena. “Tapi, kita tidak (bisa) melihat Tuhan” ujar Pater Ve. Lewat pengalaman dan realitas “penderita”, baik dari diri sendiri maupun orang lain, kita bisa mencoba untuk mengenal Tuhan, lanjutnya.
Dorongan untuk mengenal pengalaman dan realitas “penderita” pun diterapkan pada metode-metode pengajaran di kampus. Misalnya, dalam kelas Filsafat HAM yang diajarkan Pater Dr. Otto Gusti Madung, SVD, ia memperbolehkan mahasiswanya untuk lulus tanpa ujian apabila mereka telah ikut demonstrasi massa sebanyak 3 kali.
Beberapa dosen juga banyak melakukan riset-riset provokatif, seperti kajian mengenai kerasukan hingga wawancara dengan arwah.
Dalam artian lain, Teologi Pembebasan yang menjadi dasar kurikulum Ledalero ini membuat mahasiswa dan akademisinya familiar pada kerja-kerja aktivisme untuk membela kaum terpinggirkan. Hal ini menjadi ‘DNA’ baik yang juga dibawa pada praktik-praktik alumni Ledalero yang kini menggerakkan KAHE.
Salah satu contoh adalah pendirian Perwakas (Persatuan Waria Kabupaten Sikka), yang dilakukan oleh salah satu mantan mahasiswa Ledalero, Lambertus Dore Purek bersama waria di Kampung Wuring, di antaranya Dewi, Lis, Haji Mona, Lastri, pada 1998.
Perwakas juga menjadi kolaborator KAHE dalam berbagai proyek, penerbitan dan lokakarya. Salah satunya adalah proyek Raising The Rainbow Stories from Maumere, yang melibatkan Perwakas dan BEM IFTK Ledalero. Menurut Haji Mona, ketua Perwakas saat ini, proyek-proyek kebudayaan ini membantu untuk memecahkan ‘sekat-sekat’ sosial yang ada dari berbagai kalangan di Maumere ini.
Tokoh-tokoh SVD di Maumere juga turut berperan mendukung ekosistem kebudayaan di Maumere. Salah satunya, dukungan dari Pater Georg Kirchberger, SVD atau Pater Kirch untuk membentuk Sonia FM, radio lokal di Maumere. Anak-anak muda yang bergabung dalam Sonia FM kemudian juga menjadi cikal bakal penggagas dari Komunitas KAHE.
Kedai Kanga Frans Seda, tempat awal di mana Sonia FM berada dan berkumpulnya calon pendiri Komunitas KAHE.
Selain Ledalero, di Maumere juga terdapat perguruan tinggi lain, yakni Universitas Nusa Nipa, Universitas Muhammadiyah Maumere (yang juga menerima mahasiswa Kristen), dan yang baru, Akademika Farmasi Santo Fransisku Xaverius.
Namun, hanya 6,24% penduduk yang telah mengenyam pendidikan S1 di Sikka. Mayoritas merupakan lulusan SMA. Beberapa di antaranya juga menempuh pendidikan S1 di luar pulau Flores, seperti beberapa anggota KAHE yang menempuh pendidikan di Malang, Surabaya dan Bali.
Anggota-anggota KAHE sendiri pun mengaku banyak belajar dari komunitas lainnya. Eka menyebut Teater Garasi di Yogyakarta dan Perwakas di Kampung Wuring sebagai inspirasi dalam pengelolaan dan pengembangan komunitas mereka. Maka dari itu, selain sekolah-sekolah formal, fungsi edukasi untuk saling menginspirasi dengan pengetahuan banyak dilakukan di tingkat komunitas.
Persentase jenjang pendidikan di penduduk Kabupaten Sikka per akhir 2023. Sumber: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2024/06/24/6608-ribu-penduduk-sikka-lulusan-sma-pada-akhir-2023
Menurut Pater Ve selaku dosen di Ledalero ataupun peserta program publik Sekolah Dasar KAHE yang penulis jumpai, Komunitas KAHE diakui telah mengisi kekosongan rantai distribusi pengetahuan yang putus ataupun tidak gapai oleh infrakstruktur pengetahuan besar yang ada di Maumere.
Hal ini pun juga muncul dari celetukan-celetukan warga di sekitar KAHE. Salah seorang orang tua di lingkungan di mana KAHE berada, sempat mengenalkan anaknya yang masih belia kepada tim riset Ekstrakurikulab bahwa dengan “dia (menunjuk ke anaknya) bakal belajar di KAHE nih”.
Putar Ke Kanan’e dan Ke Kiri’e: Manuver Kebudayaan ala Komunitas KAHE dari Maumere
“Anak muda harus menempuh sekolah formal, melamar kerja, umumnya jadi PNS supaya masa tua mereka terjamin, dan mengabdi pada birokrasi atau perusahaan. Jalan ini seolah-olah menjadi satu-satunya jalan. Tak ada alternatif.
Kondisi ini bisa jadi beralasan. Di tingkat lokal, infrastruktur ekonomi kita tidak mendukung anak muda untuk bermimpi menjadi pesepakbola profesional, sutradara film, aktor pertunjukan, komposer musik, pengembang aplikasi, kurator, peneliti etnografi, atau pengusaha event organizer. Anak muda dengan pekerjaan yang ‘aneh-aneh’ seperti di atas hanya bisa hidup di luar Maumere.
Saya dan teman-teman di Komunitas KAHE, yang memilih hidup dengan mengorganisasi komunitas sebagai seniman/penggiat budaya merasakan kerentanan ini. Jika tidak menghidupi kultur DIY (do it yourself), membangun ekosistem dan ‘pasar’ untuk hal-hal yang sedang kami kerjakan, membangun jalan tikus dengan meretas modal-modal yang ada di sekeliling kami, tentu kami tidak akan bisa bertahan sampai sekarang. “
Eka Putra Nggalu, Seberapa Besar Komitmen Pemerintah Daerah pada Investasi Budaya? di Ekorantt.Com.
Komunitas KAHE didirikan sejak 2015. Awalnya, mereka merupakan generasi milenial Maumere yang terjaring dalam grup Facebook sastra di Maumere dan aktif di Sonia FM. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam diagram batang di bawah, munculnya Komunitas KAHE juga merupakan bagian dari puncak gelora kolektif seni di Indonesia di 2015 yang dibawa oleh generasi milenial Indonesia, utamanya anak muda di luar Jakarta-Jogja-Bandung.
Jumlah kemunculan kolektif per tahun di Indonesia, yang menunjukkan jumlah tertinggi berada di 2015. Sumber: Riset FIXER 2021 oleh Gudskul
KAHE memiliki arti sebagai seruan (seperti Horas dalam bahasa Batak), yang dicetuskan oleh Rizal, salah satu pendiri KAHE. Momen pendirian ini terbentuk ketika mereka semua melakukan kopi darat di Patung Teka Iku, sebuah landmark penting di pusat kota Maumere. Ikon kota ini mengenang tokoh pahlawan Teka Iku, yang berjasa dalam perlawanan terhadap kolonialisme dan menyatukan berbagai kampung di Sikka. Dengan makna ini, KAHE diniatkan sebagai ruang ekspresi anak muda yang sekuler dan inklusif, di tengah tegangan tradisi dan modernitas ala Eropa yang ada di berbagai infrastruktur pengetahuan di sana.
KAHE telah mengalami tiga kali pindah tempat. Pertama berada di Sonia FM bersama dengan Maumere TV. Kedua di rumah salah satu kerabat, dan terakhir di area Jalan Nasional Larantuka Maumere.
Komunitas ini kini memiliki fasilitas dan alat yang mencerminkan aktivitas komunitas mereka. Fasilitas ini meliputi area BBQ (mereka sering memanggang ikan), area parkir, beragam bangku dan kursi, dapur, kamar tidur yang menjadi tempat tinggal anggota, dua kamar residensi, perpustakaan, proyektor, panggung modular 8 x 6 meter dibagi 4 (yang mana merupakan sisa dari acara kenegaraan di Ende), ruang kantor, ruang tengah multifungsi, sound system standar, dan baru-baru ini, studio siaran untuk radio.
Keanggotaan KAHE terdiri dari tiga lingkaran besar, yakni lingkaran Manajemen, Kolektif-Inisiatif dan Komunitas.
Pertama, lingkaran ‘Manajemen adalah tujuh orang yang mengelola rumah tangga KAHE secara harian yakni: Eka ‘Dede Aton’ Putra Nggalu (Direktur), Mario Nuwa (Manager Program), Kartika Solapung (Managemen Finansial), Aldo Fernandez (Manager Produksi dan Workshop) Julia Aron (Administrator Umum), Karlin Karmadina (Media dan Jaringan), dan Bernard Lazar (Dokumentasi dan Pengarsipan).
Lingkaran ‘Kolektif-Inisiatfif’ berisi teman-teman yang terlibat sebagai inisiator atau fasilitator proyek-proyek yang ada di KAHE. Komitmen mereka pun disesuaikan dengan waktu dan energi yang bisa diberikan. Saat ini, lingkaran ini terdiri dari 15 orang, yang juga termasuk tim rumah tangga, yakni Bianca da Silva, Dixxie Vuturama, Qikan Nong Goa, Marcel Jansen (Om Jupe), Bayu Arieston, Adang Adrian, Jane, Abang, Ricko W.
Lingkaran terakhir adalah siapapun yang sering ‘nongkrong’ dan berinteraksi dengan KAHE di platform-platform terbukanya. Lingkaran ini juga disebut secara informal sebagai ‘Penumpang Dasar’ atau PEDAS yang bahkan juga memiliki tim futsal sendiri.
Anggota-anggota ini memiliki berbagai keterampilan dan kepakaran, di antaranya: broadcasting/penyiaran, film, fotografi, hukum, kuratorial, jurnalisme, memasak, musik (beberapa anggota merupakan crew dan produser hip-hop tersohor dari Maumere, yakni Cru Father Said), pustakawan, penulisan naskah dan produksi teater, riset antropologis/sosiologis, seni rupa, hingga tata lampu dan suara.
“Saya itu belajar di KAHE, ambil ijazahnya di kampus” kenang Karlin Karmadina, yang kini menjadi pengurus harian di KAHE. Begitupun yang dirasakan Jansen, mahasiswa Ledalero yang tengah mengikuti program SDK: Memory Studies, “Saya mendapat sesuatu yang tidak ada di kampus”
Domi, salah satu anggota KAHE termuda, menceritakan pengalamannya bersama teman-temannya di biara untuk bersiasat mengikuti acara KAHE. Mereka berusaha melobi pengemudi mobil yang lewat di depan jalan biara mereka untuk mengantar mereka ke tempat lokakarya dari Komunitas KAHE yang berjarak lumayan jauh di tengah kota.
Regenerasi keanggotaan komunitas muncul lewat pelibatan orang baru dalam program-program publik. Program ini meliputi yang sifatnya berkala ataupun proyek. Dari tanggapan-tanggapan atas, anak-anak muda Maumere ini memilih untuk bergabung dengan tujuan untuk mencari suaka pengetahuan di luar apa yang telah mereka dapati secara formal.
Bagaimana anggota KAHE memaknai pengetahuan? Dalam satu sesi SDK: Memory Studies, peserta yang hadir mengamini pendapat yang diutarakan oleh Bernard Lazar. “Sederhananya ada dua pengetahuan. Pengetahuan untuk cari duit dan pengetahuan cari nilai (kehidupan)”.
Pilihan untuk membuat program edukasi menjadi berbayar maupun gratis menjadi bagian dari strategi pedagogis. Program kelas yang berbayar dirancang untuk menciptakan komitmen, di mana uang sebagai alat pedagogis bagi peserta. Komitmen ini dibutuhkan untuk mengasah dasar-dasar ilmu/keterampilan artistik profesional yang dibutuhkan dicerna secara bertahap dan waktu lama, seperti misalnya fotografi dan videografi.
Pada konteks pedagogis yang berbeda, SDK dibuat gratis untuk mengenalkan wacana dan metode baru kepada masyarakat Maumere: misalnya SDK Memory Studies – sebagai usaha mencari cara untuk menggali pengetahuan tradisi dan tacit (pengetahuan menubuh yang sulit untuk dijelaskan) dari masyarakat lokal Flores yang tidak memiliki arsip fisik namun memori yang kuat oleh generasi sebelum mereka.
Adapun SDK awalnya dibuat untuk mengadakan kelas Bahasa Inggris demi mempersiapkan anggota yang akan melanjutkan studi ke luar negeri. SDK juga pernah menjadi lokakarya untuk pengembangan institusi bagi internal KAHE.
Dalam ‘sekolah-sekolah impromptu’, proses belajar secara internal dilakukan dengan melakukan rotasi pekerjaan antar anggota. Misal, anggota yang biasanya mengerjakan teknis audiovisual mengerjakan publikasi, yang biasa menulis mengerjakan tata lampu, dsb. Walaupun kebutuhan-kebutuhan belajar ini berawal dari satu-dua anggota, anggota lain pun tergerak untuk turut bersama-sama mengikuti dan menjalankan proses belajar.
Sebagai contoh, ketika ada salah satu anggota yang tidak suka membaca namun memiliki minat pada musik, Karlin berinisiatif untuk membuatkan audiobook agar dia bisa mengikuti bahasan di pertemuan-pertemuan selanjutnya.
Contoh lain adalah program radio yang membahas isu-isu lokal mereka memiliki nama after7pm. Radio ini pun muncul untuk mengisi kekosongan usai Sonia FM telah lama berhenti beroperasi. Nama after7pm dilatarbelakangi karena siaran baru akan dimulai setelah penyiar utamanya “selesai tutup toko” pada jam 19.00 setiap harinya.
Dengan belajar bersama-sama, mereka menciptakan kesadaran bersama (hive mind) untuk membangun kecerdasan kolektif.
Dalam praktiknya, KAHE kerap mencoba membangunkan “raksasa yang tertidur”. Usaha ini di antaranya adalah proyek Re-Imagine Bikon Blewut , yang melakukan intervensi kuratorial terhadap museum koleksi benda purbakala di Maumere yang sudah lama tidak terakses. Selain museum, mereka juga mengaktivasi ruang-ruang publik seperti Sikka Convention Center hingga Rumah Jabatan Bupati Sikka, yang kemudian membuka peluang bagi pekerja budaya dan anak muda lainnya untuk mengakses titik-titik ini.
Praktik ini layaknya memijat urat-urat kota untuk melancarkan peredaran yang macet. Pendekatan ‘urban acupressure’ ini muncul pada proyek-proyek KAHE di Kampung Wuring. Menurut testimoni Eka, tiga projek di Wuring ini merupakan pengalaman “sekolah” yang paling mendalam bagi KAHE, yakni proyek riset Wuring, Tsunami Tsunami, dan Cerita-cerita Keberagaman di Maumere (Perwakas di Wuring).
Semua kembali lagi pada kredo KAHE “Identifikasi – negosiasi – resistensi”. Kredo ini menjadi asas untuk menjalankan fungsi-fungsi ‘sekolah’ secara programatik (terancang) dan impromptu (secara instingtif) demi mengembangkan kemampuan intelektual, pengembangan diri agar tak mudah rapuh (antifragile) dan menaikkan posisi tawar di mata pemangku kepentingan bagi individu yang terlibat di KAHE – baik anggota maupun publik.
KURIKULUM KAHE
Dalam tulisan ini, tim riset mencoba membaca apa yang dapat merangkum kurikulum KAHE sebagai sekolah. Meminjam istilah Lectio Divina, praktik-praktik KAHE yang dijabarkan di atas bisa dibaca sebagai Lectio Colligō, yakni praktik membaca bersama. Kurikulum KAHE dapat disimpulkan terdiri dari empat aspek:
Kurang Nikmat Apa Kita Hidup di NTT: Suaka Pengetahuan dari Komunitas KAHE, Maumere
Menuju satu dekade Komunitas KAHE, mereka menyadari bahwa banyak anggota yang kini berada di fase hidup yang berbeda pada masa awal didirikannya KAHE. Ini adalah fase yang banyak dihadapi oleh komunitas yang muncul pada gelora kolektif seni di tahun 2015. Di masa ini, mereka perlu untuk membuat jaring pengaman demi keberlangsungan anggotanya serta pengembangan/aktualisasi diri anggota di luar komunitas.
Hal ini juga terkait dengan “tanam kaki”, sebuah analogi berulang yang sering disebutkan para anggota mengenai komitmennya di KAHE. Hal ini mengindikasikan bagaimana anggota mengkontekskan diri dan menjejakkan diri pada kolektif serta juga Maumere itu sendiri dengan segara tantangan lokalnya.
KAHE mengakui, bahwa istilah “perjumpaan artistik” memanglah sangat luas. Hal ini membuat kerja-kerja mereka tidak bisa dikategorikan dengan satu label saja. Sebagaimana remaja yang menginjak dewasa, timbul rasa untuk mulai memikirkan sebuah persona atau asosiasi agar orang bisa mengenalnya lebih baik.
Kita pun juga hidup di mana ‘definisi’ harus dibakukan. Tidak hanya KAHE, figur seperti aktor film Bollywood Shah Rukh Khan pernah menyampaikan keresahan ini dalam salah satu TED Talknya:
“Definitions became more and more fluid. Work began to define you at that time in an overwhelmingly equalizing manner, and all the systems started to feel less reliable to me, almost too thick to hold on to the diversity of mankind and the human need to progress and grow.” – Shah Rukh Khan
Definisi apa yang akan digunakan, tentu itu menjadi PR KAHE ke depannya.
Namun, saat tulisan ini dibuat, salah satu yang bisa kita pinjam adalah ‘sekolah’. Apabila kita melihat praktik-praktik KAHE, kita bisa melihat fungsi dan pengartian ‘sekolah’, bahkan termasuk definisi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. “Usaha menuntut kepandaian (ilmu pengetahuan)”? Cek. “Bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran (menurut tingkatannya, ada)”? Cek. “Waktu atau pertemuan ketika murid diberi pelajaran’? Cek.
Maumere-Jakarta-Philadelphia
September 2024
Gesyada Siregar
Komunitas KAHE, yang terbentuk pada tahun 2015, terdiri dari seniman, peneliti, aktivis, dan penulis yang bekerja secara interdisipliner dengan pendekatan seni budaya. Mereka memandang seni sebagai alat untuk merefleksikan fenomena sosial dan sebagai media untuk memproduksi, mendistribusikan, dan mendokumentasikan pengetahuan. Dengan fokus pada isu sosial-politik, komunitas ini terlibat dalam berbagai kegelisahan masyarakat melalui program-program seperti Festival Maumerelogia yang diadakan setiap tahun. KAHE terdiri dari 15 anggota yang memiliki kekuatan di bidang seni pertunjukan, serta mengandalkan sumber daya manusia dan jaringan mereka. Mereka juga menjalankan usaha mandiri, seperti penjualan buku dan merchandise, dan tengah mempertimbangkan pembentukan koperasi.
© 2024 Ekstrakurikulab | Serrum – Perkumpulan Studi Seni Rupa dan Pendidikan
Serrum merupakan perkumpulan studi seni rupa dan pendidikan di Jakarta yang didirikan pada 2006. Kata Serrum berasal dari kata share dan room yang berarti “ruang berbagi.” Serrum berfokus pada isu pendidikan, sosial-politik dan perkotaan dengan pendekatan presentasi yang edukatif dan artistik. Kegiatan Serrum meliputi proyek seni, pameran, lokakarya, diskusi dan propaganda kreatif. Medium karya yang Serrum gunakan meliputi video, mural, grafis, komik dan seni instalasi.