Waktu Luang sebagai Peluang: Belajar Bersama Ala Sudut Kalisat

Periset dan Penulis: Rifandi S. Nugroho Ilustrasi: Adi Dhigelz Setiawan Dokumentasi: M. Sigit Budi Santoso

Di Kalisat, jika seorang warga melintas, lalu ditanya oleh tetangga akan ke mana ia pergi, boleh saja ia menjawab: “nggak ada, ghengguk”. Jawaban itu tidaklah perlu didebat, sebab hanya dengan menjawab demikian, maka terpuaskanlah sudah si tetangga. Kata ghengguk berkali-kali muncul secara spontan dari teman-teman Sudut Kalisat, secara implisit menjelaskan bagaimana metode mereka bekerja dan belajar bersama-sama. Istilah yang berasal dari Bahasa Madura itu berarti waktu senggang atau sesenggangnya. Orang yang mengucapkan itu pun berdaulat penuh untuk menggunakan waktu luangnya.

Sebagai kata kerja, ghengguk bisa digunakan untuk menjelaskan berbagai aktivitas seperti memanjat pohon saat bangun tidur, berkeliling desa naik sepeda motor, atau berjalan-jalan ke sawah. Namun, ketika ghengguk diberi awalan sehingga berubah menjadi gukghengguk, maka fungsinya menjadi kata benda yang merujuk kepada berbagai obyek pengisi waktu luang atau hal-hal yang dihasilkan selama waktu luang. 

Kendati merujuk pada waktu luang, makna ghengguk serta turunannya tidak serta merta bisa dilekatkan pada aktivitas nonproduktif seperti tidur-tiduran, bengong, atau nonton netflix sambil bermalas-malasan. Kata itu tidak juga tepat guna jika ditujukan dengan sengaja menghasilkan sesuatu dengan kerja keras siang malam sampai tipes. Makna ghenguk mengambang di antara waktu produktif dan bersantai. Siapa pun yang ada dalam situasi tersebut, harus tetap bisa melakukan hal-hal bernilai guna degan sukarela di tengah waktu yang bergerak. 

Di Sudut Kalisat, makna ghengguk lekat dengan fungsi pedagogis. Sudut Kalisat adalah ruang bagi warga setempat untuk memanfaatkan waktu luang, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Misalnya, di Kalisat terdapat SMA Negeri Kalisat dan SMA Sepuluh Nopember. Para alumni ekstrakurikuler teater, pecinta alam, dan tari di sekolah-sekolah itu kerap menuangkan talentanya di Sudut Kalisat, bahkan beberapa menjadi penggerak kolektif tersebut. Dari jejaring pertemanan masa kecil, mereka tumbuh bersama, belajar hal-hal yang tidak sekedar didapatkan di sekolah.

Berkaca pada praktik yang terjadi di Sudut Kalisat, makna ghengguk menjadi mirip dengan asal muasal kata sekolah dalam Bahasa Latin, yaitu skhole, scole, atau schola, yang berarti “waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar (leisure devoted to learning)”. Orang Yunani tempo dulu, jauh sebelum Socrates dan Plato menyelenggarakan Academia atau Lyceum di Athena, terbiasa mengisi waktu luang untuk berkunjung ke suatu tempat atau seorang pandai tertentu untuk mempelajari hal-ikhwal yang ingin mereka ketahui. Dari kebiasaan itu, skhole berkembang menjadi lembaga-lembaga pengasuhan dan kelak menjadi sekolah. 

Menyisir ulang kemiripan ghengguk dan skhole, keduanya menggambarkan cara belajar yang berangkat dari: motif keinginan diri sendiri, pencarian sumber-sumber pengetahuan setempat, dan kuasa diri atas waktu. Ketiga hal ini menjadi modal belajar yang berpotensi memecah kebuntuan dalam rantai “lahir-sekolah-kerja” masyarakat pascarevolusi industri. 

Sebab, hari ini sebagian besar sekolah formal menanggung beban untuk memenuhi tuntutan industri, lulusan “siap kerja” pun menjadi parameter kualitasnya. Dalam konteks itu, sekolah untuk merayakan waktu luang menjadi sulit ditemukan. Ruang untuk mengaktualisasikan pengetahuan dan berimajinasi di lingkungan sehari-hari juga kian sempit karena pemisahan waktu yang tegas antara waktu bersantai dan bekerja.

Sejak tahun 2015, praktik kolektif Sudut Kalisat pun menjadi alternatif di tengah situasi tersebut. Pada mulanya, pasangan RZ Hakim dan Zuhana berinisiatif untuk membuka rumah kontrakannya sebagai tempat nongkrong warga setempat. Warga yang saling kenal berdatangan untuk ikut bercengkrama di sana. Di rumah yang terletak di antara sawah, padang ilalang, kebun, dan permakaman itu, para warga kerap membicarakan tentang banyak hal, termasuk sejarah Kecamatan Kalisat. 

Obrolan soal sejarah semakin menguat karena salah satu pemuda bernama Krisna merupakan keturunan salah satu tokoh masyarakat setempat bernama Mbah Madiroso dan Ia pun masih menyimpan arsip keluarganya. Dari situ, wacana dan jejaring pertemanan meluas, ide untuk membuat film dokumenter sejarah lokal pun tercetus. Gagasan tersebut berbuah pembentukan sebuah grup di platform media sosial Facebook yang bernama “Sudut Kalisat Dokumenter”.

Grup yang menampilkan foto-foto lawas Kecamatan Kalisat ternyata menarik antusiasme warga. Mereka, baik yang tinggal di dalam maupun di luar Kalisat, merasa terhubung secara emosional dengan arsip masa lalu yang diunggah. Merespons unggah-unggahan itu, ada warga yang menuliskan cerita, ada pula yang turut berbagi sejumlah foto masa lalu. Bahkan, ada salah satu studio foto di Kalisat yang sudah beroperasi sejak era kolonial turut menyumbangkan arsip-arsipnya, yaitu Njoo Foto Studio. 

Dengan sumbangan dari Njoo Foto Studio, koleksi di grup Sudut Kalisat Dokumenter pun semakin banyak dan melengkapi arsip yang didapatkan dari rumah-rumah warga. Bekal koleksi itu memantik ide menggelar pameran arsip bertajuk “Kalisat Tempo Doeloe (KTD)”, yang kemudian berkembang menjadi hajatan tahunan warga setempat. Gagasan penyelenggaraan KTD muncul di Kedai Tempo Doeloe, warung kopi pertama di Kalisat, milik pemuda lokal bernama Frans. Di kedai yang berlokasi tepat di depan pintu Stasiun Kalisat itu, banyak anak muda lainnya yang ikut serta membicarakan KTD dan selanjutnya menjadi pegiat Sudut Kalisat sampai hari ini. Oleh karena itu, lebih dari agenda tahunan, KTD juga kelak menjadi “sekolah” bagi warga Kalisat lintas generasi yang saling berinteraksi, bertukar pengetahuan, belajar berorganisasi, dan menajamkan talentanya.

Berangkat dari ghengguk, skala KTD dan ruang gerak Sudut Kalisat pun terus meluas tanpa pernah dibayangkan bisa berlanjut delapan tahun berturut-turut setelahnya. Warga Kalisat menggunakan KTD sebagai media berekspresi, di saat bersamaan mereka juga belajar cara penggalangan dana secara mandiri, pengorganisasian, dan mengulik apa pun yang ingin mereka ketahui. Mereka yang terlibat berasal dari beragam latar belakang, generasi, dan profesi, mulai dari anak sekolah dasar (SD), mahasiswa, karyawan, bahkan ahli supranatural, yang mengambil peran masing-masing di setiap penyelenggaraan KTD. Sulit untuk membayangkan KTD bisa terselanggara jika Kalisat hanya berserah pada siklus waktu, sistem belajar, dan cara kerja yang konvensional. 

 

Ruang sebagai simpul sumber daya

Sudut Kalisat terletak di Dusun Krajan, Desa Ajung, Kecamatan Kalisat, Kabupaten Jember. Jember pada era kolonial sebagian besar berupa perkebunan tembakau, kakao, dan kopi. Kultur agraria di era kolonial menyebabkan ada dua kelompok masyarakat yang bermigrasi ke wilayah itu. Di sisi selatan dan barat, sebagian besar buruh perkebunan didatangkan dari pedalaman Jawa yang jauh dari laut, seperti Ponorogo, Madiun, dan Bondowoso. Sementara pada sisi Jember kota, begitu juga Kalisat, banyak berdatangan orang dari Madura. Oleh karena itu, di wilayah Jember kota dan Kalisat, masyarakatnya terbiasa bertutur dengan tiga bahasa, yakni campuran Bahasa Indonesia, Jawa, dan Madura. 

Kalisat di era kolonial adalah kawedanan, wilayah administratif yang lebih luas dari kecamatan tetapi statusnya setara dengan Kawedanan Jember. Jika dibandingkan dengan daerah sekitarnya pada era kolonial, Kalisat memiliki infrastruktur yang tumbuh pesat dengan adanya stasiun kereta api penunjang distribusi hasil perkebunan. Stasiun Kalisat menjadi pusat keramaian karena di sana terdapat simpang rel kereta api penghubung Jember-Panarukan dan Jember-Banyuwangi yang dibangun pada tahun 1897. Penyebutan nama stasiun di dalam rute perjalanan kereta membuat nama Kalisat populer bagi sebagian besar penduduk Jawa Timur di Keresidenan Besuki (Kabupaten Banyuwangi, Bondowoso, Jember, Situbondo, atau dikenal dengan wilayah tapal kuda). Tak hanya itu, Kalisat juga mempunyai pasar tradisional pemasok barang-barang kebutuhan untuk wilayah sekitarnya. Adapun gambaran suasana Kalisat di era kolonial dituliskan oleh Hakim dalam katalog KTD 7 (2022):

Sejak jalur utama Kalisat-Panarukan dibuka untuk umum pada 1 Oktober 1897, satu tahun kemudian, di Kalisat telah ada tiga toko kelontong Cina sebagai penggerak roda ekonomi sesuai anjuran pihak Belanda. Tujuhbelas tahun kemudian, pada 1915, telah ada 16 toko Cina dan satu toko Eropa, tempat dimana minuman keras dijual. Begitu menurut buku Alcohol-enquête 1915, halaman 50. Untuk kelas distrik, itu adalah jumlah yang dahsyat. Bandingkan dengan Bondowoso di waktu yang sama, mereka memiliki 23 toko Cina dan dua toko Eropa. Hanya berjarak tipis dengan Kalisat yang secara ruang tentu lebih kecil. Atau, mari kita bandingkan dengan Banyuwangi. Di saat yang sama, di Banyuwangi terdapat 26 toko Cina dan empat toko milik orang Eropa. Begitulah situasi ekonomi sosial di masa tersebut, di detik-detik sebelum foto tua milik keluarga H. Abd. Razak diabadikan. Kiranya, ia datang dari Banjarmasin ke Kalisat di saat kondisi perekonomian Kalisat sedang menggiurkan.” 

Jika di era kolonial Kalisat menjadi simpul bagi distribusi hasil perkebunan, hari ini, Sudut Kalisat menjadi simpul strategis bagi sumber daya setempat. Hal itu tidak terlepas dari lokasi markas Sudut Kalisat, sebuah rumah sewa milik PT. KAI, yang terletak di antara stasiun kereta api, lahan pertanian, sekolahan, permukiman, dan pasar, di kawasan Kampung Lorstkal. Semula, bangunan itu merupakan rumah kosong yang mereka pinjam untuk perluasan areal pameran KTD 4 (2019). Namun, melihat aktivitas kolektif yang berlanjut, mereka memutuskan untuk menyewanya. Rumah yang selanjutnya menjadi pusat aktivitas Sudut Kalisat itu pun diberi nama Ruang Ingatan, terinspirasi dari tema KTD 4 yang mengangkat soal arsitektur Kalisat.

 Penamaan “Ruang Ingatan” berangkat dari filosofi ruangan yang tersusun dari beragam ingatan warga tentang ruang hidup mereka. Bagi para pegiat Sudut Kalisat, Wilayah itu pun merupakan ruang ingatan yang menjadi identitas kolektif 12 desa yang ada di sana. Ke-12 desa dimaksud adalah Kalisat, Patempuran, Sukoreno, Sumberkalong, Gumuksari, Sumberjeruk, Glagahwero, Gembiran, Ajung, Plalangan, Sumberketempa, dan Sebanen. Ia juga dibentuk oleh kecamatan-kecamatan yang mengelilinginya. Namun, secara sederhana teman-teman di Sudut Kalisat menggambarkan Ruang Ingatan sebagai “sekadar tempat berkumpul”, seperti yang tertulis dalam catatan pengantar Kalisat Tempo Doeloe 6 (2021):

“Apakah rumahmu adalah sekolah alternatif? Tanya seorang teman, suatu hari ketika ia singgah. Saya tersenyum mendengarnya. Tentu saja bukan. Mereka sekadar berkumpul, bikin sesuatu, atau hanya berbincang-bincang. Kami ada di posisi sebagai teman. Kami menemani mereka agar bisa mengeluarkan segala potensi terbaik yang ada dalam diri mereka masing-masing. Bila kami sedang berbincang, biasanya tema obrolan kami hanya sesuatu yang ringan. Kontekstual. Bersifat kooperatif, bukan kompetitif. Biasa saja. Mereka hanya sedang belajar untuk menata cara berpikir, berharap bisa bertindak tepat.” 

Pada pagi dan sore hari, jalan di depan Ruang Ingatan padat oleh para pelajar dan orangtua mereka, begitu pula orang-orang yang akan pergi ke sawah dan pasar. Sebab, jalan itu adalah satu-satunya akses menuju SMA 10 Nopember, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Kalisat, dan Sekolah Dasar (SD) Negeri 02 Pagi Kalisat yang lokasinya berada di belakang Ruang Ingatan. Tak hanya itu, jalan tersebut juga menjadi salah satu akses menuju lahan pertanian yang ada di belakangnya. Posisi Ruang Ingatan yang berada di sudut jalan membuat tempat itu mudah untuk diingat dan disinggahi.

Sehari-hari, banyak pelajar yang singgah ke Ruang Ingatan untuk bermain, latihan tari, merencanakan pertunjukan teater, latihan musik, berdiskusi, atau merencanakan kegiatan sekolah. Sebelum pandemi Covid-19 terjadi, Ruang Ingatan selalu riuh oleh aneka kegiatan yang tak jauh dari musik, sastra, teater, sanggar tari, buku, sejarah, lingkungan, perbincangan tentang hal remeh hingga situasi dunia, serta anak-anak muda yang datang dan pergi. Pada sore dan malam hari, banyak warga yang mampir untuk mengobrol selepas rutinitas di siang hari atau merencanakan kegiatan warga.

Posisi strategis Ruang Ingatan secara otomatis menjadi simpul beragam sumber daya yang ada di Kecamatan Kalisat. Dari segi sumber daya manusia, mereka yang beraktivitas di Sudut Kalisat merentang dari anak SD hingga orang dewasa. Hubungan baik antara anggota Sudut Kalisat dan orang-orang tua setempat setempat yang juga membuat Ruang Ingatan dinilai sebagai ruang aman untuk menitipkan anak-anak mereka. Contohnya, salah satu anggota Sudut Kalisat bernama Shafa, telah berkegiatan di sana sejak kelas 5 SD. Ririn, ibunda Shafa, menitipkannya di sana untuk belajar tari agar anaknya mempunyai kegiatan tambahan di luar sekolah. Sejak saat itu, Shafa terlibat menjadi penari dalam beberapa KTD yang diselenggarakan. Kini, ketika Shafa sudah menjadi mahasiswi, ia pun mulai mengajarkan tari kepada anak-anak lain di waktu senggangnya.

Selain Shafa, banyak anak sekolah lain yang juga tertarik datang ke Ruang Ingatan. Ada yang sekedar penasaran, tetapi ada pula yang memang tertarik untuk menginisiasi kegiatan. Mei 2024 lalu, misalnya, ada sejumlah pelajar SMA yang mengajak para pegiat Sudut Kalisat berdiskusi. Mereka ingin menginisiasi penyelenggaraan lokakarya sejarah lisan dan mempelajari situs-situs bersejarah di sekitar Kecamatan Kalisat. 

Sepintas, situasi itu menunjukkan bahwa Sudut Kalisat tidak pernah kehabisan orang dan gagasan untuk melakukan sesuatu berdasarkan motif “suka” dan “rela”. Di Ruang Ingatan, siapa pun boleh belajar dan mengajar, melakukan apa pun yang mereka suka, tanpa terikat kaidah benar atau salah seperti di sekolah formal. Oleh karena itu, regenerasi di Sudut Kalisat pun terjadi dengan sendirinya. 

Selain orang dan gagasan, ruang sosial seperti pasar, lahan pertanian, dan bentang alam juga menjadi sumber daya pendukung praktik kolektif tersebut. Anggota Sudut Kalisat yang tidak lain merupakan warga Kalisat itu sendiri pun memiliki modal sosial yang kuat, karena dibangun melalui silaturahmi dengan warga lain. Pada perhelatan KTD 8 (2023), umpamanya, seorang warga yang akrab disapa Cak Har memberikan pinjaman modal kerja awal dari hasil panen tembakaunya. Bantuan dana dari Cak Har itu pun menambah hasil penggalangan dana yang sudah mereka lakukan sejak penyelenggaraan KTD terdahulu, yakni melalui penjualan kaos. 

Selain Cak Har yang berasal dari situs pertanian, ada pula seorang warga lain bernama Mas Yon dari pasar. Mas Yon yang juga aktif berkegiatan di Ruang Ingatan sebelumnya sudah mengenal beberapa anggota Kalisat, contohnya, Icen dan Apex yang kerap nongkrong bersama di pasar. Bagi Mas Yon, pasar adalah pusat informasi paling jitu se-Kalisat. Sebab, pasar merupakan tempat membaurnya generasi tua dan muda, didukung dengan budaya tutur masyarakat yang kuat. Jika ada kabar atau gosip yang sudah tersebar di pasar, maka hampir semua warga Kalisat akan mendengarnya. Di pasar, para anggota Sudut Kalisat juga terbiasa menggali sekaligus menyebarkan informasi.

Pasar Kalisat berfungsi sama seperti ruang kolektif. Bahkan, pasar mampu menampung pertemuan sosial dalam skala yang lebih besar. Sebab, warga dari 12 desa yang ada di kecamatan itu biasa berinteraksi di sana sejak pasar tersebut buka setiap pukul 01.00 hingga tutup. Pasar Kalisat juga memiliki daya tarik tersendiri, sehingga para tengkulak bersepeda, bergerobak, lebih memilih untuk ke sana ketimbang ke Jemper. Tidak hanya tengkulak, Pasar Kalisat juga jadi pilihan bagi orang-orang yang malas bergerak ke kota. Apalagi, pasar itu tidak hanya menyediakan barang kebutuhan sehari-hari tetapi juga ada Pasar Babebo (pasar thrift shop) setiap Rabu pagi, dengan jam operasional bersamaan dengan Pasar Hewan.

Kalisat juga memiliki bentang alam berupa gumok, yakni tumpukan batuan sisa letusan gunung api purba di masa lalu yang membentuk bukit. Menurut perhitungan kasar Sudut Kalisat, terdapat lebih dari 200 gumok yang ada di Kecamatan Kalisat. Namun, kondisinya kini banyak yang rusak karena penambangan batu andesit, pasir, dan jenis mineral lain. Padahal gumok-gumok di Kalisat punya peran penting sebagai penjaga keseimbangan ekosistem, sumber mata air, dan penghalau angin.

Merujuk folklor setempat, Kecamatan Kalisat punya sebuah gumok legendaris bernama Gumok Madireh. Konon, di puncak gumok itu terdapat sebuah goa yang bisa menghubungkan Kalisat ke Pulau Madura. Cerita ini menjadi salah satu pintu masuk bagi Sudut Kalisat untuk membicarakan sejarah lanskap geografis Kecamatan Kalisat. Keberadaan gumok menjadi pemantik rasa ingin tahu mereka dan membuka banyak peluang imajinasi baru dalam membicarakan dan merawat memori kolektif tentang lingkungan mereka. Hal itu pun terakumulasi pada penyelenggaraan KTD 8 (2023) dengan tema “Batuan Berkisah”.

Lanskap geografis Kecamatan Kalisat memberikan pilihan sumber daya yang kaya bagi proses belajar kolektif Sudut Kalisat, baik dari segi materiil maupun nonmateriil. Posisi Ruang Ingatan di tengah situs-situs penting itu pun menjadi simpul yang dapat menghubungkan berbagai sumber daya di sana. Ruangan yang ada di Ruang Ingatan pun terbuka untuk beragam eksperimen warga. Pada bangunan itu, terdapat satu ruang serba guna, halaman belakang yang cukup luas, dua kamar tidur, satu garasi, gudang, dan dapur. Ruangan di dalamnya sering berubah bentuk sesuai dengan kebutuhan. Selain aktivitas internal, Ruang Ingatan sering dipinjam untuk pergelaran teater sekolah, pengajian warga, tempat latihan musik dan tari, tak ubahnya seperti aula serbaguna. 

Saat persiapan KTD 6 (2021), misalnya, Icen, anggota Sudut Kalisat yang hobi memasak dan meriset soal dapur warga setempat membangun dapur berukuran 1:1 di halaman belakang Ruang Ingatan. Hal itu dilakukan untuk memahami bagaimana asal-usul dapur warga di masa lalu. Ketika acara selesai, dapur itu dipindah ke dalam Ruang Ingatan dan digunakan sebagai tempat bagi para anggota Sudut Kalisat memasak sehari-hari. Dapur Icen dan sambal cobek andalannya pun berperan sentral dalam pemenuhan nutrisi dan keberlangsungan anggota kolektif.

Halaman belakang Ruang Ingatan yang luas juga bisa digunakan untuk berbagai kegiatan, mulai dari pameran, pertunjukan musik, diskusi, hingga eksperimen lain. Halaman belakang ini terhubung dengan rumah tempat tinggal Hakim dan Zuhana yang dulunya juga dipakai untuk aktivitas kolektif Sudut Kalisat. Saat pandemi, halaman belakang sempat disulap oleh Hakim menjadi hutan kecil dengan metode miyawaki. Pada saat KTD 7 (2022) lalu, area itu berubah menjadi taman instalasi batu. Sekarang, berubah lagi menjadi aviary, sebagai media riset persiapan KTD 9 yang rencananya mengangkat tema flora dan fauna endemik setempat. Aviary itu mulai diisi oleh burung merpati songkop yang konon adalah spesies endemik Jember.

Sebagian anggota kolektif juga tinggal di Ruang Ingatan. Mereka bebas untuk memanfaatkan Ruang Ingatan sesuai dengan ketertarikannya. Dulu, Icen sempat berjualan ketan di garasi depan. Kini, usahanya berganti menjadi menjual hasil laut bersama dengan Apex.  Hasil penjualan ikan sebagian disisihkan untuk operasional harian bangunan, seperti membayar listrik dan biaya pemeliharaan lainnya. 

Di sudut lain, ada sebuah komputer lengkap dengan soundcard dan perangkat rekaman sederhana. Media itu digunakan oleh Iqbal dan teman-temannya untuk menuangkan hobi bermusik. Pada waktu-waktu tertentu, Iqbal mengajak sejumlah grup band lain untuk membuat gigs kecil di Ruang Ingatan. 

Mei lalu, contohnya, sebuah band lokal legendaris bernama Ikatan Keluarga Lorstkal (IKL) tengah latihan untuk mempersiapkan gigs. IKL yang terbentuk pada tahun 1986 beranggotakan para warga yang lahir dan besar di Kecamatan kalisat. Mereka dulu biasa bermain di Stasiun Jember, mereka juga mengamen di sana saat masih diizinkan oleh PT. KAI. Namun, kini personel IKL sudah cukup sepuh. Mereka lebih sering diundang sebagai pengisi acara dalam rangkaian KTD.

Barangkali Ruang Ingatan adalah ruang secair balai warga yang biasa ditemui di lingkungan luar Kalisat. Namun, gerakan kolektif Sudut Kalisat mewarnai Ruang Ingatan sehingga menjadi ruang–seperti yang digambarkan oleh Hakim dalam pengantar KTD 4 (2018)–untuk teman-teman mengeluarkan “potensi terbaiknya”, saling belajar untuk “menata cara berpikir” dan “bertindak tepat”, secara “kooperatif”, bukan “kompetitif”.

 

Warga sebagai sumber pengetahuan

Warga Kalisat punya istilah “asejarah: yang dipakai untuk aktivitas bersilaturahmi, berkunjung-kaji atau berziarah. Percakapan tentang kata “asejarah” sebagai metode berkembang menjadi diskusi saat Sudut Kalisat menyelenggarakan KTD 4. Saat itu mereka mengundang Isnadi, sastrawan Jember, untuk turut menulis pada katalog yang diterbitkan. Dalam esainya, Isnadi mengembalikan ingatan atas istilah “asejarah”  bagi warga Kalisat sebagai aktivitas “berkeliling kampung… ke tetangga baik jauh atau dekat dalam lingkup satu kampung dengan jalan kaki, melalui jalan desa, tritisan rumah, [dan] gang antar rumah.” 

Dengan cara tersebut kami mengingat dan menghafal letak rumah-rumah, jenis tanaman, penanda-penanda kampung, batas-batas tegalan, termasuk mengamati perubahannya dari tahun ke tahun. Jembatan berubah dari bambu menjadi kayu dan beton, bekas-bekas gardu kampling kayu yang dibangun seperti langgar dengan lantai papan menggantung di atas tanah masih terasa nyata dalam ingatan bahkan bau ketela curian yang pernah dibakar malam-malam di salah satu sudut tanahnya masih terasa jelas aromanya. Kami berkeliling sejak sore hingga malam. Di setiap ruang tamu tetangga yang kami singgahi, sejarah bangsa dan keluarga tampil nyata: foto presiden dan wakilnya, lukisan syeikh dan kyai, souvenir penziarahan, potret masa muda pemilik rumah, dan kisah-kisah yang menyembul dari silsilah keluarga, alat-alat pertanian yang tersengkelit di sabuk dinding bambu dan potret sejarah lainnya. Sejarah hadir kembali secara nyata lengkap dengan kegembiraan dan kesedihannya di tempat dan waktu yang akrab. Hal tersebut berulang setidaknya setahun sekali untuk menyegarkan pemakanaan akan sejarah spasial dan orang-orang yang hidup di dalamnya.

(Isnadi, Laku Sejarah di Ruang Tamu, 2019)

Dengan menggunakan pengertian tersebut, penelusuran sejarah bisa dimaknai sebagai sebuah praktik spasial, karena ingatan selalu muncul melalui interaksi tubuh dan ruang. Interaksi inderawi dengan ruang sosial sehari-hari membuka pemahaman sejarah yang bukan saja berguna untuk menguak informasi masa lalu, melainkan juga merefleksikannya dengan konteks hari ini. Melalui interaksi pula, sejarah menjadi media untuk membangun pengetahuan kolektif sekaligus penguat kohesi sosial karena didapatkan lewat bersilaturahmi dengan pelaku dan penerus sejarah.

Pada setiap proses riset KTD, anggota Sudut Kalisat selalu menempatkan warga setempat sebagai patron pengetahuan utama sebelum mencari sumber lain di luar. Mereka bergerak dari rumah ke rumah, pasar, studio foto, warung, hutan, dan tempat-tempat penting lainnya untuk melihat arsip, mempelajari dapur, bertanya tentang batu akik, membuat ramuan herbal, mengenal jenis-jenis tanaman, membuat perangkat elektronik, dan menemukan beragam pengetahuan lainnya berdasarkan rasa ingin tahu.

Dari proses bersilaturahmi itu, sejak perhelatan pameran pertama KTD pada 2015, Sudut Kalisat menemukan sebuah studio foto yang telah beroperasi sejak era kolonial, Njoo Foto Studio. Dirintis oleh warga setempat bernama Njoo Giok Kwan, saat ini studio tersebut dikelola oleh generasi kedua atau anak dari Njoo Giok Kwan, yakni saudara kembar Bambang Hermanto dan Qingliang. Njoo Foto Studio adalah salah satu dari tiga studio foto tertua yang ada di Kecamatan Kalisat, selain Studio Rengganis dan Dewi. Hampir sebagian besar warga di Kecamatan Kalisat pernah membuat pas foto atau mengafdruk foto mereka di studio itu. 

Pertemuan Sudut Kalisat dan Njoo Foto Studio memunculkan simbiosis mutualisme antarkeduanya. Sudut Kalisat mendapatkan izin untuk mengakses dan menampilkan arsip-arsip visual Kecamatan Kalisat yang dimiliki studio tersebut di dalam pameran. Sementara nama Njoo Foto Studio yang kala itu terancam gulung tikar kembali terangkat berkat Sudut Kalisat.

Arsip yang didapatkan pun beragam, mulai dari potret warga yang berpose di depan rumah, suasana ruangan di dalam rumah warga, kandang sapi perah warga pada zaman Jepang dan Belanda, suasana jalan dan pertokoan, gedung fasilitas publik seperti rumah sakit, kantor polisi, rel kereta api, aktivitas siswa-siswi sekolah, hingga ragam aktivitas warga di gedung Kawedanan Kalisat yang kini sudah hilang. Jumlah arsip yang begitu masif membuat mereka kebingungan, sehingga mau tidak mau harus digunakan dengan cara mengembangkan pameran KTD pada tahun-tahun berikutnya.

Sekalipun mendapat banyak dokumentasi visual dari Njoo Foto Studio, Sudut Kalisat juga tetap menelusuri sumber sejarah lokal dari rumah ke rumah, belajar memindai, membaca, menafsir, dan membangun percakapan dan imajinasi sejarah dari temuan-temuan arsip di sana. Mereka juga mulai mengajak teman-teman dari luar lingkungan Kalisat untuk membaca praktik mereka. Dengan melibatkan orang-orang luar lingkungan Kalisat ke dalam diskusi, mereka mendapatkan tambahan perspektif lain atas apa yang sudah mereka lakukan.

Saat ini, Sudut Kalisat sudah memiliki jejaring pengetahuan setempat dan metodologi dalam membaca arsip. Belakangan, mereka mulai keluar dari kebiasaan menggunakan arsip foto untuk pameran. Pada KTD 8 (2023), Sudut Kalisat mengangkat tema “Batuan Berkisah” yang membicarakan tentang situs-situs geologi yang tersebar di Kecamatan Kalisat. Mereka mengeksplorasi bentuk lain dalam membicarakan arsip dan ingatan warga. Jika sebelumnya mengandalkan foto dan objek, KTD 8 menggunakan medium artefak geologis dan instalasi sebagai media transmisi ingatan. Dari situ, mereka mengenal sejarah asal-usul pembentukan wilayah Kecamatan Kalisat.

Meski menggunakan arsip berbeda, warga tetap menjadi sumber pengetahuan utama untuk belajar tentang bebatuan. Mereka menemui Om Teguh, seorang warga kolektor batu akik. Dari Om Teguh, perbedaan jenis dan asal-usul batu bisa dipelajari, sehingga anggota Sudut Kalisat bisa mengidentifikasi batu yang autentik dari kawasan Sudut Kalisat, perlu disimpan, dan diarsipkan. Setelah paham mengenai dasar-dasar bebatuan dari Om Teguh, mereka mengundang Firman Syauqi, geolog yang tinggal di Jember untuk mempelajari perihal geologi lebih dalam lagi. Tak hanya itu, seorang kyai juga terlibat menjadi narasumber untuk membicarakan fenomena kehadiran gumok di Kalisat dalam perspektif Islam.

Contoh lain warga sebagai patron pengetahuan utama adalah Bu Kromo. Menurut rencana, pada KTD edisi berikutnya Sudut Kalisat akan mengangkat soal flora dan fauna endemik setempat. Untuk mempelajari khasiat dari beragam jenis tanaman, mereka saat ini belajar dari Bu Kromo, seorang pedagang rempah-rempah di Pasar Kalisat. Sementara untuk mempelajari jenis-jenis unggas, Hakim bergabung dengan Komunitas Ayam Ketawa. Selain itu, mereka juga bekerjasama dengan Cak Har untuk menggunakan sebagian lahannya sebagai laboratorium tanaman. 

Selain orang-orang yang disebutkan di atas, masih banyak patron pengetahuan lokal lain yang juga membagikan pengetahuannya kepada teman-teman Sudut Kalisat. Saat pandemi 2020, Sudut Kalisat mengundang Mas Yon yang kala itu bekerja sebagai sopir ambulans untuk memberikan penyuluhan kesehatan di Kecamatan Kalisat. Selain itu, Roni, yang punya pengalaman bekerja di Komunitas Tanoker Ledokombo juga pernah membagikan wawasan mengenai tata kelola komunitas berbasis koperasi kepada teman-teman muda di Sudut Kalisat. 

Di sisi lain, mereka juga berjejaring dengan orang-orang “bawah tanah”. Ada fakta bahwa takaran sukses atau tidaknya acara di Kecamatan Kalisat adalah ketika tidak ada helm yang hilang di tempat parkir. Pada setiap perhelatan KTD selama delapan tahun terakhir, belum ada satu helm pun yang hilang, sebab mereka telah menjalin silaturahmi juga dengan jaringan bawah tanah Kalisat.

Dari tokoh intelektual, pedagang, preman pasar, hingga kolektor batu akik, semua punya pengetahuan masing-masing yang bisa saling melengkapi di kolektif Sudut Kalisat. Setiap pengetahuan yang mereka dapatkan dari warga tersirkulasi lewat obrolan di waktu ghengguk. Melalui obrolan kecil itu, informasi yang sangat luas pada awalnya pun tersaring secara perlahan hingga menjadi data yang yang bisa dipertanggungjawabkan. Pada akhirnya, pengetahuan dan informasi yang mereka dapatkan dari warga disirkulasikan kembali ke warga sehingga pemahaman akan sebuah pengetahuan yang tumbuh ke dalam secara perlahan.

 

Ruang Tamu, Pasar, dan Bentang Alam sebagai Ruang Kelas

Ia (sejarah) muncul dan mewujud dalam berbagai bentuk seperti ‘ruang tamu tetangga’, konfigurasi ‘letak-letak rumah’, patok ‘penanda-penanda kampung’, hingga ‘bekas-bekas gardu’ yang sudah lama ditinggalkan. Kami percaya, bahwa ingatan tidak pernah lahir dari – dan menguap ke dalam – ruang hampa. (Pengantar Pamerte, Catatan Proses & Diskusi Lokakarya Kurator Arsip, Sejarah, dan Ingatan Warga, 2022)

Dalam sebuah sesi diskusi, Hakim menjelaskan bahwa orang-orang Kalisat, sama seperti masyarakat Jember dan kota-kota di sekitarnya, memiliki budaya tutur yang kuat. Oleh sebab itu, pusaran informasi dan pengetahuan bisa terbentuk di mana saja, mulai dari ruang domestik hingga ruang publik seperti pasar. Para anggota Sudut Kalisat sering memulai ketertarikan mereka terhadap sesuatu melalui obrolan ringan. 

Dari obrolan, itu bisa berkembang menjadi rencana lanjutan. Ada yang berlanjut menjadi acara jalan-jalan, lokakarya, atau  silaturahmi ke rumah orang-orang tertentu atau tempat-tempat spesifik di Kecamatan Kalisat. Ruang-ruang sosial di Kecamatan Kalisat menjadi kelas dan pustaka pengetahuan lokal yang bisa dihubungkan dengan narasi pengetahuan lain di luar lingkungan Kalisat.

Bagi teman-teman di Sudut Kalisat, ruang tamu warga berperan seperti museum, tempat menyimpan dan menampilkan foto-foto keluarga, perabot, dan beragam hiasan dari masa lalu. Ruang tamu menjadi ruang percakapan, perjamuan, dan interaksi sosial dalam skala yang intim. Sejak 2013 hingga 2015, saat bersilaturahmi dengan warga, Hakim dan teman-teman Sudut Kalisat sering mendengar cerita rakyat, kisah-kisah sejarah yang hanya dirawat melalui budaya tutur, hingga sejumlah foto yang menghias sudut ruang tamu atau bahkan album foto hanya tergeletak di bawah meja ruang tamu. Dari situ, kebiasaan melakukan riset mendalam terkait sejarah warga Kalisat dengan cara bersilaturahmi dari ruang tamu ke ruang tamu pun dimulai.

Sudut Kalisat secara resmi memiliki ruang yang mereka kelola sendiri mulai tahun 2015, di rumah kontrakan yang dihuni oleh Hakim dan Zuhana. Rumah itu pula yang digunakan untuk menyelenggarakan KTD 3 (2017). Saat itu, pameran menggunakan tiga per empat bagian rumah, mulai dari ruang tamu, kamar depan, dapur, hingga halaman belakang. Hanya tersisa sebuah kamar yang tidak dipakai untuk kegiatan, karena menjadi areal privat Hakim dan Zuhana. 

Setelah KTD 3, ruang pamer KTD berpindah ke Ruang Ingatan, yakni di rumah sebelahnya. Jika sebelumnya para anggota Sudut Kalisat mengunjungi ruang tamu warga untuk menggali data, selanjutnya di ruang sendiri mereka menciptakan ruang tamu sebagai ruang presentasi dan interaksi. Ruang tamu menjadi seperti kelas yang bisa berfungsi untuk diskusi, presentasi, dan produksi.

Pada tahun 2022, Sudut Kalisat menyelenggarakan Lokakarya Kurator yang mengundang saya dan Ayos Purwoaji sebagai fasilitator. Lokakarya ini terbagi dalam dua sesi, teori dan praktik. Sesi teori dilakukan di Ruang Ingatan sedangkan sesi praktik di lima ruang tamu warga yang berbeda. Peserta lokakarya yang datang dari berbagai kota dibagi ke dalam lima kelompok. Mereka berinteraksi dengan para pemilik rumah untuk menggali sisi sejarah keluarga masing-masing. Lewat proses kerja bersama, mereka pada akhirnya memproduksi pameran di ruang tamu warga. Melalui lokakarya ini, ruang tamu warga Kalisat sekali lagi telah beralih fungsi menjadi ruang kelas, untuk membagikan metodologi yang sudah dimiliki oleh teman-teman Sudut Kalisat kepada orang lain. 

Selain ruang tamu, Kalisat mempunyai arsip hidup bernama pasar tradisional. Beberapa penjual menjadi saksi sejarah perubahan Kalisat dari masa ke masa. Salah satunya Warung Bu Kromo, yang bertahan sejak era pendudukan Jepang hingga saat ini. Warung Bu Kromo menjual apa saja yang tidak dijual oleh penjual lain, misalnya, garam non-yodium, daun-daunan, kulit manggis yang dikeringkan, gula aren, menyan dan rempah-rempah yang biasanya sudah dianggap menjadi limbah. 

Warung Bu Kromo menjadi sumber inspirasi bagi Sudut Kalisat dalam mempelajari nilai guna berbagai jenis tanaman sembari mencari inspirasi untuk persiapan KTD edisi berikutnya. Tantangan bagi Sudut Kalisat adalah bagaimana menceritakan tentang Bu Kromo seperti membicarakan dari sudut pandang jalur rempah yang dekat dengan konteks Jember. Contohnya, soal jenis-jenis tanaman endemik Jember yang dekat dengan jalur rempah Australia. Dengan menceritakan narasi Warung Bu Kromo, Pasar Tradisional Kalisat juga menjadi arena belajar menuturkan sejarah untuk para anggota kolektif Sudut Kalisat. Mereka mencoba menghubungkan Bu Kromo dengan konteks sejarah makro yang terjadi di luar sana.

Pasar Kalisat juga pernah menjadi lokus residensi seorang seniman asal Bondowoso bernama Wildan. Pertemuan Wildan dan Sudut Kalisat dimulai dari kelas kurator pada tahun 2022. Selepas kegiatan tersebut, Wildan tertarik untuk melakukan residensi di Kecamatan Kalisat. Ia mengamati fenomena arisan ibu-ibu di Pasar Kalisat yang berbeda dengan arisan di tempat lain, yakni menggunakan dadu untuk menentukan pemenang arisan. Wildan melakukan intervensi artistik dengan membuat dadu berukuran besar dan sebuah proyek fotografi yang mengabadikan momen-momen arisan di Pasar Kalisat. Dari proyek seni itu, bukan hanya Wildan yang mendapatkan kesempatan untuk berkarya, melainkan juga teman-teman Sudut Kalisat mendapatkan satu pengetahuan baru lagi tentang budaya arisan di wilayah tersebut.

Kalisat juga memiliki banyak ladang pertanian dan gumok yang menjadi penanda perkembangan sebuah kawasan. Pada saat KTD 8 (2023), mereka kerap bertamasya ke situs-situs alam baik di dalam maupun luar Kecamatan Kalisat. Para anggota Sudut Kalisat belajar langsung tentang geologi dari ahlinya, sambil melihat langsung situs geologi yang dikunjungi. Sesekali mereka pergi ke Taman Nasional Meru Betiri, mempelajari juga jenis-jenis batu yang ada di sana sambil bertamasya melepas penat. Sepulang dari tempat-tempat itu, anggota Sudut Kalisat membawa pulang bebatuan yang mulai mereka ketahui satu per satu nilainya. Icen bercerita, ia memasukan batu-batu itu ke dalam jok motor, hingga terasa sangat berat di perjalanan. 

Jika Kalisat diibaratkan sebuah sekolah, maka ruang kelasnya adalah ruang sosial sehari-hari, seperti ruang tamu, pasar, dan bentang alam yang menyimpan berjuta pengetahuan budaya, geologi, sejarah. Bagi Hakim, Jawa Timur, terutama Jember, Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Lumajang, butuh lebih banyak lagi komunitas anak muda yang bisa membangun cerita narasi seputar wilayahnya lewat beragam media. Akan tetapi, masih ada kekosongan narasi yang mendorong Sudut Kalisat untuk terus mencari formula untuk mengisinya.

Regenerasi dan Transmisi Pengetahuan yang Tumbuh Perlahan

Sebagaimana dibahas pada bagian awal tulisan, Sudut Kalisat terbentuk dari tongkrongan di rumah dan kedai kopi. Namun, jauh sebelum itu terjadi orang-orang dari generasi pertama maupun kedua Sudut Kalisat sudah punya pengalaman berkomunitas di tempat-tempat yang berbeda. Proses pembentukan Sudut Kalisat tumbuh perlahan dalam persilangan waktu-waktu yang berbeda pula.

Sejak 2007, Hakim, salah satu inisiator Sudut Kalisat, memiliki grup band bernama Tamasya yang bermula dari lingkungan Universitas Negeri Jember, dan cukup dikenal di lingkungan Jawa Timur, khususnya eks-Keresidenan Besuki. Hakim juga mempunyai pengalaman berkomunitas di kolektif bernama Panaongan yang beranggotakan musisi jalanan dan para penggemar musik. Band Tamasya pernah satu kali bermain di Kalisat di tahun 2012. Dari situ pengalaman berjejaring dengan teman-teman kolektif pun dimulai.

Hakim dan Zuhana, istrinya, pernah berkunjung ke Kalisat pada tahun 2013 dan menjalin silaturahmi dengan beberapa warga. Hakim yang belajar Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Jember punya ketertarikan dengan cerita-cerita sejarah Kalisat yang sudah ia ketahui sebelumnya. Setahun setelah kunjungan pertama, atas usulan nama dari Mas Opik, perintis Komunitas Badoet di Kecamatan Kalisat, mereka membuat grup Facebook bernama “Kari Kecingkul. Grup tersebut berupa blog sejarah seputar Kecamatan Kalisat. Perbincangan tentang nama grup “Kari Kecingkul” terjadi di rumah Mas Ivan di Kampung Lima.

Suasana di dalam grup sungguh menyenangkan. Orang-orang saling berjumpa kata, seperti sedang melakukan reuni. Seringkali mereka menyebutkan kata kunci, misalnya, “coba hubungi Bapak ini di desa ini, dia mengerti kisah tentang…” (RZ Hakim, dalam pengantar katalog Kalisat Tempo Doeloe 4)

Pada April 2015, Hakim dan Zuhana memutuskan untuk pindah ke Kalisat. Dengan menggunakan perspektif orang asing, mereka menemukan banyak hal-hal menarik di Kalisat. Berselang beberapa bulan kemudian, mereka bertemu Krisna, Roni, dan teman-teman yang sepanjang pandemi Covid-19 meninggal dunia. Dalam pertemuan-pertemuan itu, mereka mulai membahas tentang banyak hal yang seringkali dianggap biasa.

Titik mula persinggungan orang-orang yang menjadi bagian dari generasi awal Sudut Kalisat pun tidak sama. Roni, contohnya, diajak oleh Krisna untuk mengunjungi kontrakan Hakim. Sebelumnya, Krisna memang sudah lama aktif pada kegiatan penelusuran sejarah, khususnya penelusuran sejarah keluarganya yang juga salah satu leluhur di Kalisat. Dari situ, muncul gagasan untuk mengumpulkan data secara lebih intensif. Mereka mulai “terikat”, bukan sebagai organisasi melainkan karena sering bergerak bersama berdasarkan ketertarikan yang sama, yakni soal sejarah. Dalam perkembangannya, mereka bersepakat untuk tidak hanya bicara soal sejarah. Temuan hasil penelusuran pun dibagikan ke dalam grup Facebook Sudut Kalisat Dokumenter yang menggantikan blog Kari Kecingkul.

Perkumpulan ini kemudian menyelenggarakan pameran pertama yang berjudul “Pameran Foto Kalisat Tempo Doeloe” atau KTD 1. Segala yang dipamerkan berupa foto asli tanpa kurasi dan langsung diceritakan satu per satu. Sumber foto berasal dari keluarga, Njoo Foto Studio, dan terus berkembang. Ketika ghengguk, mereka pergi beramai-ramai untuk menggali informasi dan bersilaturahmi. Dari situ, anggota Sudut Kalisat juga tumbuh.

Mas Yon terlibat sejak gelaran KTD 3. Saat itu, Mas Yon sudah sering nongkrong di tempat parkir Pasar Kalisat bersama Apex, Icen, dan kawan-kawan yang selanjutnya menjadi penggerak Sudut Kalisat generasi kedua. Rupanya, pameran tiga tahun berturut-turut dan kehadiran kolektif Sudut Kalisat menginspirasi anak muda setempat. Bersama dengan generasi pertama, mereka dikawal untuk berkembang, dewasa dalam berorganisasi, mengasuh kebersamaan, dan bisa menyelenggarakan kegiatan sendiri.

Ketika pertama kali diajak oleh Ayos Purwoaji berkunjung ke Sudut Kalisat pada tahun 2019, saya berjumpa dengan Icen, Apex, dan Fanggi–tiga orang dari sekian banyak generasi kedua Sudut Kalisat–yang waktu itu masih seusia anak SMA tingkat akhir. Seperti anak-anak remaja seusianya, mereka masih tampak malu-malu bertemu orang lebih tua seperti saya, apalagi dengan bahasa tutur yang berbeda.

Waktu itu, mereka sibuk menyelenggarakan KTD 4 yang bertemakan Ruang Ingatan. Topik seputar arsitektur dipilih berdasarkan ketidaktahuan atas rencana tata ruang di kecamatan mereka sendiri. Menariknya, tidak satu pun dari mereka pernah mengenyam pendidikan arsitektur. Teman-teman di Sudut Kalisat tergerak karena banyak bangunan bersejarah dengan arsitektur yang baik di Kecamatan Kalisat, yang mereka intip dari arsip-arsip warga di KTD sebelumnya, telah rata dengan tanah atau digantikan bangunan baru. Pada KTD 4, sepertinya mereka ingin belajar sesuatu yang belum mereka ketahui, tidak melulu terjebak pada daya pikat masa lampau.

KTD 4 bisa disebut sebagai titik balik regenerasi Sudut Kalisat. Saat itu, para penggerak generasi kedua seperti Apex, Icen, Fanggi, Sundari, dan kawan-kawan mulai diberi ruang gerak sendiri untuk mengelola kegiatan. Dari pengalaman membantu kepanitiaan pameran tiga tahun berturut-turut, mereka mulai terbiasa mengelola kegiatan secara mandiri. Sebagaimana yang dituliskan oleh Hakim dalam pengantar KTD 4 saat itu:

“Ada hal-hal yang tidak berubah di proses mereka kali ini, sama seperti proses Kalisat Tempo Doeloe sebelum-sebelumnya, yaitu belajar untuk menjadi kolektif dan mandiri. Mereka melakukan segala hal dengan gotong royong, mereka juga belajar membiayai proses-proses itu dengan cara seperti sebelumnya; memproduksi kaos, tas kain, hingga gantungan kunci, lalu dijual. Laba dari penjualan tersebut dikumpulkan untuk menutup biaya cetak foto, membeli bahan-bahan yang dibutuhkan, dan sebagainya. Dari mana modal awal mereka? Menurut penuturan Icen selaku bendahara, modal awal diambil dari sisa Kalisat Tempo Doeloe sebelumnya, juga sumbangan dana dari teman-teman Yogyakarta: Ridho, Nia, dan Pras.”

Proses belajar di KTD tidak hanya menyoal konten sejarah atau penyelenggaraan kegiatan, tetapi juga tata kelola kolektif. KTD tidak mengenal sistem kepanitiaan pada awalnya. Dana yang digunakan juga bersumber dari urunan anggota dan hasil penjualan cenderamata ke warga, tanpa dukungan sponsor. Jika ada sisa keuntungan, maka dananya akan disimpan dan digunakan untuk modal KTD tahun berikutnya. Semua proses dilakukan secara transparan. 

Di luar modal produksi, dukungan warga juga datang dalam bentuk bahan makanan, peralatan, dan jasa. Untuk sound system dan tenda, umpamanya, mereka mendapatkan pinjaman dari warga yang punya usaha di bidang tersebut. Tenaga penjaga parkir, mereka dapatkan dari warga yang punya jaringan keamanan di pasar. Adapun konsumsi, mereka mendapatkan bantuan masakan dari warga yang punya warung makan atau lewat urunan bahan makanan antar anggota. Lebih dari itu, masih banyak lagi dukungan dalam bentuk lain yang mereka dapatkan berkat menjalin relasi sosial dengan warga.

Basis kerja gotong royong seperti itu masih bertahan sampai sekarang. Saat ditanyakan mengapa tidak mau menggunakan sponsor, Hakim memaparkan alasan sederhana. Mereka bukan tidak mau, melainkan karena Hakim pun tidak punya pengalaman mencari pendana dan mengelola uang dalam skala besar. Selain itu, berdasarkan pengalamannya berkolektif di Jember, uang kerap menjadi sumber konflik. Oleh karena banyak sumbangan dari warga, mereka bertanggung jawab untuk menjaga kepercayaan warga dengan sangat hati-hati.

Alih-alih mencari pendana, Hakim pernah mencoba memperkenalkan konsep koperasi Bung Hatta, Presiden ke-2 RI, kepada teman-teman di Sudut Kalisat. Perkenalan dengan konsep itu terjadi saat penyelenggaraan KTD 5, ketika ada satu anggota yang merasa berhak untuk punya pengalaman mengelola dana besar. Mereka melihat contoh kelompok belajar masyarakat Tanoker Ledokombo di kecamatan sebelah. Kebetulan, Roni juga aktif bekerja di sana. Tanoker memiliki platform koperasi bernama Tanokraf, sehingga Sudut Kalisat mengundang salah satu penggerak Tanokraf untuk memperkenalkan konsep koperasi kepada warga Kalisat. 

Sayangnya, konsep koperasi yang selama ini diterima oleh sebagian masyarakat terlanjur berbeda, yakni koperasi simpan pinjam. Dampaknya, konsep koperasi yang berbasis kepemilikan bersama sulit diwujudkan. Sudah menjadi pandangan umum kini bahwa setiap orang berpikir bisa mengakses dana koperasi untuk kepentingan kesejahteraan dirinya sehingga membangun koperasi dari awal sulit dilakukan. Namun, Sudut Kalisat tetap melakukan proses bertumbuh perlahan dengan cara gotong-royong, melakukan apapun yang mereka bisa, dengan cara-cara sederhana. 

Hakim, Zuhana, Mas Yon, Krisna, Cak Har, dan Roni, orang-orang dari generasi awal Sudut Kalisat, dan beberapa orang lain yang tidak terlihat, punya pengaruh besar dalam pembentukan arah gerak generasi kedua. Dalam waktu-waktu ghengguk, mereka kerap memberi rekomendasi tokoh-tokoh yang perlu dikunjungi. Mereka juga membuka jalan untuk silaturahmi, membuka akses untuk menghampiri orang-orang yang mungkin belum terhubung sebelumnya. Hubungan baik antara Sudut Kalisat dengan Cak Har, Mas Yon, seperti juga dengan warga lainnya, membuat warga merasa memiliki dan ingin selalu mendukung penyelenggaraan KTD. 

Dari perspektif generasi pertama, cara mengajarkan teman-teman yang baru masuk ke lingkungan kolektif Sudut Kalisat adalah dengan bercanda, misalnya saat jalan-jalan, saat sedang main kartu, atau sambil minum kopi. Struktur kepanitiaan setiap KTD tidak pernah berjalan sesuai dengan yang tertulis. Biasanya, teman-teman menawarkan diri mau jadi apa. Ada yang mau menjaga parkir, mengurus konsumsi, membuat dokumentasi, dan sebagainya. Sejak KTD 5, ketika orang yang terlibat semakin banyak, skalanya acara membesar, maka diadakan proses rembuk untuk mencatat kebutuhan, siapa yang bersedia mengerjakan tugas apa, lalu daftar acara yang akan digelar, juga ditentukan dari sana. 

Dalam ranah artistik, semua dikerjakan bersama-sama. Semua ikut memasang lampu atau memajang karya. Akan tetapi, dalam urusan manajemen barulah ada pembagian peran. Pengambilan keputusan dilalui melalui rembuk, kecuali dalam situasi darurat, generasi yang lebih muda melibatkan Krisna, Mas Yon, dan kawan-kawan. “Biasanya anak-anak ngobrol dulu, nanti mereka akan kontak Mas Krisna, Mas Yon, Mas Roni, ‘nek misale gini pie mas….’,” ungkap Hakim. 

Kadang yang generasi atas ikut terlibat, kadang tidak. Namun, sejak penyelenggaraan KTD 4, generasi pertama hampir sudah pernah ikut serta lagi. Mereka juga mengaku kalau penggagas KTD pertama kali tidak pernah bertemu karena dilakukan dengan begitu cair. 

Impresi tentang anak-anak pemalu dan tidak percaya diri runtuh ketika saya kembali ke Kalisat pada tahun 2022. Icen dan Apex sudah tumbuh dewasa dan bahkan sudah bisa meledek saya. Saat saya datang kembali bersama Serrum untuk mengambil data tulisan ini pada 2024, mereka sudah sangat artikulatif menjelaskan segala seluk beluk kolektif. Icen dan Apex kini menjadi mentor untuk adik-adik lainnya yang berkegiatan di Sudut Kalisat.

Anggota baru Sudut Kalisat datang dan pergi. Ada yang berkeluarga, bekerja di luar kota, kuliah, atau menjalani kesibukan lainnya. Ketika kami datang ke Kalisat di tahun 2024, mereka yang aktif di sana ada Icen, Apex, Iqbal, Sundari. Iqbal juga merupakan anggota Sudut Kalisat yang bergabung setelah kelas Lokakarya Kurator 2022. Sementara Sundari, yang kini menjadi istri dari Apex, sudah aktif di sana sejak KTD 3. 

Selain itu, ada wajah-wajah baru yang belum saya kenal sebelumnya, seperti Rohid, Fajril, dan Rendy. Mereka bergabung di Sudut Kalisat sejak KTD 7, ketika masih sekolah di SMA Negeri Kalisat. Sekarang, mereka berkuliah di kampus-kampus yang berbeda, ada yang mengambil jurusan ilmu kesehatan, pariwisata, dan sejarah. Generasi baru ini sehari-hari menemai Icen dalam menyelesaikan urusan operasional harian Ruang Ingatan.

Insting berkesenian di lingkungan Kalisat sudah muncul dan dilakukan para anggota Sudut Kalisat sebelum kolektif itu berdiri. Apex dan Sundari mengikuti ekstrakurikuler teater di SMA Negeri Kalisat. Mereka memiliki jaringan alumni teater SMA bernama Teater Nama Lain. Dari teater, mereka terbiasa memproduksi pertunjukan di panggung kecil. Sebelum ada Sudut Kalisat, pementasan sering dilakukan di SMA. Setelah ada Sudut Kalisat, mereka sadar kalau membuat panggung bisa di mana saja, di pinggir jalan, di kampung, di sawah. 

Apex menjelaskan, di Kalisat, setiap kali ada acara, baik membahas sejarah, pameran, maupun dalam bentuk lain, pasti ada panggung hiburan. “Orang desa juga berhak punya hiburan yang layak,” ungkap Apex mengutip Mas Hakim. Kehadiran panggung hiburan itu yang menjadi daya tarik bagi anak-anak muda Kalisat untuk mengaktualisasikan diri mereka. Pada saat KTD 1, Apex mengaku dirinya tidak fokus pada konten foto yang dipamerkan. Baru sejak KTD 3 ia bisa ingat apa saja yang ada di dalamnya. Ketertarikan Apex sejak awal ada pada tata panggung, tata lampu, dan musik. Ia juga suka dengan kumpul-kumpul bersama teman-teman, berorganisasi, dan membuat kegiatan kreatif. Apex gagal meraih gelar sarjananya saat kuliah di Malang. Namun, karena ada wadah berkreasi di kampung sendiri, ia pun merasa itu sangat menyenangkan.

Sundari mulai aktif di Sudut Kalisat sejak KTD 3. Ia tertarik karena banyak anak-anak yang ingin belajar menari. Sampai sekarang, Sundari masih sering mengajarkan tari. Sementara Iqbal mengaku pernah terlibat sejak KTD 1, ketika dirinya ikut Teater 56, ekstrakurikuler di SMA Negeri Kalisat. Komunikasi yang dibangun dari senior ke junior saat itu sangat baik, sehingga para junior datang untuk membantu. Hubungan mereka dekat selain karena satu sekolah, tetapi juga karena hidup bertetangga.

Iqbal, ketika kami berkunjung ke Kalisat, berstatus mahasiswa tingkat akhir di jurusan ilmu sejarah Universitas Negeri Jember. Iqbal mengaku mulai aktif di Sudut Kalisat sejak tahun 2022, setelah menjadi peserta Lokakarya Kurator. Kebetulan rumahnya ada di Kecamatan Biting, tak jauh dari Kalisat. Ia merasa bosan dengan rutinitas di kampus yang mengajarkan sejarah secara konvensional dan terkesan “tidak boleh salah”. Di Sudut Kalisat, Iqbal merasakan sebaliknya, karena bisa melakukan hal-hal yang disukai dan diapresiasi. Contohnya, karena menyukai musik, Iqbal diminta membuat lagu-lagu sendiri, dan jingle untuk KTD yang jelas ada pendengarnya. Selain itu, ia mengaku kalau dirinya suka melawak, ternyata lawakannya pun bisa diterima (selama tiga hari pertama di sana). Sudut Kalisat baginya adalah tempat bermain sekaligus bertumbuh juga. “Aku perlu melakukan hal-hal yang keren,” kata Iqbal. 

Di luar itu semua, generasi kedua Sudut Kalisat merasa ada cara belajar yang paling fundamental di Sudut Kalisat, yakni belajar tanpa hierarki. Iqbal merasa lebih banyak belajar soal sejarah di Sudut Kalisat ketimbang di kampus. Untuk mendapatkan informasi mengenai topik tertentu, mereka punya sudut pandang melihat yang sangat luas dan tidak terbatas. Mereka belajar menulis dan berbicara lewat proses mengobrol antargenerasi. Tentu, dalam proses mengobrol itu boleh saja salah dan selalu ada yang memperbaiki, menegur, tetapi dengan cara santai dan bisa diterima. Berbeda dengan di kampus, boleh banyak baca, tapi tidak boleh banyak bicara (sembarangan).

Apex juga merasakan dirinya bertumbuh selama aktif di Sudut Kalisat. Ada satu pengalaman yang ia ceritakan, ketika pembukaan KTD 4 di pagi hari, sebagai koordinator, Apex diminta memberi sambutan di depan media lokal Jember TV dan koran. Karena gugup, Apex hanya mengucap salam, lalu kehabisan kata-kata, dan turun dari panggung. Semua orang menertawainya. Pengalaman itu sangat memalukan dan masih diingatnya sampai sekarang. Ia sadar kalau dirinya lemah berbicara di depan orang lain, tetapi dirinya tidak mau berhenti belajar. Hari ini, ketika diwawancarai, Apex bisa bicara fafifuwasweswos dengan percaya diri. Apex belajar dari senior-seniornya, seperti Hakim, Krisna, Roni, Ayos, dan teman-teman lainnya. Apex juga punya kesempatan belajar ke luar Kalisat beberapa kali. Ia banyak belajar dari pertemuan-pertemuan antar budaya yang berbeda.

Sundari memiliki pandangan nilai yang berbeda soal Sudut Kalisat. Ia menyadari kalau seni tidak hanya tentang hal-hal di atas panggung, tetapi juga kerja-kerja di balik layar. Dari Sudut Kalisat, Sundari mempelajari bahwa sejarah bisa didapatkan dari hal-hal kecil dalam hidup bertetangga. Ia juga punya perasaan yang sama seperti Iqbal, saat KTD 8, dirinya diminta untuk mengajar tari di sekolah-sekolah sekitar. Ia merasa diberi kesempatan untuk menyalurkan potensinya. Padahal, menari tidak ia pelajari sejak kecil. Akan tetapi, ia bisa mengembangkan kemampuannya dengan berproses bersama teman-teman di Sudut Kalisat.

Icen menjadi satu-satunya teman segenerasi Apex yang masih setia bersama berkegiatan di Sudut Kalisat. Pada 2022 lalu, mereka terlibat sebagai perwakilan Sudut Kalisat dalam Sekolah Temujalar yang diselenggarakan oleh Gudskul selama gelaran documentafifteen. Mereka berangkat dengan dana swadaya dari warga, berjualan kaos, dan meminta sumbangan ke rekan-rekan sejawat. Pola penggalangan dana mandiri mereka terapkan kembali hingga berhasil berangkat ke sana.

Momentum itu adalah lompatan besar bagi Icen dan Apex yang belum pernah pergi ke luar negeri. Mereka harus belajar Bahasa Inggris dengan seorang teman di Kalisat. Mereka harus mengurus persyaratan administratif, mulai dari membuat kartu tanda penduduk (KTP) hingga visa. Mereka juga harus berlatih menyesuaikan diri dengan pertemuan budaya yang berbeda-beda. 

Sebelum berangkat, mereka diberi wejangan oleh para senior di Sudut Kalisat, agar tetap bersikap wajar dan tidak sombong meskipun sudah merasakan pergi ke Jerman. Mereka pun sepakat, apa pun yang didapatkan selama di Jerman, baik itu ilmu, teman, jaringan, maupun uang, akan menjadi milik Sudut Kalisat. Apex dan Icen berprinsip, sepulangnya dari Jerman, mereka ingin membuat pameran hasil perjalanan untuk menceritakan pengalamannya kepada para warga di Kalisat.

Apex mengaku, selama di Kassel, mereka mulai berpikir ulang tentang seni. Seni di sana ternyata bukan hanya lukisan, tari, teater, atau foto, seperti yang mereka biasa kerjakan. Manusianya, dapur, kolektifnya, bisa menjadi bagian dari konten pameran. Akhirnya, sepulangnya dari Kassel, Icen dan Apex mencoba menerjemahkan ulang pengalaman mereka kepada warga Kalisat melalui KTD 7 yang bertajuk “From Kassel to Kalisat”.

Menurut Hakim, pengalaman teman-teman pergi ke luar Kalisat sangat berdampak pada dinamika kolektif mereka, meskipun teman-teman mendapatkan kesulitan dalam pergaulan antar budaya dan bahasa. Selama mereka berangkat dengan uang urunan warga, ada tanggung jawab yang dipegang. Selama pergi ke Kassel, Icen dan Apex membuat catatan harian. Teman-teman di Ruang Ingatan setiap hari berkumpul mendengarkan kabar dari Icen dan Apex. Mereka banyak berefleksi, berpikir, dan terpengaruh. Selepas itu tamu-tamu mancanegara pun berdatangan.

Pengalaman Icen dan Apex ke Kassel menjadi sorotan orang-orang Jember. Apalagi Bupati Jember sempat datang memberi dukungan kepada mereka. Sialnya, ada selentingan suara tidak enak dari pihak-pihak tertentu setiap kali ada dukungan semacam ini. Contohnya, ada yang menduga mereka mendapatkan uang banyak dari Bupati. “Padahal yang untung hanya Icen karena ketannya dibeli oleh Pak Bupati,” canda Hakim. 

Tugas terberat teman-teman Kalisat adalah menjaga kepercayaan warga agar bisa lepas dari stigma dekat dengan bupati. Dinamika semacam itulah yang biasa mereka hadapi tinggal di lingkungan Jember. Oleh karena itu, mereka sangat berhati-hati melihat kesempatan apa pun yang datang dari luar.

Terlepas dari itu, pengetahuan teman-teman di Sudut Kalisat sangat berkembang. Mereka mengenal banyak istilah baru yang tidak pernah didengar di desa sebelumnya, antara lain, art handling, konteks, dan kuratorial. Mereka juga jadi percaya diri dalam berbicara kepada publik dibandingkan sebelumnya. Meskipun Apex dan Icen merasa sempat tertekan selama di Kassel, lantaran mereka kesulitan berkomunikasi menjelaskan apa itu Sudut Kalisat, ditambah harus mengemban tanggungjawab dari warga Kalisat. 

Sebelum Apex dan Icen pergi ke luar, teman-teman di Sudut Kalisat selalu berlatih untuk menerima dan memperlakukan tamu dengan baik. Ketika pergi ke luar, mereka belajar bagaimana ekosistem luar sana memperlakukan mereka. Jadi selain harus bisa menerima tamu, mereka juga harus belajar memposisikan diri di tempat lain. Ketika pulang ke Kalisat, pekerjaan rumahnya adalah menerjemahkan apa yang mereka dapat di sana. Mereka pun tidak mau melakukan presentasi karena dianggap terlalu formal, sehingga mulai memaparkan pengalaman dengan bercerita dan tanya jawab yang terjadi secara organik. Hal itu dilakukan, demi merawat pemikiran alami yang dibiarkan tumbuh perlahan.

Soal pendanaan, pada KTD 8 Sudut Kalisat mulai mencoba keluar dari zona nyaman. Untuk pertama kalinya mereka berani mengelola dana sponsor dari dana Indonesiana. Proses aplikasinya dijalankan oleh teman-teman generasi kedua dengan berkonsultasi kepada para senior mereka. Pada KTD 8, Hakim dan kawan-kawan mengambil posisi tidak terlalu banyak intervensi. Mereka memposisikan diri sebagai “tetangga” dari teman-teman yang saat itu mengurus KTD 8. Sebagaimana tetangga, tugas mereka adalah siap diajak bersilaturahmi dan mengingatkan apabila ada sesuatu yang sekiranya keluar dari jalur.

Sementara dari segi artistik, Sudut Kalisat juga semakin matang dalam menemukan formula cara kerja kolektif. Mereka meneruskan apa yang sudah biasa dibuat sejak KTD 4, yakni memproduksi zine, jingle lagu, dan merchandise berupa kaos, totebag, atau stiker. Mereka juga meramu kegiatan hiburan pendukung yang bisa menyalurkan bakat-bakat terpendam anggota dan warga sekitarnya. Dalam setiap penyelenggaraan, setiap anggota sudah punya peran masing-masing. 

Misalnya, Apex berperan sebagai tim artistik, mengulik editing video di smartphone android murahnya, dan menyusun tata lampu dengan peralatan seadanya yang ia beli menggunakan shopee pay later. Icen tetap menjadi prajurit dapur yang siap menjaga perut teman-teman tetap terisi. Sundari mengajarkan anak-anak latihan tari. Iqbal mengisi hal-hal yang berhubungan dengan musik. Tentu mereka semua dibantu dengan peran teman-teman lain yang belum sempat kami wawancarai saat kami berkunjung ke sana. 

Proses itu menjadi tahap pendewasaan bagi teman-teman di Sudut Kalisat. Dari dana yang dikelola, mereka bisa membuat skala kegiatan yang lebih luas manfaatnya. Mereka juga mengundang seniman mancanegara untuk berkontribusi sebagai seniman di pameran KTD 8. Meski begitu, tradisi membuat cenderamata dan melibatkan warga dalam proses diskusi hingga produksi juga tetap mereka rawat. Berkolektif di tengah lingkungan warga dan menjadi warga yang berkolektif telah membentuk cara regenerasi dan transmisi pengetahuan yang alami. 

 

Kalisat Tempo Doeloe: Pedagogi Sejarah yang Meruang

Sejak awal, teman-teman di Sudut Kalisat tidak pernah membayangkan acara KTD akan berlanjut menjadi acara tahunan seperti sekarang. Ide awalnya sesederhana, apa yang telah mereka peroleh dari warga Kecamatan Kalisat selama bermain dan berjalan-jalan, harus kembali ke masyarakat. Namun, selama menjalin silaturahmi dengan warga, mereka terus menerus mendapatkan cerita rakyat, kisah-kisah sejarah yang hanya dirawat secara tutur, hingga foto-foto yang menghias sudut ruang tamu atau bahkan album foto yang hanya tergeletak di bawah ruang tamu. Kekayaan narasi ditambah rasa penasaran yang tak berujung, juga momen ghengguk yang tepat waktu, membuat KTD terus ada sampai sekarang.

KTD juga bukanlah model belajar sejarah yang membosankan seperti di sekolah. “Cerita sejarah selalu dimulai dari depan pintu rumah”, Kata Hakim, dalam satu pertemuan dengan saya di Pesanggaran, Banyuwangi, 2019. Dalam metode kerja KTD, sejarah bukan untuk dihafalkan, namun justru “dilakukan”, menjadi kata kerja untuk membangun relasi sosial dengan tetangga, mengenal asal-usul diri dan lingkungan, peristiwa sosial, dan mengenal hal-hal kecil di sekitar kita. Dari rumah sendiri, kita melihat arsitektur, budaya material, fenomena sosial, jalanan, lingkungan, dan seterusnya. Sejarah bisa digali tanpa terpaut pada romantisme masa lalu. Sejarah, dalam versi KTD, menjadi pintu masuk untuk membangun logika bagaimana sesuatu bisa terjadi hari ini di lingkungan terdekat.

Sudut Kalisat menyadari, masih banyak kekosongan narasi di Jember dan Kalisat yang belum diceritakan. Mereka masih mencari pola dan bentuk yang cocok untuk mengisi narasi-narasi kosong itu. “Kalau di Jawa tengah ada Blora, ada juga cerita Pulau Buru, atau di mana pun itu, bisa menjadi cerita keren. Oleh sebab itu, kalau ada sesuatu (cerita atau inisiatif) di Jember, Situbondo, Lumajang, Bondowoso yang bisa dihampiri dan ditempuh dengan motor supra, itu jadi sesuatu yang menyenangkan (untuk dihampiri) sebagai pengisi kekosongan (narasi),” ucap Hakim.

Pada awalnya, inisiatif menyelenggarakan KTD juga datang karena sumber arsip melimpah yang mereka dapatkan dari warga. Barangkali kalau tidak ada KTD, sumber-sumber arsip itu sampai sekarang hanya tersimpan di bawah meja rumah warga, menjadi sumber kekayaan milik pribadi yang suatu hari mungkin akan hilang. Ketika teman-teman Sudut Kalisat mendapatkan izin untuk mereproduksi foto-foto itu, lalu dipamerkan, menjadi luas lah manfaatnya. Hakim pernah bermimpi, jangan-jangan, dengan metode yang mereka lakukan, ruang tamu bisa menjadi metode alternatif untuk membuat museum di kampung-kampung. Penyelenggaraannya hanya membutuhkan tata kelola dan metode kuratorial yang tepat untuk membuat ruang tamu warga terhubung satu sama lain.

KTD memang bermula dari disiplin ilmu sejarah. Akan tetapi, dalam perkembangannya Sudut Kalisat sadar dan terbuka pada beragam kemungkinan perspektif lain. Sebagai orang yang berlatar belakang mempelajari ilmu sejarah, Hakim banyak memperkenalkan pendekatan yang ia ketahui dalam membaca sejarah, di antaranya seperti metode heuristik, verifikasi, kritik sumber, elisitasi, dan seterusnya.

“Dalam disiplin sejarah, cerita-cerita (tutur) yang didapatkan teman-teman Sudut Kalisat bermula sebagai data tersier atau data lemah. Data tersier tu dikumpulkan, lalu teman-teman mencari celah bagaimana data tersier bisa terangkat untuk mencari data sekunder, bahkan kalau perlu ke indukan data primer. Itu sangat membantu ketika sudah disaring berkali-kali. Prosesnya sangat melelahkan, apalagi bermula dari penuturan, tanpa peduli siapa yang bicara. Proses penelusuran semacam itu bisa sangat melelahkan. Kalau tidak untuk bersenang-senang, atau untuk kebutuhan pekerjaan yang sudah punya target durasi yang jelas, pasti sangat sulit. Tetapi teman-teman Sudut Kalisat melakukannya sambil nongkrong, ghengguk, silaturahmi, jadilah menyenangkan bagi mereka. Ketika bersilaturahmi mereka menjumpai banyak foto. Foto itu kemudian mereka sambut sebagai data primer,” kata Hakim.

Metode sejarah Sudut Kalisat tidak berpatokan pada dogma tertentu. Ketika mencari sumber primer, mereka melakukannya secara bebas dengan semangat yang luar biasa. Di situ mereka berinteraksi tidak hanya dengan manusia dan warga, tetapi juga mengenal ruang dan lingkungan bentang alam, menghubungkan asal-usul masa lalu dengan penanda-penanda yang dilihatnya sekarang. Hal ini mengingatkan pada perspektif studi tentang memori kolektif yang pernah saya pelajari saat kuliah dulu, bahwa sejarah yang ditelusuri oleh teman-teman Kalisat masih dalam ranah interaksi dengan lingkungan memori nyata (real environment of memory/lieux de memoire), meminjam istilah Pierre Nora. Ia belum tereduksi menjadi situs ingatan (sites of memory/millieux de memoire) seperti artefak objek, arsip, monumen yang dilembagakan. Dalam lingkungan memori, sejarah menjadi partikular dan masih mempunyai sisi afektif dan emosional, dibandingkan sejarah yang universal dan generik.

Dari proses interaksi dengan ingatan-ingatan di ruang sosial sehari-hari, KTD terus bertransformasi, sejalan dengan perkembangan pengetahuan para anggota kolektif Sudut Kalisat. Perkembangan itu bisa dilihat dari perubahan pemilihan judul dan topik KTD dari tahun ke tahun. Pada pameran pertama, mereka memberi judul “Never Ending Story”. Pameran itu hanya pameran foto lawas sederhana dari warga yang diselenggarakan di Kedai Tempo Doeloe milik Frans di depan Stasiun Kalisat. Pada KTD 2, mereka coba membingkai sedikit, membicarakan tentang pendidikan. Masih mengandalkan foto, KTD 3 diberikan judul “Berkarya Tanpa Batas”, membahas soal sosial-humaniora, etnisitas pendatang Sunda, Arab, Cina, Eropa, Jawa, dan Madura di Kecamatan Kalisat. 

Memasuki KTD 4, generasi kedua mulai terlibat, mengangkat judul “Ruang Ingatan”, membahas arsitektur dan tata ruang Kecamatan Kalisat. Di sini, mereka mulai mengeksplorasi media lain selain arsip foto. Ketika membicarakan arsitektur umpamanya, selain bangunan rumah-rumah manusia, mereka juga menemukan Pajudun, rumah burung dara untuk spesies endemik Jember yang sudah mulai jarang ditemukan. Mereka datang ke tempat pembuatnya, mempelajari teknik pembuatannya, dan memamerkan artefaknya di Ruang Ingatan.

Kemudian pada KTD 5, Sudut Kalisat mengembangkan lagi temuan-temuan di KTD 4. Dari arsitektur, berkembang ke budaya material, mereka menggunakan judul “Mole ka Roma” (pulang ke rumah dalam Bahasa Madura), mengangkat tentang diaspora Kalisat yang merantau ke Bali, Surabaya, dan tempat-tempat lainnya. Hal itu ditampilkan dengan menghadirkan suasana ruang tamu, halaman rumah, dan mebel-mebel warga di Kecamatan Kalisat. 

Adapun KTD 6 berlangsung di tengah pandemi Covid-19. Pandemi tidak menghentikan Sdut Kalisat untuk tetap aktif, bahkan mereka punya kesempatan mencoba sesuatu di luar kebiasaan. KTD 6 diberi judul “èsep” (senyap dalam Bahasa Madura), yang membahas kejahatan perang dan pandemi. 

Dalam prosesnya, KTD 6 lebih sering memperbincangkan wacana, merespon fenomena, hingga dialektika seputar kehidupan di sekitar kami. Di gelaran KTD 6, mencoba untuk menjajal hal baru. Tak ada lagi dominasi menengok masa lalu kecamatan Kalisat melalui lembaran foto, melainkan lebih ke seni instalasi dan juga narasi. Ia bicara tentang kuliner yang menemani peradaban manusia, kisah seorang warga biasa, perkakas-perkakas pertukangan yang telah semakin terlupakan, hingga keterkaitan antara masyarakat Kalisat dengan hutan. Fokus utama seni instalasi terletak pada kejahatan perang yang pernah terjadi di Kalisat pada September 1947 dan kelak pada 22 tahun kemudian, kisah yang pernah terjadi di Kalisat itu menggegerkan Eropa.

Objek-objek yang dipamerkan pada KTD 6 sebagian besar berupa instalasi dan objek temuan yang mewakili memori yang spesifik. Di antaranya, mereka membawa tegel dari Stasiun Kalisat yang menyimpan jejak kekerasan Belanda di masa agresi militer. Seorang pejuang lokal bernama Arifin digantung di sana. Tegel kuning muda itu pun menjadi saksi kejahatan perang tersebut. Sudut Kalisat juga mengangkat artefak ketem kayu manual yang identik dengan seorang tokoh tukang kayu lokal bernama Sarip. Selain itu, KTD 6 juga memberi ruang penghormatan kepada seorang warga bernama Mbah Nisam yang sering datang ke Ruang Ingatan tapi meninggal dunia di kala Covid-19.

Berlanjut ke KTD 7 yang bertepatan pada kepulangan Apex dan Icen dari Kassel, diberi judul “From Kassel to Kalisat”. Pameran itu jadi cerita balik kepada warga tentang pengalaman Apex dan Icen. Icen menghubungkan pengalaman saat aktif di Gudkitchen dengan risetnya di Kalisat seputar dapur tradisional dengan tungku di halaman belakang. Icen mengumpulkan cerita-cerita masa kecil warga yang berhubungan dengan dapur dan tungku. 

Sementara Apex, banyak menampilkan dokumentasi kegiatan mereka selama di Kassel. Meski begitu, mereka tetap melakukan tradisi silaturahmi dari rumah ke rumah untuk menambahkan data pameran. Mereka mengangkat soal ragam aktivitas komunal masa lalu warga Kalisat. Contohnya, senam di stasiun, hubungan warga dengan stasiun, pengalaman Pasar Kalisat, dan sebagainya. 

Bertepatan dengan KTD 7 pula, Icen, Apex, dan Wildan sempat diajak berpameran di wilayah konflik agraria Desa Pakel, Banyuwangi, Jawa Timur. Mereka pun membawa apa yang dipamerkan di Pakel ke Ruang Ingatan. Apa yang mereka bawa pulang dari Kassel juga bukan hanya materinya, tetapi pola berpikir dan metode. Sejak KTD 7, Apex dan Icen juga mulai belajar mengembangkan bagaimana mengemas pameran agar bisa dinikmati oleh orang banyak secara utuh, mulai dari proses hingga presentasinya. Mereka menampilkan sketsa-sketsa percakapan persiapan pameran dan membuat virtual tour sebagai aplikasinya.

Terakhir adalah KTD 8 yang berjudul “Batuan Berkisah”. Lewat pameran ini, Sudut Kalisat semakin berani untuk keluar dari kebiasaan sebelumnya. Bermula dari ghengguk, beberapa anggota kerap menonton video di Youtube seputar suiseki, seni batu Jepang. Lalu mereka cari-cari batu ke sungai. Batu yang tadinya biasa aja kemudian bisa terlihat menarik. Beberapa bulan kemudian, datanglah seorang geolog Jember yang sedang mengambil studi di Institut Teknologi Bandung, Firman Sauqi. 

Dari proses belajar bersama Firman Sauqi, mereka bisa membaca gumok-gumok sebagai sebuah sumber pengetahuan yang menguak asal-usul wilayah jutaan tahun ke belakang. Teman-teman di Sudut Kalisat menjadi tahu bahwa lempengan tektonik Jawa Timur berbeda dengan Jawa Tengah atau Jawa Barat. Mereka bisa mempelajari tentang kondisi tanah kampung halamannya, seperti alasan di balik ada banyak tambang emas di Jawa Timur yang ternyata karena memang jenis geologinya berbeda. 

Mereka juga mengundang seorang kyai sekaligus cendekiawan muda yang cukup dikenal namanya di Jember, Gus Badrus Solihin, untuk membicarakan batu dalam sudut pandang Islam. Dari percakapan itu, mereka mengetahui bahwa di sebuah pondok pesantren di Kecamatan Kalisat, terdapat sumber mata air dari gumok yang menghidupi pesantren tersebut. Mereka diajak melihat jenis tanah, kemiringan, dan pohon yang harus ditanam. Akhirnya, dari situlah mereka belajar soal lingkungan, tentang mitos, jenis-jenis batuan, agama, dan dimensi lain dalam memanfaatkan ilmu sejarah untuk mengenal asal-usul ruang.

Saat ini, Sudut Kalisat tengah mempersiapkan KTD 9. Dari pengalaman KTD 8, mereka tertarik mengembangkan topik-topik seputar lingkungan, seperti flora dan fauna setempat. Para anggota Sudut Kalisat sedang mempelajari jenis-jenis pohon yang ditanam di sepanjang Desa Arjasa sampai Kalisat, sepanjang Desa Sumber Jeruk sampai Gelagahwero setelah kemerdekaan. Di desa-desa itu, ditanami berbagai jenis pohon, antara lain pohon asem, nyamplo, dan bungur. Namun, sebagian sudah banyak hilang sekarang.

Melihat KTD adalah melihat bagaimana pengetahuan kolektif dalam lingkup lingkungan warga bertransformasi selama delapan tahun terakhir di Kecamatan Kalisat. Mulai dari membicarakan foto keluarga, pendidikan, humaniora, arsitektur, budaya material, kejahatan perang, perjalanan, hingga situs geologi. Pengetahuan terus tumbuh perlahan secara organik mengikuti arah pikiran bersama. KTD juga membuat para pegiat dan warga Kalisat bergerak menyusuri ruang fisik dan sosial di kecamatan mereka, terus merambat dari lembaran arsip foto, ke rumah, ruang tamu, dapur, gumok-gumok, tepi jalan, pasar, hingga kandang-kandang unggas warga. Praktik spasial menjadi cara telusur pengetahuan untuk menghubungkan apa yang mereka lihat dengan narasi besar di baliknya.

Sudut Kalisat adalah model di mana warga dan seni hidup berdampingan tanpa ada jarak. Pada praktik Sudut Kalisat, pengalaman artistik lahir dengan sendirinya karena interaksi Sudut Kalisat dengan warga. Suasana sosial dan konteks lingkungan Kecamatan Kalisat juga masih sangat mendukung untuk kemungkinan pemaknaan waktu luang untuk belajar. Sekalipun generasi silih berganti, nilai-nilai berbasis gotong royong dan rasa ingin tahu yang mendalam masih bisa terus bertahan–nilai-nilai yang sewajarnya kita jumpai dalam hidup bertetangga.

Tantangan berikutnya bagi teman-teman Sudut Kalisat adalah menjaga transformasi pengetahuan tetap berlanjut ketika skala kegiatan dan eksposur semakin membesar, satu hal yang tidak bisa dipungkiri pasti terjadi. Ketika saya mencoba mengkonfirmasi tantangan soal skala itu, agaknya mereka tidak khawatir untuk kembali kecil. Sebab, itu lah DNA mereka, memulai dari hal-hal kecil dan tidak takut untuk tumbuh perlahan. “Sudut Kalisat itu bukan tempat kerja, tapi rumah kedua,” kata Apex. Apa yang dilakukan oleh Sudut Kalisat adalah apa yang kontekstual pada kondisi, situasi, tempat saat ini di mana mereka bermukim. 

***

Sudut Kalisat

Sudut Kalisat adalah ruang temukan kreatif berbasis kolektivitas yang suka belajar seputar sejarah, seni , budaya dan lingkungan yang terbentuk sejak tahun 2015. Rumah Sudut Kalisat bernama ruang ingatan. Terbentuknya Sudut Kalisat bermula dari keinginan untuk menggali sejarah lokal Kalisat melalui pameran arsip “Kalisat Tempo Doeloe” (KTD). Setiap tahun, pameran ini mengusung tema berbeda berdasarkan diskusi anggota. KTD menjadi proses belajar kolektif bagi remaja dan masyarakat Kalisat, mengajarkan berbagai keterampilan seperti merencanakan pameran dan penelitian. Kini, Sudut Kalisat terus menjaga ingatan warga untuk dikembangkan menjadi kegiatan seni, dengan keyakinan bahwa sejarah lokal membantu mempererat cinta di kampung halaman.